KEBERPIHAKAN TIM AKSI SE-UNJ DI PEMIRA 2019

17.48

Oleh: Silviana Eka Dewi Hapsari

Kampus tercinta sedang manis-manisnya membahas Pemilihan Umum Raya UNJ, atau biasa disebut Pemira UNJ. Berbagai elemen mencoba mengkritisi dan membangun citra baik dari pemira tersebut, hal ini menyangkut pada keberpihakan elemen-elemen mahasiswa di UNJ. Di tulisan kali ini saya ingin mengerucutkan pandangan pada keberpihakan Tim Aksi se-UNJ, tentang bagaimana posisi Tim Aksi di Pemira UNJ. Apakah dijadikan sebagai batu loncatan para calon atau dapat menjadi badan yang mampu berpikiran luas dan kritis tanpa pandang bulu? Menurut saya, Tim Aksi baiknya menjadi badan independen, namun hal ini kembali pada budaya Tim Aksi masing-masing. Mari kita bahas.

Tim Aksi adalah wadah khusus yang digunakan mahasiswa tingkat fakultas maupun universitas untuk memanaskan pergerakan mahasiswa (ringkasnya untuk mengkritik penguasa dan menyalurkan aspirasi rakyat), terlebih UNJ menjadi salah satu kampus yang terkenal akan pergerakan mahasiswanya. Sebelum saya mencoba mengeluarkan keresahan dan opini, saya adalah Kepala Divisi Pusat Studi dan Gerakan Tim Aksi Fakultas Ilmu Sosial (Red Soldier). Bukan untuk menyombongkan, namun karena saya adalah bagian dari Tim Aksi dan saya rasa sangat perlu untuk menyebar luaskan budaya baru Red Soldier sebagai Tim Aksi Fakultas yang coba dibangun secara struktural di Masa Juang 2018-2019.

Euforia Pemira UNJ tak jauh beda dengan euforia Pemilu Indonesia, adanya pihak oposisi dan koalisi, serta satu pihak yang mencoba mendominasi secara struktural. Struktur linear dari BEM UNJ ke BEM Prodi se-UNJ, serta underbownya sangat riskan dijadikan arena menjaring suara dalam Pemira. Tim Aksi sebagai underbow Departemen Sosial Politik BEM menjadi salah satu arena penting dalam pencarian mangsa tim sukses dan mangsa suara, karena Tim Aksi ada di dalam circle BEM tersebut yang akan sangat mudah mendapatkan suara dengan mengatasnamakan ‘teman seperjuangan’ atau rasa enggak enakan pada calon yang meminta tolong untuk menjadikannya tim sukses atau untuk memberikan suaranya.

Di ujung aspal, ketika kaki para mahasiswa berdiri di atas didihan keringat siang bolong, orator selalu meneriakan kalau mahasiswa adalah oposisi pemerintah yang bertugas memberitahu ketika pemerintah khilaf. Dampak dari Aksi Nasional 24 September 2019, salah satunya adalah mahasiswa diajak ‘duduk bareng’ bersama Presiden Jokowi dan jajarannya, namun mahasiswa menolak dengan alasan tidak ingin ‘duduk bareng’ di balik meja. Mahasiswa lebih memilih diadakannya diskusi terbuka antara pemerintah dan mahasiswa serta disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, tujuannya agar tidak ada kongkalikong di balik meja.

Setiap pemilihan umum pun, secara pribadi, mahasiswa pergerakan memilih tidak menunjukkan dengan gamblang di muka umum perihal dukungannya ke salah satu calon. Namun dengan mengatasnamakan aliansi mahasiswa pergerakan, mereka memilih untuk mengkaji masing-masing calon wakil rakyat tersebut dibanding menjadi tim sukses. Mahasiswa dinilai harus memiliki indepedensi dalam berpolitik, ketika mahasiswa sudah memihak ke salah satu partai politik atau memihak ke pemerintah, bisa dikatakan mahasiswa tersebut tidak memiliki sikap independen dan telah luntur idealismenya. Ketika individu sudah condong ke kanan atau ke kiri, individu akan berpikir atas subjektivitasnya dan sulit untuk berpikir kritis secara objektif.

Kampus dapat menjadi representatif negara, terlebih dalam perpolitikannya dan dapat dilihat dimana posisi Tim Aksi berada. Pertama, Tim Aksi dapat di posisikan menjadi mahasiswa yang ada pada kasus pertama. Tim Aksi harus menjadi oposisi ketika masa Pemira, fungsinya untuk menjaga stabilitas politik yang ada di UNJ. Selain itu, indepedensi Tim Aksi sangat diperlukan agar punggawa Tim Aksi tidak terpengaruh euforia Pemira terlalu dalam dan dapat berpikir secara rasional, serta menjaga pergerakan UNJ untuk tetap berjalan dengan semestinya dan secara objektif. Tim Aksi esensinya untuk mempraktikan politik nilai, bukan politik praktis. Ketika Tim Aksi melakukan politik praktis, maka kepercayaan rakyat UNJ akan berkurang, karena Tim Aksi dianggap sudah melanggar tupoksi yang sudah diatur.

Kedua, pada kasus kedua tentang idealisme yang selama ini sakral untuk mahasiswa. Keberpihakan individu memang tidak disalahkan, namun ketika label Tim Aksi menempel pada diri individu itulah yang disalahkan –terutama Badan Pengurus Hariannya.  Ketika hal itu terjadi, penilaian bukan hanya ditujukan pada dirinya saja, namun pada Tim Aksinya pula. Tim Aksi akan dinilai tidak independen lagi dan memihak salah satu calon, serta elemen mahasiswa lain tidak akan percaya lagi terhadap Tim Aksi. Menurut saya, pemberian KTM, menjadi tim sukses, dan menjadi relawan salah satu calon adalah bukti lunturnya idealis dari Punggawa Tim Aksi. Jika hal-hal ini terjadi, selanjutnya Tim Aksi akan dijadikan batu loncatan dan arena mencari pendukung, serta idealisme yang disakralkan menjadi inkonsistensi walaupun Pemira ini sifatnya hanya temporer. Tim Aksi bukan partai yang dapat mengusung dan memihak pada salah satu calon secara struktural, melainkan wadah untuk mengawal Pemira itu sendiri agar berjalan dengan semestinya tanpa kecurangan sedikitpun.

Ketiga, ketika Punggawa Tim Aksi tersebut mencalonkan diri sebagai salah satu calon ketua BEM, sudah dipastikan dan diharuskan untuk non-aktif sementara di Tim Aksi sampai Pemira selesai, dan lebih baiknya hal ini dilakukan secara terbuka agar tidak adanya pemikiran bahwa si calon diusung oleh Tim Aksinya.

Di tulisan ini saya menyimpulkan bahwa Tim Aksi harus menjaga marwahnya sebagai wadah aspirasi rakyat, dimana Tim Aksi harus objektif dalam bertindak dan berpikir. Selain itu, Punggawa Tim Aksi pun harus profesional dengan tidak menjadi tim sukses salah satu calon dan tetap berjalan di koridor sebagaimana Tim Aksi dilahirkan. Terakhir, dengan tulisan ini saya tidak memaksa Punggawa Tim Aksi lain untuk mengikuti apa yang saya dan kawan-kawan Red Soldier lakukan, hidupmu pilihanmu, wajah Tim Aksimu berdasarkan tindakanmu. Saya menulis ini bukan tujuan untuk menjatuhkan pihak yang tercatut namanya, namun dengan tulisan ini saya berharap demokrasi di kampus tercinta, UNJ, tetap berjalan dengan semestinya –JurDil. Saya sadar bacaan saya masih sedikit dan pikiran saya tidak kritis, serta mungkin saya tidak tahu apa-apa tentang pergerakan UNJ, tapi saya berharap sistem bobrok yang ada di UNJ segera diperbaiki dan pergerakan UNJ memiliki birokrat-birokrat yang menjunjung tinggi demokrasi, keterbukaan, keadilan, dan kejujuran.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.