MEMPERTANYAKAN KESERIUSAN PEMERINTAH

02.30
MEMPERTANYAKAN KESERIUSAN PEMERINTAH



Oleh:
Erista Marsya dan Aslam Akyas



Pembahasan Isu Narapidana Korupsi Akan Dibebaskan

Pada saat masa pandemi Covid-19, pemerintah terkhusus Kementerian Hukum dan HAM melakukan pencegahan penyebaran Covid 19 di Lembaga Pemasyarakatan yang hitungannya sudah over-capacity dengan mengeluarkan Keputusan Kemenkumham No.19/PK/01/04/2020 untuk mengeluarkan 30 ribu lebih narapidana dan anak. Tidak lama kemudian, Menkumham, Yasonna Laoly, memiliki wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang disampaikan pada saat rapat kerja virtual Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan HAM (Rabu, 01/04/20).

Yasonna Laoly berencana bahwa ada beberapa kriteria narapidana (napi) yang akan mendapat keringanan salah satunya kepada koruptor. Yasonna memunculkan wacana revisi tersebut seiring dengan rencana pembebasan 30.000 napi lain melalui Keputusan Kemenkumham No.19/PK/01/04/2020. Namun, pembebasan para koruptor itu terhambat oleh keberadaan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang tidak memperbolehkan napi koruptor untuk  bebas begitu saja. Yasona lalu berencana untuk memberikan asimilasi kepada koruptor berusia di atas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidana yang jumlahnya sebanyak 300 orang. 

Wacana yang digaungkan oleh Yasonna Laoly ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Menurut Najwa Shihab secara prinsip alasan Yasonna bisa diterima dan masuk akal karena hal ini juga dilakukan untuk mencegah penyebaran virus Corona. Menurutnya, keadaan lapas Indonesia memang tidak manusiawi karena orang itu bertumpuk dan bahkan tidur pun harus bergantian. Maka dari itu, pembebasan napi dengan alasan kesehatan dan mencegah penyebaran virus corona menjadi valid dan sangat diterima apalagi untuk napi yang mempunyai penyakit bawaan dan usia lanjut. Namun, hal ini menjadi suatu yang mengada-ngada ketika diterapkan pada napi kuruptor. Sel bagi napi koruptor  itu berbeda dengan tahanan lainnya, seperti yang terjadi di Lapas Sukamiskin dan Tanjung Gusta Sumatera Utara. Hal ini pun pernah diakui oleh Yasonna Laoly bahwa kebijakan umumnya di seluruh Indonesia itu sel napi koruptor dipisahkan dengan napi umum. Berdasarkan angka, dari hampir 250 ribu napi di seluruh negeri, napi korupsi jumlahnya ada 4500-an yang berarti perbandingannya sekitar 1,8 persen dari total napi. Jadi, pembebasan napi koruptor dengan tujuan pencegahan Covid 19 di Lapas menjadi tidak relevan karena angka perbandingannya sangat kecil dibanding jumlah napi kejahatan lain.

Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap berpendapan bahwa rencana Menkumham Yasonna Laoly sangat berbahaya bagi cita-cita pemberantasan korupsi dan harus ditolak. Kemudian, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donald Fariz dalam konferensi pers (2/4/2020) menilai Yasonna sengaja memanfaatkan wabah Covid-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan tersebut. Donald Fariz beranggapan bahwa wacana pembebasan narapidana korupsi bisa disebut dengan aji mumpung atau sebagai peluang, sehingga ada akal-akalan untuk mengaitkan kondisi pandemi Covid-19 saat ini dengan upaya untuk merevisi PP 99/2012 agar narapidana kasus korupsi bisa menjadi lebih cepat keluar dari 
selnya.

Dalam catatan ICW, wacana yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM untuk merevisi PP 99/2012 bukan hal yang baru. Dalam kurun waktu 2015-2019 Yasonna Laoly telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP tersebut sebanyak empat kali, yaitu tahun 2015, 2016, 2017, dan pada tahun 2019 melalui Revisi UU Pemasyarakatan. Isu yang dibawa selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman. Padahal PP 99/2012 diyakini sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi para koruptor. Sehingga ICW dan YLBHI dalam siaran pers-nya bahwa sikap dari Menteri Hukum dan HAM selama ini tidak pernah berpihak pada aspek pemberantasan korupsi.

Pembahasan RUU KUHP dan Omnibus Law

Rencana dari Menkumham, Yasonna Laoly dalam rapat DPR sudah dibuka pada tanggal 2 April 2020 kemarin dan pada web Ditjen PP Kemenkumham perihal Konsolidasi RUU KUHP menyebutkan bahwa “Setelah membuka rapat, menteri Hukum dan HAM menegaskan bahwa pembahasan RUU KUHP menjadi prioritas utama dari prioritas-prioritas lain yang akan dibahas di DPR…” Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa pembahasan RUU KUHP pun dibuka kembali, padahal RUU kontroversial ini sudah mengundang unjuk rasa besar-besaran pada bulan September 2019 dan puncaknya tanggal 24 September yang memunculkan korban luka dan korban jiwa.

Langkah DPR yang berencana melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ke pembahasan tingkat II atau persetujuan pengesahan menjadi UU di Rapat Paripurna DPR pada pekan ini, terus menuai kritik. Apalagi, proses pengambilan keputusan itu terjadi di tengah kondisi pemerintah dan masyarakat yang sedang berjibaku untuk melakukan social distancing dan physical distancing dalam mengatasi pandemi Covid-19. "Menurut kami Rancangan KUHP tidak layak dibahas," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam sebuah diskusi di Jakarta pada hari Minggu (5/4/2020).

Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi juga mendesak pembahasan tersebut untuk diberhentikan. Fajri menyatakan bahwa masyarakat sedang berjuang melawan virus sehingga tidak mungkin fokus berperan aktif dan mengawal pembentukan UU. "Tetap menjalankan agenda legislasi dengan pendekatan business as usual akan semakin menguatkan kesan bahwa DPR memanfaatkan kesempatan ketika masyarakat kesusahan melawan Covid-19," ujar Fajri dalam keterangannya, Senin (6/4/2020). Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari meminta pemerintah menunda pembahasan UU yang masih menjadi pro dan kontra tersebut. Caranya, pemerintah dalam hal ini, yaitu Presiden Joko Widodo berinisiatif untuk menarik kembali persetujuan pembahasan RUUtersebut bersama DPR. "Mudah kok, pemerintah harus menarik kembali persetujuan mereka untuk melakukan pembahasan bersama sehingga kemudian upaya pembahasan RUU KUHP dan Omnibus Law serta Pemasyarakatan itu bisa ditunda," kata Feri saat dihubungi merdeka.com, Senin (6/4). Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menyayangkan sikap pemerintah yang tidak sejalan terhadap pembahasan sejumlah RUU di DPR dengan penaggulangan Covid-19. Pemerintah sudah memutuskan melakukan PSBB untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Namun di sisi lain, pemerintah menghadiri rapat paripurna yang digelar DPR pada pekan lalu. Hal ini dianggap tidak sinkron karena seharusnya dengan langkah PSBB dan mengumumkan kondisi darurat kesehatan, pemerintah juga menunda pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat dengan DPR.

Hal yang sama disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah. Trubus mengatakan, pembahasan RUU KUHP dan Omnibus Law harus ditunda hingga penanganan Covid-19 selesai. Alasannya, RUU KUHP dan Omnibus Law masih jadi perdebatan publik dan tidak mendesak. Trubus juga khawatir bila pembahasan RUU KUHP dan Omnibus Law tetap dilanjutkan akan terjadi penyelundupan hukum. Hal ini disebabkan karena di tengah gempuran Covid-19, konsentrasi masyarakat sepenuhnya mengarah ke wabah virus corona, sehingga tidak ada partisipasi publik dalam mengawasi pembahasan RUU tersebut. Dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang ini seharusnya ada partisipasi publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 96 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Anggota DPR pun lebih baik turun ke dapil masing-masing untuk mengedukasi masyarakat soal langkah-langkah pencegahan terhadap wabah yang menyerang sistem pernapasan itu, bukan justru mengebut pembahasan RUU kontroversial. Selain mengedukasi masyarakat, menurut Trubus, DPR juga harus mengawasi dana stimulus Rp405,1 triliun yang digelontorkan pemerintah agar tetap sasaran. Jangan sampai anggaran tambahan untuk penanganan Covid-19 itu jadi bancakan partai politik atau pengusaha. Karena pada dasanya juga uang Rp405 triliun itu bukan uang pribadi, bukan uang nenek moyang tetapi uang masyarakat dan negara. Harusnya tugas DPR itu mengawasi memastikan anggaran itu sampai tepat sasaran.

Di tengah wacana pembahasan RUU KUHP dan terkhusus Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Said Iqbal selaku Presiden KSPI menyatakan tidak akan datang bilamana DPR mengajak membahas omnibus law di tengah pandemi Corona. "Kami sedang fokus membela buruh yang di PHK dan dirumahkan dengan tidak dibayar upahnya," tandas dia. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga mengatakan akan mengadakan aksi tolak omnibus law RUU Cipta Kerja di Gedung DPR/MPR dan Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Aksi tersebut akan tetap dilaksanakan saat di tengah kondisi masa pandemi Covid-19 sebagai bentuk kecaman bilamana pemerintah atau DPR masih melanjutkan pembahasan Omnibus Law. "Saat ini puluhan ribu buruh terus mengirimkan WhatsApp dan SMS kepada para pimpinan DPR RI agar menghentikan pembahasan Omnibus Law. Bisa jadi jumlahnya akan mencapai ratusan ribu" kata Said Iqbal. Bila tidak ada tindak lanjut dari DPR merespon aksi virtual ini, Iqbal mengancam akan menurunkan ribuan buruh untuk berdemo di depan DPR.

Keseriusan pemerintah dalam penanganan ancaman pandemi Covid-19 amat sangat diperlukan, untuk itu maka Red Soldier Fakultas Ilmu Sosial UNJ menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Meminta Pemerintah baik Eksekutif maupun Legislatif untuk fokus terhadap penanganan ancaman Pandemi Covid-19 serta melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19;
  2. Pemerintah harus tegas dan menjamin kebutuhan pokok masyarakat selama masa pandemi Covid-19;
  3. Pemerintah harus memperhatikan penanganan potensi ratusan ribu orang yang kehilangan pekerjaan, termasuk pedagang kaki lima, pengemudi ojek online, dan masyarakat lain yang kehilangan mata pencaharian;
  4. Dewan Perwakilan Rakyat diminta untuk tidak membahas sejumlah rancangan undang-undang kontroversial (RUU Cipta Kerja, RUU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan) di tengah pandemi Covid-19 saat ini.

Komandan Red’ Soldier 2020
 Aslam Akyas 
 NIM: 1402618046



REFERENSI
  • Alfian Putra Abdi. April 3, 2020. Setnov hingga Suryadharma Ali Berpotensi Bebas Imbas Usulan Yasonna. Tirto.id. https://tirto.id/eKEf (accessed April 5, 2020)
  • Dani Prabowo. April 5, 2020. Polemik Pembebasan Napi Koruptor Saat Wabah Covid19 Merebak. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/05/08104801/polemik-pembebasan napikoruptor-saat-wabah-covid-19-merebak (accessed April 5, 2020)
  • Dani Prabowo. April 6, 2020. RUU KUHP Dinilai Tak Layak Disahkan Pekan Ini. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/06/07151221/ruu-kuhp-dinilai-tak-layak-disahkan-pekan-ini (accessed April 6, 2020)
  • ICW dan YLBHI. April 2, 2020. Akal Yasonna Bebaskan Napi Korupsi Karena Corona. https://www.antikorupsi.org/id/press-release/akal-yasonna-bebaskan-napi-korupsi- karena-corona (accssed April 5, 2020)
  • Tira Santia. April 9, 2020. Suarakan Soal Ancaman PHK Massal Ribuan Buruh Gelar Demo Pada 30 April. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4223456/suarakan-soal-ancaman-phk-massal-ribuan-buruh-gelar-demo-pada-30-april. (accessed April 11, 2020)
  • Muchtar Sani. Konsolidasi RUU KUHP. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/umum/64- rancangan-peraturan/rancangan-undang-undang/2754-konsolidasi-ruu-kuhp.html (accessed April 6, 2020)
  • Rini Kustiasih, dkk. April 3, 2020. DPR Tak Peka Dengan Kondisi Rakyat. BebasKompas.id. https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/04/03/dpr-tak-peka-dengan-kondisi- rakyat/ (accessed April 6, 2020)
  • Supriatin. April 6, 2020. Jokowi Didesak Tarik Pembahasan RUU KUHP Dan Omnibus Law Di DPR. Merdeka.com. https://www.merdeka.com/politik/jokowi-didesak-tarik- pembahasan-ruu-kuhp-dan-omnibus-law-di-dpr.html (accessed April 6, 2020)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.