Sepiring Berdua ala BEM UNJ
Pada Rabu (23/10), sebagian besar
–jika tidak disebut semua– masyarakat Indonesia dikejutkan dengan formasi
kabinet yang dipilih Presiden Joko Widodo. Pasalnya, muncul
nama kompetitornya, Prabowo Subianto, pada gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres)
yang telah berlangsung sebelumnya dalam daftar kabinet yang belakangan
diperkenalkan sebagai Kabinet Indonesia Maju. Lebih jauh, nama Prabowo Subianto
(Menteri Pertahanan) bukan satu-satunya nama dari elemen ‘oposan’ yang kemudian
diakomodasi dalam kabinet yang berulang kali disebut para elit politik sebagai
hak prerogatif Jokowi. Karena selain itu, ada nama Edhy Prabowo juga yang
kemudian menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Beragam pandangan para
pengamat politik sejurus kemudian meruap memenuhi
media massa pada waktu-waktu itu. Sebagian dari mereka meyebut bahwa hal itu
membuat demokrasi yang kurang sehat karena proporsi koalisi Pemerintah yang
sudah sangat gemuk, berbeda dengan Partai yang memilih –atau terpaksa memilih–
berada di luar pemerintahan, cenderung kurus ramping. Sebagian
lainnya berpandangan hal tersebut dipilih sebagai respon atas kian meruncingnya
perbedaan-perbedaan di akar rumput masyarakat.
Demikianlah kondisi elit politik tanah
air yang belakangan kadung terlihat sebagai pelakon yang sibuk sendiri dengan
lakon yang dimainkan masing-masing, dimana, sekali pun menyenangkan para
penonton (masyarakat), namun itu hanya sekadar lakon. Ada pun harapan dari
setiap lakon yang ke depannya kembali terus dipentaskan, semoga secara mendasar
diubah oleh dalang yang berada di balik semua lakon yang dipertontonkan hari-hari ini, demi masyarakat banyak.
Ada pun di kampus kita, Universitas
Negeri Jakarta, juga sedang –katanya– menjalani pesta
demokrasi. Fenomena –jika dapat disebut demikian– sepiring berdua para calon
Ketua -dan Wakil- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNJ –yang lalu-lalu– dengan kompetitornya, seharusnya
juga membuat kita terkejut, jika kita terkejut melihat fenomena yang sama pada
fenomena sepiring berduanya Jokowi dan Prabowo Subianto. Atau, jika kita sudah
menyadari hal tersebut jauh-jauh sebelum ini, ngapain sih pake sok-sok kaget
segala. Kan, sudah terbiasa ada lakon demikian di UNJ. Meski kita dapat
membuka diskursus hal ihwal perbedaan daya saing kompetisi antara politik elit
tanah air dengan politik-politik-an-nya mahasiswa UNJ; sistem
pemerintahan; ihwal kebutuhan memiliki stakeholder di pusat pemerintahan
dan dalam skala kampus; dan lain-lain.
Dua kali pergelaran politik-politik-an
di Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (Opmawa) tertinggi UNJ, penulis telah
berulang kali menyinggung ihwal, yang menurut Mohammad Hatta, sebagai
pemerintahan yang demokratis, yang akan memperkuat duduk suatu pemerintahan;
tidak oleng duduknya, begitulah majas yang digunakan Mohammad Hatta dalam “Kedaulatan
Rakyat, Otonomi dan Demokrasi” (2014). Sila lihat “Bisikkan pada TelingaMereka, “Memimpin Itu Menderita, Kawan” (2017) dan “Pemira UNJ 2018:Akankah Kaya Gagasan dan Membawa Perubahan?” (2018) di laman unjkita.com.
Dilihat dari jumlah partisipan yang
ikut menyemarakkan –lagi-lagi yang katanya pesta demokrasi– tahun lalu
(2018) Komisi Pemilihat Umum (KPU) Pusat UNJ boleh saja berbangga ihwal
persentase yang meningkat pada angka 54,96% (KPU Pusat UNJ 2018) dari sebelumnya
50.6% (KPU Pusat UNJ 2017). Pembaca dapat mengkalkulasi sendiri perolehan
masing-masing Calon Ketua dan Wakil Ketua –saat itu– dari jumlah persentase
partisipan yang menggunakan hak suaranya. Menjadi jelas, wanti-wanti penulis
dari dua tulisan sebelumnya bukan tanpa alasan, jika Pengurus BEM UNJ tidak mau
menginsafi apa yang sudah penulis singgung, bukan tidak mungkin akan ada
gerakan alternatif lainnya.
Setelah kita membaca tingkat
partisipan di atas dengan kaitannya dengan banyak hal, termasuk apa yang sudah
penulis singgung; termasuk tingkat kebutuhan perwakilan mahasiswa, meski bukan
faktor tunggal, agaknya tak salah jika berpekur adalah perlu dilakukan agar
muncul keinsafan. Mari kita lihat fenomena sepiring berdua yang biasa-biasa
aja di UNJ –atau BEM UNJ– dalam tiga tahun terakhir.
Pada BEM UNJ periode 2017/2018,
Ketua dan Wakil Ketuanya adalah Miqdad Ramadhan dan Mohammad Hafizh. Dimana
Solehudin dan Ahmad Muad Syaefuddin yang notabenenya sebagai kompetitor Miqdad
dan Hafizh, diakomodasi masing-masing sebagai
Kepala Departemen Pendidikan dan Departemen Dalam Negeri
Lalu, pada BEM UNJ periode 2018,
Moh. Wildan Habibi dan Prasetyo Setiawan yang terpilih menjadi Ketua dan Wakil
Ketua BEM UNJ saat itu. Dimana kompetitor mereka sebelumnya, Cholilurrahim dan
M. Imam Bagja P, menempati posisi masing-masing sebagai Kepala Divisi
Lingkungan Kampus Departemen Dalam Negeri dan Kepala Departemen Advokasi.
Serta, BEM UNJ Periode 2019, Latu
Marta Caraka dan Al-Ba’is Basyari masing-masing menjadi Kepala Departemen Dalam
Negeri dan Kepala Divisi Kaderisasi Departemen Dalam Negeri di bawah
kepemimpinan M. Abdul Basit dan Rizki Dwi Perkasa, yang notabenenya sebagai
kompetitor Latu dan Al-Ba’is pada Pemira UNJ 2018.
Seperti yang juga juga disebutkan di
atas, kita bisa mebangun diskursus ihwal fenomena sepiring berdua di BEM UNJ
ini. Sebagaimana, boleh jadi ini semua karena sistem pemerintahan di Opmawa
UNJ, yang ‘menegasikan’ poros mitra kritis –meminjam istilah yang katanya lebih
tepat dibanding oposan untuk konteks pemerintahan makro–, sehingga berdampak
juga pada tumpulnya fungsi Lembaga Legislatif di kampus, yang
mengakibatkan tidak ada wadah khusus untuk menjadi check and balance.
Sehingga kedua pihak atau lebih yang sama-sama nyalon sebelumnya –karena
mungkin perbedaan gagasan– memilih pragmatis. Kemudian, dimana suara-suara yang
bernada kritis hanya datang dari, mungkin Didaktika UNJ, yang terlihat
konsisten, namun pembaca boleh menilai, apakah suara mereka diacuhkan atau
tidak. Ada pun suara-suara lainnya, dari pribadi misalnya, karena mitra kritis
BEM UNJ selain minim dan tak punya wadah khusus sering kali dianggap sebagai
angin lalu. Dimana yang menghembuskan angin itu, –harapannya meski tidak baik
juga– cukup sampai dianggap angin lalu
saja, tidak sampai ‘pengkondisian’ terhadap yang bersangkutan yang menjadi
pilihan.
Semoga tulisan ini menjadi renungan
bagi kita semua, untuk mempertimbangkan makan sepiring berdua dengan gue
misalnya, yha, atau bagi Opmawa Se-UNJ, termasuk BEM UNJ dan Majelis Tinggi
Mahasiswa (MTM) UNJ, yang harapannya, mencoba memikirkan sistem yang pas agar
demokrasi di Opmawa UNJ kian sehat, selain memikirkan pengawasan, persiapan
Pemira (bagi KPU) yang menguras pikiran sehingga saban tahun melakukan
rapat pembahasan Peraturan KPU yang-teknis-teknis-itu, dengan
sesekali berpikir sama kerasnya terhadap yang lainnya misalnya-bolehlah-menyinggung-hal-hal-fundamen.
“Bagaimana, jadi,
kan, makan berdua sama gue? sepiring berdua sama gue?”, bukan gue, entah
siapa yang bertanya.
*) Mahasiswa Biasa
UNJ
Tidak ada komentar: