Polemik RUU PKS
M. Andika,
Risky Egi O., Silviana Eka D. H., dan Vemi Nabila W.
Red’ Soldier,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
e-mail: redsoldierfisunj@gmail.com
Oleh Novia Hidayat |
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akhir-akhir ini menjadi polemik di masyarakat, tentu saja dengan pro dan kontranya (Draft RUU PKS: http://bit.ly/RUUP_KS). Namun sebelum membahas mengenai hal ini, kita perlu memahami lebih dalam mengenai kekerasan seksual itu sendiri. Menurut Saraswati (seperti dikutip Malinda, 2008), kekerasan adalah bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lebih dari seorang, yang dapat mengakibatkan penderitaan pada pihak lain. Seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Maka kekerasan seksual dapat diartikan sebagai tindakan yang merugikan orang lain yang berkaitan dengan hubungan intim. Pelaku kekerasan seksual memiliki kendali terhadap korban seperti faktor ekonomi, penerimaan masyarakat, sumberdaya termasuk pengetahuan. Menurut Mariana (2018), makna “kekerasan” dalam hal seksual adalah suatu tindakan yang keji: memaksa, menganiaya, menguasai, intimidatif, dan sewenang-wenang secara seksual, bukan dalam konteks “boleh dan tidak boleh atau suka sama suka” dan bukan dalam arti “tidak boleh atau boleh-boleh saja” dan bahkan lebih dari sekadar standar kesopanan atau ketidaksopanan, atau kesusilaan, karena kekerasan mengandung tujuan menjatuhkan harga diri seseorang, bahkan masa depan seseorang. Komnas Perempuan melansir ada 15 bentuk kekerasan seksual dari hasil pemantauanya selama 15 tahun, yaitu perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pedagangan perempuan, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi, praktik tradisi bernuansa seksual, serta control seksual (Selengkapnya: http://bit.ly/BentukKekerasanSeksual).
Keadilan
untuk korban kekerasan seksual menjadi alasan terciptanya RUU PKS, dikuatkan
dengan penjelasan dari Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’I, bahwa RUU PKS
ini berangkat dari fenomena hambatan di mana perempuan korban kekerasan seksual
dan laki-laki tidak mendapatkan akses yang cukup untuk mendapat keadilan hal
ini tidak hanya berdampak pada fisik namun berdampak juga pada psikis korban.
Namun RUU PKS ini nyatanya menimbulkan polemik di tengah masyarakat Indonesia,
polemik ini bermuara pada beberapa pasal yang dinilai kontroversial didalam RUU PKS yakni
pasal 1, pasal 11 ayat 1 dan ayat 2. Tidak sedikit masyarakat yang menilai pasal-pasal tersebut telah
menimbulkan ambiguitas serta multi-tafsir, lantas menimbulkan pro dan kontra di
dalamnya.
Pasal 1 ayat 1
berbunyi:
"Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,
menghina, menyerang, dan/atau
perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi
reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat
atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis,
seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik."
Pasal 11 ayat 1 berbunyi:
“(1) Kekerasan seksual terdiri dari: a. pelecehan seksual; b. eksploitasi
seksual; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan aborsi; e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan; g. pemaksaan pelacuran; h. perbudakan seksual; dan i. penyiksaan seksual.”
Pasal 11 ayat 2 berbunyi:
"Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi
personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam
situasi konflik, bencana alam, dan situasi khusus lainnya."
Salah satu penyebab
timbulnya polemik mengenai pasal ini diawali dengan petisi yang
dibuat oleh Dosen Program
Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran (UNPAD), Maimon Herawati. Di dalam
petisinya ia menjelaskan bahwa RUU PKS ini merupakan UU pro zina, dikuatkan
dengan pendapatnya bahwa RUU tersebut tidak memuat pengaturan tentang kejahatan
seksual, yaitu hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama. Dalam petisinya, ia mengkritik
tentang pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan aborsi, LGBT, dan sebagainya yang melanggar norma asusila dan
agama (Selengkapnya: http://bit.ly/PetisiTolakRUUPKS). Selanjutnya AILA Indonesia juga
ikut berpendapat tentang penolakan RUU PKS ini. Pada instagramnya
(@ailaindonesia) menjelaskan bahwa RUU PKS ini mengadopsi konsep Barat yang
liberal dan kering agama, terlihat pada konsep seksualitas yang hanya dipandang
sebagai sesuatu yang individual serta tidak dikaitkan dengan sistem keluarga. Selain
itu, muncul juga pendapat dari Farah Qoonita melalui akun instagramnya (@qooonit) menjelaskan
mengenai dampak jika RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) disahkan. Farah
menyatakan bahwa RUU PKS sama saja dengan mendukung free sex, namun
tidak semua poin dalam ayat tersebut dipermasalahkannya. Pertama, menyatakan
jika prostitusi paksa akan dipidana bagaimana nasib prostitusi yang tidak
dipaksakan. Kedua, membahas tentang aborsi dimana jika aborsi yang tidak
dipaksakan tidak melanggar hukum. Ketiga, membahas tentang pro LGBT dimana
tidak ada pemaksaan perkawinan dengan siapa saja yang penting didasari dengan
cinta. Keempat, membahas tentang bencana sosial yang akan terjadi seperti AIDS,
penyakit kelamin, degradasi moral, agama fiksi, dan broken home. Selain itu, Farah Qoonita juga
berpendapat bahwa jika RUU ini disahkan maka dapat mengenyampingkan hukum yang
lama (asas lex posteriori derogate legi priori). Menurut Marwan (2014), lex
posteriori derogat legi priori adalah peraturan yang baru didahulukan
daripada peraturan yang lama. Artinya, undang-undang baru diutamakan
pelaksanaannya dari pada undang-undang lama yang mengatur hal yang sama,
apabila dalam undang-undang baru tersebut tidak mengatur pencabutan
undang-undang lama. Asas ini pun digunakan apabila suatu hukum direvisi atau
diamandemen, jadi asas ini tidak berlaku apabila suatu hukum baru tidak
memiliki hukum yang mendahuluinya. Konten yang dibuat Farah Qoonita ini sempat
di re-post oleh BEM UNJ dalam akun instagramnya (@BEMUNJ.Official), hal
ini mendapat beberapa respon dari mahasiswa UNJ yang lainnya. Menurut
Koordinator Forum Perempuan UNJ, Zahra Maulidinah, dilansir oleh tirto.id bahwa
BEM UNJ mere-post konten Farah hanya untuk survei bukan pernyataan
sikap. Pernyataan sikap bukan dilakukan oleh BEM UNJ, melainkan oleh LDK Salim
UNJ atau Lembaga Dakwah Kampus (@ldksalimunj) dengan judul infografis “Kenapa
Harus Menolak? Kan, Baik!”. Pernyataan sikap bukan dari judul infografis
namun dari judul kajiannya, yaitu “4 Hal Mengapa Kita Harus Menolak RUU
P-KS”. Empat alasan yang dimaksud yaitu mendiskreditkan agama, bertentangan
dengan sila ke-2 Pancasila, definisi ‘kekerasan seksual’ yang menimbulkan
banyak masalah, dan perubahan norma ke arah yang lebih buruk (Selengkapnya: http://bit.ly/4AlasanTolakRUUPKS).
Empat alasan ini sudah dipastikan bahwa sikap LDK Salim UNJ adalah menolak RUU
PKS.
Selengkapnya dapat diakses dengan meng-klik link berikut: http://bit.ly/PolemikRUUPKS
Kini Telah Hadir Game Poker Terbaik & Teraman di Asia lho !!
BalasHapusDisini Hanya Dengan 1 User Id saja Kalian Sudah Bisa Main kan 8 Game dari Kami.
BandarPoker | PokerOnline | CapsaSusun | DominoQQ | BandarQ | AduQ | SAKONG | BANDAR66
Info Lebih Lanjut Hubungi :
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker