Terdiam atau Tergerak?

01.30


Oleh: Remy Hastian

Awan gelap membuat bisu harapan para kaum terpinggir yang menikmati indahnya senja di kala ramai. Tatkala rembulan datang, tepat sekisaran bulan tegak di malam hari. Pak Endang, perwakilan warga yang menyaksikan langsung Air kiriman itu datang. Tak ada kata. Tak ada frasa. Yang ada, hanya bisu tanda tak terduga. Hari itu, merupakan sebuah bencana banjir dalam siklus 5 tahunan.

Pak Aga sebagai Ketua Rukun Warga 03, yang dimana--pada saat itu bencana banjir ini merupakan yang terparah, katanya. "Parah sekali diantara bencana banjir siklus 5 tahunan, karena memang pada biasanya kita bisa mengantisipasi air naik hingga banjir--sehingga masih ada waktu untuk menyelamatkan sebagian harta yang ada di rumah. Tapi, untuk banjir tahun ini kita tidak bisa memprediksi datangnya air. Tiba-tiba air sudah masuk ke dalam dereran rumah warga dan pergerakan air sangatlah cepat. Seperti Tsunami!."

Jangan tersontak kaget, jangan tersontak menolak. Menolak ketidakpercayaan cerita di atas. Rekan-rekan sekalian, yang dirahmati oleh Allah Swt. Penulis menyampaikan sebuah pesan di awal, jika wawancara singkat kepada warga korban banjir di sekitaran Kampung Pulo, Jakarta Timur. Itu benar adanya. Dan rekan-rekan sekalian, kita pahami dan resapi segala tindakan yang telah kita lakukan sebagai Mahasiswa, yang tatkala ketika ditanyakan fungsi kita sebagai apa? Lantas, teringang jawabannya; Moral force, Iron Stock, Agent of Change, Control Social, ataupun Guardian of Value.

Fungsi itu telah coba kita jalani. Tapi, ungkapan mahasiswa kurang 'beradab' dalam menyampaikan aspirasi itu merupakan sebuah hal yang lucu. Jika memang seperti itu, apa kabar dengan pemuda yang menculik kaum tua demi merdeka-nya bangsa ini tanpa ada campur tangan penjajah? Apa kabar mahasiswa yang naik ke gedung DPR/MPR di kala itu demi runtuhnya rezim--diambang kehancuran? Apakah itu kurang beradab? Apa memang definisi biadab adalah melindungi kesalahan yang di lakukan kaum elitis di depan umum?

 Jika memang itu definisi biadab, bangsa ini tidak akan tepat tanggal 17 Agustus 1945, mungkin meleset satu hari, satu minggu, satu tahun atau satu kali lagi di jajah karena waktu yang terlalu lama dengan melihat masa kekuasaan yang kosong? Jika memang itu pengertian biadab, mungkin pada hari ini--kita masih merasakan 'sedih'-nya akhir kepengurusan di masa pemerintahan Orde baru pada saat itu.

Terbahak.

Sebuah makna kata yang kita lihat, betapa dagelan-nya negeri ini. Jika kita berniat menjalankan fungsi kita untuk mengkritisi pemerintah dengan sebuah ungkapan simbol (baca; kartu kuning). Dijadikan bahan cemoohan, dijadikan bahan olok-olok tanda keberpihakan. Kepala Staff Kepresidenan, Pak Moeldoko menyampaikan prestasi sang nakhoda yang mengarungi dan memimpin jalannya bahtera ini hingga 4 tahun lamannya. Terimakasih pak, kau berniat mencoba mencerdaskan kami. Pun, disaat ada pembicaraan bahwasannya sang nakhoda itu dengan rasa sukarela-nya menyambut kedatangan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi, kajian dan semacamnya. Terbahak (lagi).

Jika aspal jalanan bisa menjadi saksi hidup betapa banyak keringat yang membasahi-nya--dirimu pun akan merasa gundah tanda rasa bersalah wahai nakhoda ulung. Dan jika memang setiap keluh kesah itu bisa dimaknai sebuah bau, dirimu akan mengetahui betapa menyengat-nya negeri ini terhadap rasa yang dicium oleh rasa kepedulian terhadap bumi pertiwi ini, wahai nakhoda ulung.

Tak ada rasa benci kami terhadapmu wahai bapak, pahami kembali fungsi yang penulis telah sampaikan diatas. Gerakan ini murni demi membangun negeri, gerakan ini suci demi kesejahteraan yang hakiki, adapun jika ada yang bergerak atas nama "mahasiswa" dengan tidak melakukan tujuan gerakan di atas. Catatlah, dan Notulensikanlah itu hanya pengakuan oknum berbalut almamater, sampah yang mengaku berlian, pencuri yang menganggap dermawan. Kita lakukan ini, tanda sayang-nya kami kepada nakhoda yang akan mengantarkan kami menuju singgasana kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi negeri ini.

Seonggok bukti.

Kita kritisi kau represifkan kami, kita berdemokrasi kau curigai kami, kita mencintai bumi pertiwi ini setulus hati kau tuduh kami, tanda dianggap intoleransi. Bagaimana bapak nakhoda?

Tatkala diucapkan sumpah itu, mahasiswa yang benar nalar-nya adalah dia yang menolong tanpa upah, tanpa lelah dan tanpa memikirkan celah. Untuk apa saya sebagai mahasiswa mengkritisi pemerintah? Yang notabene adalah pelaksana sebuah tatanan bernegara? Dan pertanyaan kembali, untuk apa saya melakukan ini semua, jika memang tindakan kita sebagai penyambung lidah rakyat; menyampaikan aspirasi, memberikan saran dan inovasi, membatu rakyat yang dianggap hampir mati--jika memang itu semua kita lakukan dengan tujuan membangun bersama negeri ini jauh lebih baik?

Tahun ini menjadi saksi, siklus 20 tahunan yang pernah terjadi--apakah terealisasi kembali di tahun ini? Mahasiswa jangan terdiam, bisu tertelan suara kerasnya ombak menghantam karang. Mahasiswa jangan meradang, takut bersuara karena diancam sebagai pembrontak dan sebagainya.

Bersatulah, karena Budi Utomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda pada tahun 1928, gejolak perang ideologi PKI pada tahun 1948 hingga jatuhnya Orde lama pada tahun 1968 hingga puncak runtuhnya singgasana rezim 'pengawal' pembangunan pada tahun 1998--tak lain dan tak bukan di awali semangat persatuan untuk mengawal segala ketidak benaran yang terjadi di bumi pertiwi ini.

Semangat serempak yang di gaungkan dari timur hingga barat, dari utara sampai selatan, dari penderitaan hingga kemelaratan dengan pekikan "Hidup Mahasiswa"! Dan semangat yang menjadi ruh sampai detik ini--sampai kapanpun. Yang senja telah berganti rembulan, embun telah berganti lahar, subur berganti menjadi tandus, tatkala itu kita lewati, dan tatkala semua itu hanyalah sebuah cobaan demi tegaknya keadilan di negeri ini, dengan pekikan "Hidup Rakyat Indonesia!"

Jangan ragu, jangan risau, jangan takut. Mari kita berjuang, bersatu demi Indonesia yang jauh lebih baik.

Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!

Waallahu a'lam bisshowab.

http://www.aktual.com/komando-kecam-aksi-represif-rezim-jokowi-jk-terhadap-mahasiswa/

http://nasional.kompas.com/read/2018/02/02/13533421/acungkan-buku-kuning-di-depan-jokowi-ketua-bem-ui-dibawa-paspampres

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.