72 Tahun Sudah Umurku

19.39


*72 Tahun Sudah Umurku*
Oleh: Remy Hastian
            Aku dilahirkan sangat susah payah. Lahir dari rahim para pejuang, sel telur dari para budak dan buruh yang dulu dicampakkan. Organisasi Pergerakan Nasional, yaitu Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij_, _Indische Vereniging_, PNI dan PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Maupun Organisasi Islam yang menjadi penggerak wadah mujahid. Macam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Nahdatul Ulama dll. Maupun para organisasi lain, merekalah yang merencanakan jauh hari untuk diriku siap lahir di dunia.
            10 hari sebelum aku dilahirkan. Pada tanggal 7 Agustus 1945, dibentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dari situlah, harapan aku lahir muncul. Dan pada 2 hari berselang. Tanggal 9 Agustus, Jendral Terauci, panglima tentara Jepang di Saigon, memanggil Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta dan Drs. Radjiman Widiodiningrat untuk membicarakan tentang proklamasi  kemerdekaan.
            Hingga 24 jam menjelang kelahiran-ku ini, Para tokoh muda dan tua 'berseteru' untuk mengambil keputusan yang diambil dalam me-refleksikan kekosongan kekuasaan karena Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Dibawalah Soekarno dan Hatta ke Rangasdengklok dengan maksud menjauhkan kedua tokoh tersebut dari pengaruh Jepang. Atas jaminan Ahmad Subardjo, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
            Detik-detik kelahiranku. Dirumah Laksamana Tadashi Maeda, di Jalan Imam Bonjol No: 1 Jakarta. Perumusan naskah proklamasi itu dibuat. Dengan Soekarno sebagai penulis, Hatta dan Subardjo sebagai penyumbang pikiran secara lisan. Tepat, pada pukul 10.00 pagi 17 Agustus 1945, Proklamasi dibacakan, naskah keramat yang menjadi saksi para pejuang bangsa untuk menegakkan kemerdekaan walau sudah sekarat. Dikibarkan bendera merah diatas putih dengan pengibar bijaksana, Latief Hendradiningrat dan Suhud Sastro Kusumo dan jahitan lembut seorang bidadari nasionalis dari Bengkulu, Ibu Fatmawati.
            Akhirnya diri ku lahir. Tangisan haru mengairi Sabang hingga Marauke. Mendengar diriku lahir, semuanya bersuka cita, tanda perjuangan dan pengorbanan telah menunjukkan hasilnya. Orang mengenalku dengan simbol merah diatas putih. Diambil dari bendera Majapahit pada abad ke-13 yang terdiri dari sembilan warna merah dan putih yang tersusun secara bergantian. Mengenal tanda kasih, jika perjuangan rakyat dalam proses melahirkan ku, tidak lain dengan semangat keberanian dan kesucian.
            Di usiaku yang masih balita. Banyak peristiwa yang menghinggapinya. Dari sebelum meledaknya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Pak karno, presiden pada saat itu meminta pendapat dan restu kepada Syaikh yang di hormati keilmuwannya, yang di teladani akhlaqnya, yaitu KH. Hasyim Asy'ari. 22 Oktober tepatnya dan Resolusi Jihad pendapatnya. Itulah usul dari sang kiyai untuk mengutuk perilaku para penjajah yang sewenang-wenang. Dengan belum genapnya umur ku lima tahun sudah dilibati dengan kondisi, 'Aku masih direbutkan olehnya'. Agresi militer Belanda I & II pada tahun 1947-1948. Membuat diriku bertanya. "Apa yang membuatnya masih tak puas menahan kelahiranku hingga 350 tahun lamanya?".
            Banyak cara untuk merawatku. Hingga permainan Demokrasi yang ditiru barat (Liberal), terpimpin yang ditandai dengan Dekrit Presiden pada sekisaran 5 Juli 1959. Hingga masa _New Orba_ dalam kegemilangan konsepsi pembangunan yang nyata, yang terkenal dengan kabinet Ampera dan sistem Pelita-nya. Hingga cara yang terbaru dalam merawatku dengan memakai reformasi sebagai tanda perombakan sistem yang telah bobrok dilakukan pada sistem pemerintahan sebelumnya.
            Boleh ku cerita? Ketika umurku masih remaja. Sekisaran 20 tahun, pada tahun 1965 ada pemberontakan besar, yang dipimpin oleh Partai Buruh pada saat itu. Pemberontakan itu membuatku trauma, terhadap asas dan semboyan yang telah di restui. Bukankah sebelum ku lahir, semuanya telah sepakat dalam menjaga persatuan dan perbedaan yang ada? Hingga orang berpengaruh pada saat itu. TNI, Ulama dan tokoh masyarakat dibunuh, dimutilasi hingga bau mayatnya, 'babi' pun tak mau menciumnya. Kejam memang. Sepuluh tahun bertambah usiaku, datang lagi peristiwa besar yang dinamakan "Malari" (Mala Petaka 15 Januari) sekisaran tahun 1974. Di usiaku yang belum genap 30 tahun.
            Hingga pada usiaku yang menginjakkan kepala lima. Tahun 1998 tepatnya. Pemberontakan besar itupun terjadi 'lagi' dengan runtuhnya sistem keuangan. Banyak penjarahan, nilai mata uang tak ada nilainya. Hingga kejamnya semua menganggap, "Yang terpenting diriku selamat oleh masa ini". Polisi melawan Mahasiswa, dan banyak aktivis yang tak kembali raganya ke dalam sanggar rumahnya. Hilang tak tahu kemana. Kejam memang.
            Hingga usiaku yang menginjakkan kaki di usia yang sudah tua. Bagaimana seharusnya diri ini sudah menggendong cucu untuk menjadi pemimpin sejati. Membenahi sistem ekonomi, sumber daya manusia, sumber daya alam serta memperbaiki keberagaman umat dalam persatuan yang dulu menjadi cikal bakal diriku lahir di dunia ini.
            Yang dimana, diri ini pernah ditakutkan oleh Negara manapun yang mendengar namaku. Dulu ku makan dengan kerja keras, tak mengemis bahkan meminta oleh Negara manapun. Aku merasa ciptaan alam yang melimpah, sangat bodoh jika ku tak manfaatkan, aku merasa jika sumber daya manusia bisa di kontrol dengan baik, bisa meruntuhkan kekaisaran romawi yang dijanjikan Rasulullah Saw. Aku rasa, harapan itu masih ada. Diri ini yang lahir karena keikhlasan para pejuang, karena pengorbanan para pejuang untuk terus menggolarakan lahirnya diriku. Prinsip itu, masih tertanam dalam. Semboyan "Berdikari" itu masih terus ku simpan di relung hati hingga tiba saatnya.
            Engkau kah manusia pilihan itu? Engkau kah yang telah dijanjikan para penghuni langit dalam serta merta menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana? Engkau kah yang lebih baik kepemimpinannya dari Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, Thariq bin Ziyad atau Sultan Muhammad Al-Fatih yang merebut singgasana konstatinopel oleh penguasa Bizantium pada saat itu? Wahai pemuda, usiaku sudah tua. Aku tak tahu apa yang harus ku perbuat kedepannya. Bisa saja 3 atau 5 tahun lagi diriku akan mati, atau terpatri akan jajahan para kompeni itu 'lagi'. Hanya engkau, para generasi muda untuk terus melindungi diri ku ini yang para pendahulu mu menamakan diriku, *Indonesia*.
Waallahu'alam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.