Kertas Posisi Konflik Rasisme Papua

00.01

Oleh BEM FIS Bara Juang dan Red' Soldier FIS 2018/2019

Kronologi Kejadian
Kerusuhan yang terjadi pada sejumlah kota di Papua merupakan respon masyarakat Papua atas tindakan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya. Kejadian bermula pada tanggal 16 Agustus 2019 sekitar pukul 16.00, asrama mahasiswa Papua didatangi oleh aparat TNI, serta beberapa anggota dari ormas. Pengepungan ini terjadi akibat dari dugaan perusakan tiang bendera sehingga bendera Indonesia terjatuh ke dalam selokan di depan asrama mahasiswa Papua. Para massa yang mengepung asrama mahasiswa Papua menduga bahwa para penghuni asrama mahasiswa Papua lah yang bertanggung jawab atas insiden jatuhnya bendera ke dalam selokan tersebut. Menurut Dorlince Iyowau (penghuni asrama mahasiswa Papua), suasana semakin mencekam tatkala massa yang semakin ramai mengepung asrama itu mulai menggedor-gedor dan merusak pagar. Kondisi semakin diperparah dengan teriakan beberapa oknum massa yang mengepung asrama melontarkan kata-kata bernada rasisme, dan menyebut orang-orang yang ada di dalam asrama dengan sebutan ‘monyet’. Sangat disayangkan ada beberapa oknum aparat yang justru melontarkan kata-kata makian bernada rasis tersebut. Akibat dari peristiwa tersebut, setidaknya ada lima mahasiswa asal Papua mengalami luka. Tindakan demikianlah yang memantik kerusuhan di kota Jayapura, Manokwari serta Sorong. Di Jayapura gelombang massa melakukan aksi longmarch sepajang 18 kilometer dari Waena menuju kantor Gubernur dan Manokwari, situasinya sangat mencekam. Gedung DPRD dibakar sehingga hampir melumpuhkan aktivitas warga. Sedangkan di Sorong, terjadi perusakan fasilitas publik.
Selanjutnya dalam unjuk rasa yang dilakukan masyarakat Papua di Waghete pada tanggal 28 September atas responnya terhadap konflik rasisme yang terjadi di asrama Papua pada pekan lalu, telah memakan korban jiwa sebanyak 8 warga sipil tewas tertembak dan sebanyak 16 warga sipil lainnya terluka masih menjalani perawatan di rumah sakit umum daerah Paniai. Akhirnya, hingga 1 September 2019 sebanyak 7 mahasiswa Papua dan seorang juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk Papua Merdeka telah ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya Jakarta dengan dikenakan pasal 106, 110, dan 87 KUHP atas tuduhan makar. Penangkapan tersebut dilakukan di beberapa tempat yakni asrama Depok, pada saat aksi solidaritas, dan kontrakan mahasiswa Papua di Jakarta. Namun pengangkapan tersebut tidak disertai dengan surat izin penangkapan dari polisi.

Stratifikasi Etnik
Konflik di kehidupan masyarakat multikultural sangat sering terjadi. Mulai dari perbedaan bahasa, kebudayaan, kebiasaan, hingga perbedaan fisik tubuh. Stereotype yang tanpa sadar dilakukan bahkan sudah mendarah daging di kehidupan multikulturan di Indonesia, seperti sopir angkot yang mengemudi ugal-ugalan pasti orang Batak, orang Betawi malas, orang Sunda lemah, orang Bugis suka foya-foya, dan lain sebagainya. Bahkan tanpa sadar stratifikasi etnik itu hadir karena adanya stereotype tersebut. Stratifikasi etnik dapat menyebabkan lahirnya konflik etnik, dimana anggota etnis minoritas mendapat kerugian atau mendapatkan berbagai diskriminasi. Kelompok dominan akan menganggap tindakan diskriminasi yang dilakukannya adalah tindakan yang benar.
Kelompok dominan tidak hanya mengambil keuntungan dari setiap kesempatan untuk menyerang tetapi juga mendapatkan kenikmatan dengan menyakiti orang lain secara verbal dan non verbal. Dalam konflik yang melibatkan warga Papua sekarang, terjadi kekerasan secara verbal dengan menggunakan perbedaan fisik sebagai objeknya. Rasisme ini mengingatkan ke awal 2019, ketika rilis pembaharuan desain pecahan uang NKRI. Dipecahan uang NKRI Rp. 10.000 baru, Frans Kaisiepo salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Papua menghiasi muka uang kertas tersebut. Pecahan uang kertas ini sempat hangat diperbincangan karena terdapat foto pahlawan tersebut, sebagian masyarakat Indonesia menjadikannya sebuah bahan ejekan sama halnya peristiwa di asrama mahasiswa Papua baru-baru ini.
Peristiwa yang terjadi di asrama mahasiswa Papua menjadi hal yang mengecewakan karena melibatkan aparat yang bertugas dengan makian yang menyebutkan ‘monyet’ sebagai tanpa rasisme. Hal ini merupakan tindakan merendahkan dan mendiskriminasi ras dan etnis, tindakan ini disalahkan dengan kekuatan pada pasal 4 UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, bahwa salah satu tindakan diskriminatif terhadap ras da etnis adalah menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis. Dalam kajian sosiologi linguistik, penggunaan bahasa, kalimat, dan kata-kata bisa menjadi alat kekerasan simbolik yang secara langsung ataupun tidak langsung menimbulkan intimidasi dan diskriminasi. Kekecewaan mendalam jika benar aparat melakukan hal yang dapat memecah belah bangsa Indonesia, bukannya memberi perlindungan kepada rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Ketimpangan yang Diterima oleh Warga Papua
Kasus rasisme terhadap masyarakat Papua, bukanlah hal pertama terjadi di Indonesia. Pada tahun 2016, kasus kekerasan dibalut dengan rasialisme pernah terjadi di Kota Yogyakarta, kejadian itu bermula dari mahasiswa-mahasiswa Papua di Yogyakarta, yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat, akan menyuarakan aspirasinya di jalan mendukung ULMWP bergabung dalam Melanesian Spearhead Group, organisasi internasional di negara-negara tetangga Papua yang memperjuangkan bangsa Melanesia. Namun, aksi itu dihentikan oleh aparat keamanan dan ormas Indonesia, bahkan sebelum mereka memulai demo. Pada satu peristiwa, aparat kepolisian menangkap salah satu aktivis mahasiswa Papua bernama Obby Kogoya, dengan tindakan represif. Meskipun dalam proses praperadilan Obby tidak bersalah, namun proses penahanan tetap diterima oleh mahasiswa itu.
Mengutip buku penelitian terbitan LIPI yakni berjudul, Papua Road Map, setidaknya terdapat empat hal yang menjadi sumber konflik Papua, dan salah satunya adalah marjinalisasi atau tindakan diskriminatif kepada orang asli Papua, baik di tanah Papua atau di luar tanah Papua. Kondisi yang demikian diperparah dengan ketidakmampuan negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggarana HAM berat dimasa lalu oleh oknum aparat terhadap warga Papua. Akumulasi ini, mampu memunculkan kekecewaan berat masyarakat Papua yang termanifestasi dalam berbagai aksi-aksi protes dan menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Selain itu mari kita sedikit menilik sejarah kelam yang dialami oleh masyarakat Papua sejak memasuki masa pemerintahan orde baru, hingga menciptakan luka mendalam terhadap pemerintahan Indonesia sampai saat ini. Semuanya bermula dari dilaksanakannya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969 dimana pemilihan tersebut akan menentukan nasib status Papua nantinya akan menjadi bagian dari NKRI atau sebaliknya. Namun dalam prosesnya sendiri hanya melibatkan sebanyak 1.025 orang yang telah diseleksi oleh militer melalui operasi khusus. Hingga akhirnya hasil pemilihan menunjukan bahwa "rakyat" Papua memilih untuk menjadi bagian dari NKRI. Namun hal ini menjadi awal mula malapetaka yang akan menanti rakyat Papua.
Papua menjadi wilayah yang dapat dikatakan sangat menguntungkan perekonomian Indonesia, namun apakah jasa yang diberikan Papua untuk Indonesia dibalas dengan setimpal? Nyatanya tidak demikian. Papua sebagai bagian dari NKRI justru diperlakukan seperti layaknya anak tiri, dimanfaatkan sumber daya alamnya, namun rakyatnya tidak menerima manfaat atas jasa yang telah mereka lakukan tersebut. Seperti kemunculan Freeport sebagai perusahaan asing yang menanda tangani kontrak kerja pada masa orde baru untuk menanamkan perusahaannya di Papua, memang berbuah manis untuk mereka tapi tidak untuk masyarakat Papua. Hal ini akhirnya menimbulkan luka mendalam serta mengakibatkan konflik separatis yang berujung pada tindakan diskriminatif dan marjinalisasi yang didapatkan oleh masyarakat Papua itu sendiri.

Pernyataan Sikap
Berdasarkan kajian tersebut maka kami atas nama BEM Fakultas Ilmu Sosial Kabinet Bara Juang dan Red' Soldier menyatakan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Kami menolak keras segala perlakuan dikriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada masyarakat etnis Papua dan atau kepada sesama rakyat Indonesia demi menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
  2. Melihat adanya kekerasan verbal yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di asrama mahasiswa Papua di berbagai daerah Indonesia. aparat keamanan harus bersikap tegas tanpa panda bulu demi menjaga keharmonisan antar rakyat Indonesia.
  3. Kami mendesak pemerintah serta aparat yang bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan konflik rasisme di Indonesia, agar tidak ada lagi konflik rasisme berkelanjutan. Bahwa pada hakekatnya etnik dan ras yang ada di dunia bersifat diferensiasi bukan stratifikasi.
  4. Kami mendesak kementerian yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia untuk  melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM yang terjadi serta melakukan penanaman nilai-nilai perlindungan HAM agar tidak terjadi kejadian serupa dikemudian hari. Serta menindak tegas oknum ormas dan aparat yang bersikap rasis sesuai dengan pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008.
  5. Kami menolak tindakan pemerintah yang membatasi akses informasi terhadap peristiwa maupun kondisi yang sedang terjadi di Papua Barat yang termasuk bentuk penyalahgunaan wewenang atas fungsi media pers, sebab media pers memiliki hak dalam menyampaikan informasi yang sesungguhnya terjadi sesuai dengan fakta di lapangan tanpa  memanipulasi fakta apapun.
  6. Media dan pers seyogiyanya tidak menyebarluaskan berita dan atau artikel yang memperkeruh konflik horizontal, melainkan menyebarluaskan keharusan saling menghargai dan menghormati antar etnis, demi menjaga keharmonisan masyarakat Indonesia.
  7. Kami menolak tindak kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam membubarkan massa aksi, dimana berdasarkan pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, bahwa warga Negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas  dan memperoleh perlindungan hukum.
  8. Kami mengajak seluruh masyarakat untuk memperjuangan hak kesejahteraan hidup masyarakat Papua di Indonesia dan bersama menghilangkan tindak rasisme di Indonesia.


Referensi
Wanandi, Jusuf (2014). Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998. Kompas: Jakarta.
Salim, Agus (2006). Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Stratifikasi Etnis Jawa dan Cina. Penerbit Tiara Wacana: Yogyakarta.
Tirto.id, Kesaksian Penghuni Asrama Papua di Surabaya Soal Perlakuan Aparat, https://tirto.id//kesaksian-penghuni-asrama-papua-di-surabaya-soal-perlakuan-aparat-dmQS, (diakses 26 Agustus 2019)
Tirto.id, Siklus Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua, https://tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4. (diakses 26 Agustus 2019)
Suara Papua, Wakil Bupati Deiyai Delapa Warga Sipil Tewas dalam Insiden di Kantor Bupati https://suarapapua.com/2019/09/01/wakil-bupati-deiyai-delapan-warga-sipil-tewas-dalam-insiden-di-kantor-bupati/ (diakses 01 September 2019)
Suara Papua, Tujuh Mahasiswa Papua dan Jubir FRI WP Ditangkap Polda Metro Jaya, https://suarapapua.com/2019/09/01/tujuh-mahasiswa-papua-dan-jubir-fri-wp-ditangkap-polda-metro-jaya/ (diakses 01 September 2019)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.