Sepiring Berdua ala BEM UNJ

18.42



sumber: google.com

Oleh: Asrul Pauzi Hasibuan*

            Pada Rabu (23/10), sebagian besar –jika tidak disebut semua– masyarakat Indonesia dikejutkan dengan formasi kabinet yang dipilih Presiden Joko Widodo. Pasalnya, muncul nama kompetitornya, Prabowo Subianto, pada gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) yang telah berlangsung sebelumnya dalam daftar kabinet yang belakangan diperkenalkan sebagai Kabinet Indonesia Maju. Lebih jauh, nama Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan) bukan satu-satunya nama dari elemen ‘oposan’ yang kemudian diakomodasi dalam kabinet yang berulang kali disebut para elit politik sebagai hak prerogatif Jokowi. Karena selain itu, ada nama Edhy Prabowo juga yang kemudian menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Beragam pandangan para pengamat politik sejurus kemudian meruap memenuhi media massa pada waktu-waktu itu. Sebagian dari mereka meyebut bahwa hal itu membuat demokrasi yang kurang sehat karena proporsi koalisi Pemerintah yang sudah sangat gemuk, berbeda dengan Partai yang memilih –atau terpaksa memilih– berada di luar pemerintahan, cenderung kurus ramping. Sebagian lainnya berpandangan hal tersebut dipilih sebagai respon atas kian meruncingnya perbedaan-perbedaan di akar rumput masyarakat.
            Demikianlah kondisi elit politik tanah air yang belakangan kadung terlihat sebagai pelakon yang sibuk sendiri dengan lakon yang dimainkan masing-masing, dimana, sekali pun menyenangkan para penonton (masyarakat), namun itu hanya sekadar lakon. Ada pun harapan dari setiap lakon yang ke depannya kembali terus dipentaskan, semoga secara mendasar diubah oleh dalang yang berada di balik semua lakon yang dipertontonkan hari-hari ini, demi masyarakat banyak.
            Ada pun di kampus kita, Universitas Negeri Jakarta, juga sedang –katanya– menjalani pesta demokrasi. Fenomena –jika dapat disebut demikian– sepiring berdua para calon Ketua -dan Wakil- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNJ –yang lalu-lalu– dengan kompetitornya, seharusnya juga membuat kita terkejut, jika kita terkejut melihat fenomena yang sama pada fenomena sepiring berduanya Jokowi dan Prabowo Subianto. Atau, jika kita sudah menyadari hal tersebut jauh-jauh sebelum ini, ngapain sih pake sok-sok kaget segala. Kan, sudah terbiasa ada lakon demikian di UNJ. Meski kita dapat membuka diskursus hal ihwal perbedaan daya saing kompetisi antara politik elit tanah air dengan politik-politik-an-nya mahasiswa UNJ; sistem pemerintahan; ihwal kebutuhan memiliki stakeholder di pusat pemerintahan dan dalam skala kampus; dan lain-lain.
            Dua kali pergelaran politik-politik-an di Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (Opmawa) tertinggi UNJ, penulis telah berulang kali menyinggung ihwal, yang menurut Mohammad Hatta, sebagai pemerintahan yang demokratis, yang akan memperkuat duduk suatu pemerintahan; tidak oleng duduknya, begitulah majas yang digunakan Mohammad Hatta dalam “Kedaulatan Rakyat, Otonomi dan Demokrasi” (2014). Sila lihat “Bisikkan pada TelingaMereka, “Memimpin Itu Menderita, Kawan” (2017) dan “Pemira UNJ 2018:Akankah Kaya Gagasan dan Membawa Perubahan?” (2018) di laman unjkita.com.
            Dilihat dari jumlah partisipan yang ikut menyemarakkan –lagi-lagi yang katanya pesta demokrasi– tahun lalu (2018) Komisi Pemilihat Umum (KPU) Pusat UNJ boleh saja berbangga ihwal persentase yang meningkat pada angka 54,96% (KPU Pusat UNJ 2018) dari sebelumnya 50.6% (KPU Pusat UNJ 2017). Pembaca dapat mengkalkulasi sendiri perolehan masing-masing Calon Ketua dan Wakil Ketua –saat itu– dari jumlah persentase partisipan yang menggunakan hak suaranya. Menjadi jelas, wanti-wanti penulis dari dua tulisan sebelumnya bukan tanpa alasan, jika Pengurus BEM UNJ tidak mau menginsafi apa yang sudah penulis singgung, bukan tidak mungkin akan ada gerakan alternatif lainnya.
            Setelah kita membaca tingkat partisipan di atas dengan kaitannya dengan banyak hal, termasuk apa yang sudah penulis singgung; termasuk tingkat kebutuhan perwakilan mahasiswa, meski bukan faktor tunggal, agaknya tak salah jika berpekur adalah perlu dilakukan agar muncul keinsafan. Mari kita lihat fenomena sepiring berdua yang biasa-biasa aja di UNJ –atau BEM UNJ– dalam tiga tahun terakhir.
            Pada BEM UNJ periode 2017/2018, Ketua dan Wakil Ketuanya adalah Miqdad Ramadhan dan Mohammad Hafizh. Dimana Solehudin dan Ahmad Muad Syaefuddin yang notabenenya sebagai kompetitor Miqdad dan Hafizh, diakomodasi masing-masing sebagai Kepala Departemen Pendidikan dan Departemen Dalam Negeri
            Lalu, pada BEM UNJ periode 2018, Moh. Wildan Habibi dan Prasetyo Setiawan yang terpilih menjadi Ketua dan Wakil Ketua BEM UNJ saat itu. Dimana kompetitor mereka sebelumnya, Cholilurrahim dan M. Imam Bagja P, menempati posisi masing-masing sebagai Kepala Divisi Lingkungan Kampus Departemen Dalam Negeri dan Kepala Departemen Advokasi.
            Serta, BEM UNJ Periode 2019, Latu Marta Caraka dan Al-Ba’is Basyari masing-masing menjadi Kepala Departemen Dalam Negeri dan Kepala Divisi Kaderisasi Departemen Dalam Negeri di bawah kepemimpinan M. Abdul Basit dan Rizki Dwi Perkasa, yang notabenenya sebagai kompetitor Latu dan Al-Ba’is pada Pemira UNJ 2018.
            Seperti yang juga juga disebutkan di atas, kita bisa mebangun diskursus ihwal fenomena sepiring berdua di BEM UNJ ini. Sebagaimana, boleh jadi ini semua karena sistem pemerintahan di Opmawa UNJ, yang ‘menegasikan’ poros mitra kritis –meminjam istilah yang katanya lebih tepat dibanding oposan untuk konteks pemerintahan makro–, sehingga berdampak juga pada tumpulnya fungsi Lembaga Legislatif di kampus, yang mengakibatkan tidak ada wadah khusus untuk menjadi check and balance. Sehingga kedua pihak atau lebih yang sama-sama nyalon sebelumnya –karena mungkin perbedaan gagasan– memilih pragmatis. Kemudian, dimana suara-suara yang bernada kritis hanya datang dari, mungkin Didaktika UNJ, yang terlihat konsisten, namun pembaca boleh menilai, apakah suara mereka diacuhkan atau tidak. Ada pun suara-suara lainnya, dari pribadi misalnya, karena mitra kritis BEM UNJ selain minim dan tak punya wadah khusus sering kali dianggap sebagai angin lalu. Dimana yang menghembuskan angin itu, –harapannya meski tidak baik juga– cukup sampai  dianggap angin lalu saja, tidak sampai ‘pengkondisian’ terhadap yang bersangkutan yang menjadi pilihan.
            Semoga tulisan ini menjadi renungan bagi kita semua, untuk mempertimbangkan makan sepiring berdua dengan gue misalnya, yha, atau bagi Opmawa Se-UNJ, termasuk BEM UNJ dan Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) UNJ, yang harapannya, mencoba memikirkan sistem yang pas agar demokrasi di Opmawa UNJ kian sehat, selain memikirkan pengawasan, persiapan Pemira (bagi KPU) yang menguras pikiran sehingga saban tahun melakukan rapat pembahasan Peraturan KPU yang-teknis-teknis-itu, dengan sesekali berpikir sama kerasnya terhadap yang lainnya misalnya-bolehlah-menyinggung-hal-hal-fundamen.

“Bagaimana, jadi, kan, makan berdua sama gue? sepiring berdua sama gue?”, bukan gue, entah siapa yang bertanya.

*) Mahasiswa Biasa UNJ

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.