72 Tahun Sudah Umurku
*72 Tahun Sudah Umurku*
Oleh: Remy Hastian
Aku dilahirkan sangat susah payah.
Lahir dari rahim para pejuang, sel telur dari para budak dan buruh yang dulu
dicampakkan. Organisasi Pergerakan Nasional, yaitu Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische
Partij_, _Indische Vereniging_, PNI dan PPPKI (Pemufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Maupun Organisasi Islam
yang menjadi penggerak wadah mujahid. Macam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Nahdatul
Ulama dll. Maupun para organisasi lain, merekalah yang merencanakan jauh hari
untuk diriku siap lahir di dunia.
10 hari sebelum aku dilahirkan. Pada
tanggal 7 Agustus 1945, dibentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Dari situlah, harapan aku lahir muncul. Dan pada 2 hari berselang.
Tanggal 9 Agustus, Jendral Terauci, panglima tentara Jepang di Saigon,
memanggil Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta dan Drs. Radjiman Widiodiningrat untuk
membicarakan tentang proklamasi kemerdekaan.
Hingga 24 jam menjelang kelahiran-ku
ini, Para tokoh muda dan tua 'berseteru' untuk mengambil keputusan yang diambil
dalam me-refleksikan kekosongan kekuasaan karena Jepang menyerah tanpa syarat
kepada sekutu. Dibawalah Soekarno dan Hatta ke Rangasdengklok dengan maksud
menjauhkan kedua tokoh tersebut dari pengaruh Jepang. Atas jaminan Ahmad
Subardjo, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Detik-detik kelahiranku. Dirumah
Laksamana Tadashi Maeda, di Jalan Imam Bonjol No: 1 Jakarta. Perumusan naskah
proklamasi itu dibuat. Dengan Soekarno sebagai penulis, Hatta dan Subardjo
sebagai penyumbang pikiran secara lisan. Tepat, pada pukul 10.00 pagi 17
Agustus 1945, Proklamasi dibacakan, naskah keramat yang menjadi saksi para
pejuang bangsa untuk menegakkan kemerdekaan walau sudah sekarat. Dikibarkan
bendera merah diatas putih dengan pengibar bijaksana, Latief Hendradiningrat
dan Suhud Sastro Kusumo dan jahitan lembut seorang bidadari nasionalis dari
Bengkulu, Ibu Fatmawati.
Akhirnya diri ku lahir. Tangisan haru
mengairi Sabang hingga Marauke. Mendengar diriku lahir, semuanya bersuka cita,
tanda perjuangan dan pengorbanan telah menunjukkan hasilnya. Orang mengenalku
dengan simbol merah diatas putih. Diambil dari bendera Majapahit pada abad
ke-13 yang terdiri dari sembilan warna merah dan putih yang tersusun secara
bergantian. Mengenal tanda kasih, jika perjuangan rakyat dalam proses
melahirkan ku, tidak lain dengan semangat keberanian dan kesucian.
Di usiaku yang masih balita. Banyak
peristiwa yang menghinggapinya. Dari sebelum meledaknya peristiwa 10 November
1945 di Surabaya. Pak karno, presiden pada saat itu meminta pendapat dan restu
kepada Syaikh yang di hormati keilmuwannya, yang di teladani akhlaqnya, yaitu
KH. Hasyim Asy'ari. 22 Oktober tepatnya dan Resolusi Jihad pendapatnya. Itulah
usul dari sang kiyai untuk mengutuk perilaku para penjajah yang
sewenang-wenang. Dengan belum genapnya umur ku lima tahun sudah dilibati dengan
kondisi, 'Aku masih direbutkan olehnya'. Agresi militer Belanda I & II pada
tahun 1947-1948. Membuat diriku bertanya. "Apa yang membuatnya masih tak
puas menahan kelahiranku hingga 350 tahun lamanya?".
Banyak cara untuk merawatku. Hingga
permainan Demokrasi yang ditiru barat (Liberal), terpimpin yang ditandai dengan
Dekrit Presiden pada sekisaran 5 Juli 1959. Hingga masa _New Orba_ dalam
kegemilangan konsepsi pembangunan yang nyata, yang terkenal dengan kabinet
Ampera dan sistem Pelita-nya. Hingga cara yang terbaru dalam merawatku dengan
memakai reformasi sebagai tanda perombakan sistem yang telah bobrok dilakukan
pada sistem pemerintahan sebelumnya.
Boleh ku cerita? Ketika umurku masih
remaja. Sekisaran 20 tahun, pada tahun 1965 ada pemberontakan besar, yang
dipimpin oleh Partai Buruh pada saat itu. Pemberontakan itu membuatku trauma,
terhadap asas dan semboyan yang telah di restui. Bukankah sebelum ku lahir,
semuanya telah sepakat dalam menjaga persatuan dan perbedaan yang ada? Hingga
orang berpengaruh pada saat itu. TNI, Ulama dan tokoh masyarakat dibunuh,
dimutilasi hingga bau mayatnya, 'babi' pun tak mau menciumnya. Kejam memang. Sepuluh
tahun bertambah usiaku, datang lagi peristiwa besar yang dinamakan
"Malari" (Mala Petaka 15 Januari) sekisaran tahun 1974. Di usiaku
yang belum genap 30 tahun.
Hingga pada usiaku yang menginjakkan
kepala lima. Tahun 1998 tepatnya. Pemberontakan besar itupun terjadi 'lagi'
dengan runtuhnya sistem keuangan. Banyak penjarahan, nilai mata uang tak ada
nilainya. Hingga kejamnya semua menganggap, "Yang terpenting diriku
selamat oleh masa ini". Polisi melawan Mahasiswa, dan banyak aktivis yang
tak kembali raganya ke dalam sanggar rumahnya. Hilang tak tahu kemana. Kejam
memang.
Hingga usiaku yang menginjakkan kaki
di usia yang sudah tua. Bagaimana seharusnya diri ini sudah menggendong cucu
untuk menjadi pemimpin sejati. Membenahi sistem ekonomi, sumber daya manusia,
sumber daya alam serta memperbaiki keberagaman umat dalam persatuan yang dulu
menjadi cikal bakal diriku lahir di dunia ini.
Yang dimana, diri ini pernah
ditakutkan oleh Negara manapun yang mendengar namaku. Dulu ku makan dengan
kerja keras, tak mengemis bahkan meminta oleh Negara manapun. Aku merasa
ciptaan alam yang melimpah, sangat bodoh jika ku tak manfaatkan, aku merasa
jika sumber daya manusia bisa di kontrol dengan baik, bisa meruntuhkan
kekaisaran romawi yang dijanjikan Rasulullah Saw. Aku rasa, harapan itu masih
ada. Diri ini yang lahir karena keikhlasan para pejuang, karena pengorbanan
para pejuang untuk terus menggolarakan lahirnya diriku. Prinsip itu, masih
tertanam dalam. Semboyan "Berdikari" itu masih terus ku simpan di
relung hati hingga tiba saatnya.
Engkau kah manusia pilihan itu?
Engkau kah yang telah dijanjikan para penghuni langit dalam serta merta menjadi
pemimpin yang adil dan bijaksana? Engkau kah yang lebih baik kepemimpinannya
dari Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, Thariq bin Ziyad atau Sultan
Muhammad Al-Fatih yang merebut singgasana konstatinopel oleh penguasa Bizantium
pada saat itu? Wahai pemuda, usiaku sudah tua. Aku tak tahu apa yang harus ku
perbuat kedepannya. Bisa saja 3 atau 5 tahun lagi diriku akan mati, atau terpatri
akan jajahan para kompeni itu 'lagi'. Hanya engkau, para generasi muda untuk
terus melindungi diri ku ini yang para pendahulu mu menamakan diriku,
*Indonesia*.
Waallahu'alam bisshowab.
Tidak ada komentar: