Revitalisasi Pendidikan dalam Keluarga
Oleh: Silviana Eka Dewi Hapsari
sumber: gogleimage.com
Globalisasi menjadi salah satu polemik karena kehadirannya
menimbulkan dampak positif dan negatif yang memengaruhi kehidupan sosial
masyarakat Indonesia. Dampak positifnya dapat dilihat dari kerjasama yang
dilakukan Indonesia dengan negara lain dan Indonesia dapat mengadopsi kebijakan
negara lain yang sekiranya dapat diterapkan. Dampak negatifnya dapat dilihat
dari pergeseran nilai dan norma yang terjadi di kehidupan masyarakat. Pendidikan
digunakan untuk meminimalisir dampak negatif yang akan memengaruhi anak
Indonesia. Pendidikan merupakan hal penting dan mendasar dalam kehidupan bangsa
dan negara. Pendidikan yang maju membuat kehidupan bangsa dan negara menjadi
terarah karena akan terciptanya warga negara terdidik, berkualitas, dan
berintegrasi. Mengutip pidato ilmiah dari Ketua MPR RI Zulkifli Hasan pada
Simposium Pendidikan di Gedung Khatulistiwa IV (7/12/17), beliau menjelaskan
bahwa ada tiga syarat agar suatu negara bisa menjadi negara maju, yaitu
pendidikan yang berkualitas, rasa saling percaya antar masyarakat, dan
keberlakuan nilai dalam masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan megaproyek bangsa Indonesia.
Akhir-akhir ini terjadi suatu kemunduran dalam dunia pendidikan,
yaitu anak melakukan kekerasan terhadap guru di sekolah. Menurut Staf Ahli
Menteri Bidang Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Arie
Budiman, krisis identitas menjadi alasan mengapa selama ini banyak kasus
kekerasan yang terjadi kepada guru yang dilakukan oleh siswanya sendiri. Saat-saat
usia siswa yang melakukan kekerasan tersbut merupakan saat tahapan pembangunan
identitas (Marcia, 1993). Dalam pemberitaan di laman sindonews (11/2/19), staf honorer sekolah dikeroyok lima siswa dan
orangtua hingga luka parah. Kejadian ini merupakan bentuk nyata dari
ketidaksertaan orangtua dalam membentuk karakter anak. Selain itu dalam
pemberitaan di laman sindonews (12/11/18), tentang video guru dikeroyok siswa
SMK NU. Meski sudah diklarifikasi bahwa perilaku tersebut hanyalah guyonan,
namun menandakan kurangnya kontrol siswa di sekolah. Dalam sosiologi, perilaku tersebut
dapat dikategorikan sebagai perilaku menyimpang yang diakibatkan sosialisasi
tidak sempurna dan differential association. Kekerasan yang dilakukan
anak dapat dipengaruhi oleh keadaan keluarganya. Jika anak melihat anggota
keluarganya melakukan kekerasan yang terus menerus, anak akan melakukan hal
yang sama dalam kehidupan sosialnya terlebih lagi jika anggotanya mendukung
perilaku tersebut dengan dalih seorang anak harus menjadi kuat, hal ini
biasanya diberlakukan untuk anak laki-laki. Selain itu, jika seorang anak tergabung
di suatu kelompok atau berinteraksi dengan orang-orang yang melakukan
kekerasan, kemungkinan besar anak akan berperilaku demikian untuk mendapatkan
prestise dari kelompoknya.
Membentuk anak menjadi pribadi yang baik secara intelektual dan
karakter harus ada kerjasama antara guru dan orangtua. Kualitas anak bukan
hanya diciptakan dari sekolah yang berkualitas namun juga dari keluarga yang
berkualitas karena keluarga adalah madrasah pertama yang anak terima. Keluarga
juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya
anak (Syamsul, 2005). Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa karakter bukan
diajarkan lewat teori dan wejangan, namun karakter diajarkan pakai teladan
dengan contoh nyata.
Sudah terbit di Koran Sindo Edisi 27 Februari 2019: http://koran-sindo.com/page/news/2019-02-27/1/1/Poros_Mahasiswa_Revitalisasi_Pendidikan_Dalam_Keluarga
Sudah terbit di Koran Sindo Edisi 27 Februari 2019: http://koran-sindo.com/page/news/2019-02-27/1/1/Poros_Mahasiswa_Revitalisasi_Pendidikan_Dalam_Keluarga
Tidak ada komentar: