Selamat Datang di Masa Perjuangan, Mahasiswa!

08.51
Oleh : Silviana Eka Dewi Hapsari
Pendidikan Sosiologi UNJ, 2017

Selamat datang pemuda intelektual yang digadang-gadang sebagai masa depan bangsa. Pemuda intelektual yang dinamai mahasiswa. Mahasiswa yang sedang berjuang dijalannya, mahasiswa yang sedang berjuang dengan caranya, mahasiswa yang sedang berjuang untuk dirinya atau untuk bangsanya.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja, kawan!
Kalimat ini yang selalu diteriakan mahasiswa, entah saat aksi atau bahkan sudah otomatis terngiang ditelinga mahasiswa. Kalimat biasa yang mampu menyadarkan kekhilafan mahasiswa, yang mampu membakar semangat mahasiswa untuk berjuang, dan tentunya mampu membuat orang lain mencibir aksi mahasiswa tersebut.

Sambut pekikkan saya, Hidup Mahasiswa!
Pekik sang orator untuk menyamakan suhu saat aksi berlangsung. Pekikkan pemersatu mahasiswa dari Sabang sampai Merauke, pekikkan yang mampu meneguhkan perjuangan mahasiswa, dan lagi-lagi pekikkan yang sering dijadikan lelucon.

“Yang paling berat adalah nanti akan terjadi mahasiswa akan berhadapan dengan mahasiswa sendiri” - Panji Laksono (BEM KM IPB 2017)
Disaat beberapa mahasiswa menyuarakan tuntutan-tuntutan yang dihasilkan dari konsolidasi, pekikkan-pekikkan lirih namun bergelora dari para presma, warna-warni almamater sebagai miniatur Indonesia, ada pula beberapa mahasiswa lainnya yang memekikkan sesuatu yang berbeda, cibiran.

#KartuKuningJokowi, tagar ini sedang hangat-hangatnya bertengger di linimasa setiap media sosial. Apalagi media yang semakin menambah viralnya aksi tersebut, seperti diundangnya para presma di stasiun televisi swasta kemarin. Disini penulis bukan terfokus pada sisi tuntutan yang mendasari aksi Zaadit Taqwa (Presma UI 2018) selaku pemberi kartu (buku) kuning untuk Bapak Presiden. Tapi terfokus pada beberapa kalimat sederhana yang menjadi sesuatu yang seksi untuk dibahas.

Mahasiswa memang salah satu bagian dari civitas akademika, dimana sebagai cirinya adalah intelektual yang dimiliki. Aksi spontan Zaadit ini pun bukan suatu hal yang tidak berisiko, kasarnya mungkin Zaadit sudah gila mau memertaruhkan jabatannya sebagai mahasiswa hanya untuk menyampaikan aspirasi. Dan aksi ini pun merupakan refleksi intelektual Zaadit. Ketika tabayyun tak menghasilkan solusi, kata tak lagi didengar, demonstrasi tak kunjung digubris, datang tak kunjung ditemui, dan ini mungkin jalan terbaik bagi Zaadit dengan momen yang mendukung.

Mungkin terlalu basi ya membahas pro dan kontra perihal aksi mahasiswa, namun penulis tertarik karena peristiwa ini mengingatkan pada perkataan Panji Laksono perihal mahasiswa yang akan berhadapan dengan mahasiswa. Banyak status-status dari mahasiswa yang membahas aksi Zaadit ini, dari mahasiswa UI sampai mahasiswa di luar Pulau Jawa. Status-status yang menggoda untuk dibaca isinya dan komentar dari para netizen karena seksinya pembahasan dan respon yang bermacam-macam. Bahkan ada yang beradu argumentasi di kolom komentar sebuah status.

Mahasiswa diam, salah. Mahasiswa bergerak, salah. Sama-sama salah, yasudah bergerak saja.
Teringat pada komentar disalah satu status seseorang yang membahas aksi Zaadit, yang berisi kurang lebih seperti ini, aksi yang dilakukan Zaadit ini tidak sopan dan bukan dimomen yang tepat. Dan ada yang membalas komentar tersebut, tidak sopan? Pemuda dahulu mungkin bisa dikatakan lebih tidak sopan ya? Dimana mendesak orang-orang tua untuk memercepat proklamasi, dimana berargumen dengan orang tua tanpa minta izin dahulu, dimana para pemuda menculik Bung Hatta dan Bung Karno pada malam hari padahal itu waktu tidurnya mereka, wah sungguh tidak sopan, kurang lebih seperti itu, so sexy. Disaat suatu peristiwa tak ada aksi dari mahasiswa, banyak yang mencari mahasiswa dengan kalimat-kalimat sarkasnya. Disaat mahasiswa turun ke jalan menyuarakan aspirasi, banyak yang menghujatnya dan menyuruh mahasiswa duduk di bangku kuliah dan mendengarkan dosen saja. Netizen zaman now.

“Jika ia mengkritik pemerintah bukan berarti dia anti-pemerintah. Pun sebaliknya, jika ia memuji pemerintah bukan berarti ia pro-pemerintah” - Obed Kresna (Presma UGM 2018)
Obed Kresna, dengan logat yang sangat kental mampu menampar wajah komentator-komentator di luar sana yang mencibir kalau mahasiswa hanya bisa mengkritik. Katakan hitam adalah hitam dan katakan putih adalah putih, dan itulah yang dilakukan mahasiswa. Mahasiswa tak segan memuji jika menghasilkan prestasi, dan jangan marah jika mahasiswa mengingatkan janji manis yang belum terealisasi. Dan mahasiswa tidak ingin membuat hoax yang membangun, karena itu sebuah kemunafikan idealisme.

“Temuilah kami, mahasiswa bapak” - Qudsyi Ainul Fawaid (BEM KM IPB 2018)
Mahasiswa tak perlu janji-janji untuk bertemu, hanya butuh waktu sebentar untuk menyampaikan aspirasi lalu selesai, hanya itu, mengapa sangat sulit untuk pemerintah bertemu rakyatnya? Ada sebuah janji yang disampaikan Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan), Presiden siap hadir, jika presiden diundang oleh mahasiswa. Ini sungguhan? Atau hanya sebuah tantangan? Atau sebuah janji manis yang berujung pahit? Sepertinya akan berujung sama dengan omongan seseorang tentang membangun pemerintahan responsif dan yang katanya rindu didemo.

Ingat angka 7 sudah tergantikan angka 8, jangan sampai mahasiswa mati dan tergantikan oleh kemunafikan dan kedzoliman. Ingat estafet perjuangan 20 tahun pemuda jatuh pada tahun ini, apa yang akan diukir menjadi sejarah oleh para pemuda tahun ini? Aksi kartu kuning Jokowi hanya sebagai pemantik diawal tahun, yang sudah membuka sedikit demi sedikit daging birokrasi yang tertutup kulit sutra. Apakah mahasiswa akan berhasil membuka kulit sutra yang selama ini dipegang erat? Apakah kondisi sebenarnya daging kulit sutra itu?

Pilihan, hanya ingin menjadi saksi sejarah atau pengukir sejarah. Bergerak atau namamu akan digantikan oleh kedzoliman dan idealismemu akan tergerus kemunafikan. Silakan memilih!

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.