Kekuasaan, Politik, dan Kodrat Pelayan Umat

06.47
Oleh : Qori Hani Rifati
Hubungan Masyarakat UNJ, 2016
Sebelum berbicara tentang kekuasaan, politik dan kodrat pelayan umat, saya masih tertarik untuk kembali mengingat peristiwa heboh diawal bulan ini. Tentang seorang Zaadit Taqwa yang begitu 'sok' heroik meng-ultimatum pemimpin --seorang yang paling berkuasa-- di negaranya dengan lelucon peluit dan kartu kuning bak seorang wasit sepak bola. Bahkan ada yang menuliskan seperti peniup sangkakala yang suaranya menggelegar membangunkan mayat-mayat yang tertidur. Bukan hanya mayat pemerintahan, tapi juga mayat-mayat dibalik balutan almamater kampus.
Bagi saya, yang menarik bukan soal kenapa Zaadit sok berani seperti jagoan disiang bolong. Namun yang menarik adalah, seburuk apakah pemimpin negeri ini sampai seorang bocah selevel Zaadit menggadaikan keberaniannya untuk 'berguyon' menarik simpati, demi sebuah aspirasi.
Sebegitu seringnya-kah suara-suara dibungkam hingga tak lagi terdengar? Dimana pula letak keadilan dan kebijaksanaan seorang pemimpin yang terkesan acuh tak mau mendengar aspirasi rakyatnya? Padahal setiap dari kita diberi sepasang telinga oleh Tuhan, yang berarti kita memang disetting untuk lebih banyak mendengar. Namun jika sampai hari ini nyatanya penguasa yang bertahta selalu saja sulit mendengar, maka pada kekuasaan mana lagi kita harus berbicara?
Tentang kekuasaan, Robert Mac Iver mengatakan bahwa ia adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah atau dengan tidak langsung, yaitu dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia
Sejenak, jika berbicara kekuasaan, maka tidak jarang kita mengidentikannya dengan politik. Mungkin bagi sebagian orang, tidak semua kekuasaan adalah politik. Namun bukan berarti politik adalah bukan soal kekuasaan.
Dalam pidatonya, Hasan Al-Banna memaparkan bahwasannya politik memiliki 2 sisi : Internal dan Eksternal. Sisi internal disini adalah sisi yang mengurus tentang berbagai  persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi, merinci kewajiban dan hak-haknya, serta melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan, dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan.
Sedangkan sisi eksternal politik adalah soal bagaimana memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, tentang mencapai tujuan serta mendapat kedudukan yang setara dengan yang lainnya, serta terbebas dari penindas dan intervensi pihak lain dalam berbagai urusan.
Antara politik dan kekuasaan memang tidak selalu harus dikait-kaitkan. Namun keduanya memang punya hubungan kedekatan. Politik adalah kendaraan untuk mendapatkan kedudukan. Dan kedudukan merupakan salah satu sumber kekuasaan. 
Secara bahasa, politik berasal dari kata politicos yang berarti proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, yang berwujud proses pembuatan keputusan. Politik adalah segala urusan dan tindakan, baik itu tentang kebijakan, siasat, serta  cara bertindak untuk menghadapi masalah.
Sampai sini, boleh dibilang kalau semua kekuasaan itu termasuk politik. Karena dalam kekuasaan tidak jauh dari bagaimana seseorang membuat kebijakan, kemudian menentukan siasat pelaksanaan maupun siasat pegorganisasian, serta bagaimana cara bertindak dan megambil sikap jika terjadi masalah tertentu.
Dewasa kini, tak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa politik itu sebagai sesuatu hal yang 'kotor'. Anggapan masyarakat pada umumnya ini identik dengan eksploitasi, kesewenangan, korupsi, dan memperkaya diri sendiri. Padahal itu hanyalah oknum yang kemudian mencemari pemahaman politik rabbani menjadi pemahaman politik jahili
Karena politik sebagai alat kekuasaan sebenarnya bersifat netral. Tergantung oleh siapa politik itu dipegang. Ketika politik berada pada orang yang dadanya sesak dipenuhi nafsu duniawi serta matanya gelap akan gemerlap nikmat harta dan tahta maka sesuatu yang 'kotor' akan menjadi identitas. Akan tetapi ketika politik berada pada orang yang dekat dengan Tuhan maka selayaknya politik berubah menjadi rahmat bagi alam semesta.
Setiap manusia sejak lahir sejatinya ia telah dibebankan tugas sebagai seorang  utusan, yakni khalifah (pemimpin) di muka bumi. Pemimpin disini memang dalam cakupan artian yang sangat luas, namun salah satu jalannya ialah lewat perpolitikan. Karena darinya ada jalan untuk memiliki kekuasaan memimpin umat.
Bahkan dalam islam, berpolitik adalah bagian dari jihad yang bernilai tinggi, sebagaimana suatu ketika Rasulullah ditanya : " Ya Rasulullah, jihad apakah yang paling utama?" Dan beliau menjawab, "jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran didepan penguasa yang jahat"
Tapi perlu sama-sama kita garis bawahi, bahwasannya kekuasaan politik bukanlah sebuah kehormatan (atau sebaliknya kenistaan). Melainkan adalah amanah yang perlu dijalankan dengan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab untuk membawa masyarakat kearah kebenaran, kesejahteraan, dan keadilan. Karena setiap tanggung jawab yang diemban akan dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan. Entah kapan, namun itu adalah keniscayaan.
Terlepas dari soal politik dan kekuasaan yang notabenenya memiliki hubungan kedekatan, seorang pemimpin yang 'berkuasa' haruslah bersikap adil dan bijaksana. Siapapun dia. Apalagi untuk ia yang sedang menjadi pemimpin negara. Segala sikap, kebijakan, hukum, simbolik kehidupan, semua harus adil sesuai takarannya.
Karena segala persoalan yang menyangkut kepentingan umum sekarang ini berada sepenuhnya didalam kekuasaan negara. Mulai dari pendidikan, pengajaran, media massa, sampai kepada kebijakan ideologi, serta perang dan perdamaian. Maka sesiapapun pemimpinnya ia harus menjalankan amanat dengan adil.
Kembali belajar dari kasus Zaadit yang diceritakan diawal, perlu diingat oleh sesiapapun yang sedang memimpin. Dan sangat perlu diingat untuk pemimpin yang dalam dirinya tengah merasa indah dengan sifat bijaksana, bahwa seorang pemimpin yang adil dan bijaksana itu adalah ia yang hadir untuk kemaslahatan seluruh manusia.
Bukan yang menutup telinga, dan bilang semua baik-baik saja. Padahal rakyat nelangsa menjerit meminta iba.
Sungguh, tidak ada kebanggan dari menjadi seorang pemimpin, karena kodratnya hanyalah sebagai pelayan umat. Seseorang yang akan ditinggikan derajatnya bila benar-benar menjadikan kekuasaan itu untuk berdedikasi melayani masyarakat. Dan sebaliknya, derajatnya akan langsung meluncur jatuh menjadi penjahat-penjahat terbesar saat ia dzolim dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri.
"Kekuasaan itu pada dasarnya merupakan pengganti dari pemilik legislasi (Allah) untuk menjaga dan melindungi kepentingan dunia" jelas Ibnu Khaldun.
Oleh karena itu, ketika Tuhan memberi kesempatan untuk berkuasa, sekecil apapun kekuasaan itu, maka harus disiapkan berbagai agenda untuk sungguh-sungguh mensejahterakan rakyat. Karena pemerintahan tidak lain adalah kontrak kerja antara rakyat dan pemimpinnya, untuk memelihara kepentingan bersama. Dan sumber kekuasaan itu adalah satu, yaitu kehendak rakyat, kerelaan, dan pilihan mereka secara suka rela.
Maka jangan pernah merasa hebat. Karena kedudukanmu hanya sebatas pelayan umat, yang pertanggung jawabannya nanti di akhirat. Pilihanmu hanya dua, husnul khotimah atau su'ul khotimah dalam beramanah. yakni surga atau neraka, wahai engkau yang sedang berkuasa.
Bogor, 10 Februari 2018

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.