Wajah-Wajah Mahasiswa yang Busuk Sebelah

20.55

Wajah-Wajah Mahasiswa yang Busuk Sebelah

Oleh:Ky

Gambar Source by Dory-powA


“Mimpi saya yang terbesar yang ingin saya laksanakan adalah agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi mahasiswa-mahasiswa yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai manusia normal, sebagai manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”

-Soe Hok Gie-



Dulu ketika saya masih SMA, saya melihat bahwa mahasiswa Indonesia adalah manusia-manusia yang mempunyai intelegensia tinggi,  manusia-manusia yang merupakan manusia netralis, manusia yang memiliki sifat humanis yang sangat tinggi. Perkataan saya ini juga dibuktikan dengan tindakan-tindakan mahasiswa Indonesia yang bersimpati pada keadilan, pada kemanusiaan dan pada orang-orang yang ditindas. Seperti mahasiswa-mahasiswa sebelum kemerdekaan sebut saja angkatan Soekarno, mereka adalah mahasiswa yang menginginkan keadilan untuk negerinya, mereka saat itu berani menentang kesewenang-wenangan kolonial yang tidak berempati pada sisi kemanusiaan. Lalu mahasiswa angkatan ’66 seperti Gie yang menuntut ketidakberpihakan golongan tertentu. Dan mahasiswa angkatan ‘ 98 zaman rezim orde baru yang menginginkan keadilan kepada semua pihak tidak hanya pihak atas saja.

Namun perspektif saya pun agak berubah ketika saya mulai memasuki dunia mahasiswa, pendapat saya tentang mahasiswa ternyata tidak semuanya benar. Memang terkait intelegensia bisa saya bilang mahasiswa-mahasiswa kita sudah mumpuni tapi terkait sifat netralis dan humanisnya apakah bisa dipastikan mumpuni? maaf saya tidak yakin untuk berkata “iya” pada 2 kata itu. Saya bisa buktikan perkataan saya ini, lihat bagaimana mahasiswa angkatan Soekarno ketika berhasil menenggelamkan kolonialisme bangsa asing, ketika mereka sudah memimpin, naĂŻf sekali mereka lupa pada sifat “netralis” dan “humanis”. Mereka para mahasiswa zaman kolonialisme seakan-akan berbicara dan bertindak sebagai seorang pahlawan tapi yang ada mereka malah berbicara dan bertindak seperti penjajah, “memakan” orang miskin, bermain dengan banyak wanita dan duduk nyaman di singgasana, lalu lihat juga bagaimana mahasiswa angkatan '66 ketika mereka berhasil menumbangkan orde lama dan berteman dengan kekuasaan, mereka yang kelak akan didemonstrasi juga oleh mahasiswa tahun 1974 pada saat peristiwa Malari, mereka mahasiswa angkatan ‘66 seolah-olah berbicara tentang kebenaran tapi sebenarnya mereka meludahi kebenaran itu sendiri.Apakah kebenaran merupakan hal yang najis? Saya tidak tau, yang pasti jika berbicara tentang kebenaran saya setuju dengan pendapat Soe “Tidak ada yang lebih puitis selain berbicara tentang kebenaran” tapi sayangnya “Kebenaran hanya ada di langit dan dunia adalah palsu, palsu”. Kemudian tindakan mahasiswa tahun 1998 yang menumbangkan rezim orde baru, saya setuju dengan apa yang mereka perjuangkan seperti menuntut kebebasan berekspresi, menuntut pemerintah tidak bertindak militerisme atau otoriterisme dan menegakkan kembali infrastruktur tubuh mahasiswa yang dihancurkan akibat NKK/BKK. Sungguh tragis zaman itu mereka seolah-olah hidup tapi pada dasarnya mereka adalah mayat hidup yang dibuat rezim orde baru sebelum akhirnya mereka menjadi mayat-mayat terasing akibat pembunuhan tak kasat mata. Tapi apakah mereka yang telah menjadi mayat akibat pembunuhan tak kasat mata itu tersenyum saat melihat rekan-rekannya yang sudah melenggang di istana? Saya rasa tidak, lihatlah ujung-ujungnya mereka tetap mencontoh apa yang orde baru lakukan, anti kritik, membungkam kebebasan berekspresi, dan yang paling konyol mereka juga menangkap dan menembaki darah-darah tak bersalah, dan akhirnya mereka juga tetap didemonstrasi oleh mahasiswa pada tahun 2019. Dan terakhir saya akan membicarakan tentang mahasiswa angkatan 2019 pada saat demonstrasi 24 September tahun lalu, sejak demonstrasi itu banyak muncul nama-nama yang menjadi tenar hingga diundang ke acara televisi, tapi sekali lagi saya benar-benar dibuat kecewa dengan tindakan mahasiswa-mahasiswa angkatan September 2019, sampai sini saya berpikir apa demonstrasi hanya batu tapal untuk kekuasaan bukankah demonstrasi adalah batu tapal dalam pergerakan mahasiswa Indonesia, apakah demonstrasi hanyalah batu tapal agar dikenal bukankah demonstrasi adalah batu tapal dalam revolusi Indonesia, apakah demonstrasi adalah membela keberpihakan golongan yang menyusupkan kepentingan bukankah demonstrasi itu  membela keadilan dan kejujuran.

Saya rasa dalam hal ini ada suatu pola yang salah, pola yang seperti siklus ini entah siapa mahasiswa atau bahkan manusia pertama yang membuatnya. Saya pernah mendengar tentang perkataan yang mengatakan bahwa “Kampus adalah miniature Negara”, saya rasa pola yang seperti ini berawal dari kampus. Dimana mahasiswa Indonesia kebanyakan hanya mengejar akademik tanpa memberi perhatian lebih pada sisi humanis, teman saya pernah berkata pada saya “apalah gunanya ip 4 jika malah menjadi manusia apatis”, saya setuju dengan pendapatnya, kita sebagai kaum intelegensia seharusnya bertindak demi kepentingan orang luas bukan malah menjadi individualis, semakin kesini saya semakin skeptis dengan sikap mahasiswa yang seperti ini, apa gunanya kecerdasan jika hanya untuk kekuasaan. Lalu yang membuat saya agak melankolis adalah sifat netralis dan humanis mahasiswa sedahari dulu, saya bisa contohkan sikap ini pada saat pemilihan ketua BEM atau pada saat diskusi-diskusi tertentu, saya agak ragu dalam membahas ini karena saya sendiri khawatir apakah saya akan masuk kedalam pola ini, tetapi akhirnya saya putuskan untuk berprinsip seperti mahasiswa sejarah UI tahun 1960an “Lebih baik diasingkan dari pada menyerah kepada kemunafikan” dan juga “Menjadi orang merdeka tidak apatis atau mengikuti arus”. Pada saat pemilihan BEM (saya menyebutnya masa politik rekayasa) mereka sangat kencang berbicara tentang keadilan semua pihak, mereka lantang tidak akan ada unsur-unsur tertentu dan yang paling parah memaksa mahasiswa baru ikut memenangkannya tanpa tau tujuan mereka sebenarnya, dalam hal ini saya melihat ada kesalahan fatal dalam paradigma ini, apa arti janji-janji mereka, apa arti slogan-slogan humanis mereka, bagi saya slogan harus diakhiri dengan objektif bukan subjektif, ditambah terkadang adanya intervensi yang kelewat batas terhadap lawannya. Sampai sini saya menjadi tidak ragu lagi mengapa mahasiswa yang sudah bersandar di pundak kekuasaan malah didemonstrasi oleh mahasiswa setelahnya, dalam  hal ini sudah terjadi kebobrokan humanis, apakah politik rekayasa termasuk humanis? Saya rasa tidak. Lalu yang kedua diskusi-diskusi tertentu, saya bisa bilang ini merupakan salah satu sifat humanis yang dilakukan mahasiswa, iya humanis karena pada saat diskusi tertentu semua elemen mahasiswa bisa berkumpul seperti diskusi yang membahas keteledoran pemerintah merancang undang-undang hingga puncaknya demonstrasi September 2019, saya bisa melihat bagaimana mahasiswa yang berbeda tongkrongan, ideologi, agama dan ras sekalipun saling berangkulan tapi sayangnya saya saat itu belum bisa melihat mahasiswa yang memiliki kepentingan tertentu. Terkait diskusi selain memiliki sifat humanis yang saya sukai ada diskusi-diskusi tertentu yang tidak saya sukai, ambil saja fakta bahwa mahasiswa-mahasiswa saat ini sering mengadakan diskusi-diskusi baik itu kelas, angkatan, tongkrongan ataupun public, tapi dapatkan mahasiswa-mahasiswa tersebut melakukan diskusi tanpa membawa kepentingan golongan entah itu ideologi, agama, ras, atau kekuasaan. Apakah diskusi dilakukan hanya untuk mencari pamor saja, apakah diskusi ajang menjatuhkan suatu pihak, saya rasa diskusi merupakan cara untuk mencari jalan keluar bersama bukan untuk satu golongan, mengadakan diskusi lalu menggangap diksusinya yang paling benar, mengadakan diskusi tapi hanya dari satu sisi  dan parahnya mengadakan diskusi hanya untuk mencari pamor diri. Apakah humanisme dan netralitas mahasiswa tidak bisa hidup tanpa golongan, apakah diskusi hanya ajang berdiksi tanpa kontinuitas yang pasti, apa diskusi ajang pamer intelegensi. Saya sendiri belum bisa menjawab karena saya juga sedang mencari jawabannya, saya hanya menginginkan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia mengedepankan sisi humanis, mempertahankan idealis dan netralis dan semakin mempertajam akalis tanpa kepentingan apapun baik itu golongan, ras, agama,  atau ideology tertentu entah itu liberalis, fasis, anarkis maupun komunis. Saya rasa kita sudah harus berani berkata tidak pada pola tersebut.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.