Happy Ending Versi KampusKu!
Happy Ending versi
KampusKu!
(Budaya
yang selalu dikembangkan)
Oleh:
Lisa (Topi merah)
Politik kampus, hal yang menarik untuk selalu dibahas,
kenapa? Karena sebagai sebuah miniatur negara yang dikatakan mencerminkan
negara, bisa di katakan sebagai gambaran dari negaranya saat ini, yang mana
bisa jadi apa yang terjadi di pemerintahan saat ini adalah cerminan dari miniatur
nya dimasa lalu dan bisa jadi pula miniatur saat ini adalah gambaran negeri nya
dimasa yang akan datang. Mengapa demikian? Sebab didalam kelas masyarakat sendiri kita
lah sebagai Mahasiswa yang paling dekat dengan Oligarki, sehingga ketika memilih seorang calon Ketua kita
tidak cuma melihat kondisioner calonnya sebagai seorang individu saja, tetapi
latar belakang dan afiliasi dari calon tersebut juga harus diperhatikan.
Sebagai mana yang kita lakukan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden melihat segala aspeknya,
seperti bagaimana calon tersebut berpolitik, latar belakang politik nya,
berasal dari partai mana, memiliki idealisme
seperti apa, segala hal tersebut tersorot sangat jelas didepan publik, bahkan
dalam kampanye nya sampai memainkan agama, yang mana hal ini bersifat pribadi
bagi semua individu, tak segan segan pula black campaign dimainkan dalam Pemilu Presiden.
Segala cara dilakukan dalam kampanye Pemilu tersebut untuk kemenangan. Lantas
bagaimana dengan Pemilihan Raya (Pemira) di UNJ sendiri yang
menggambarkan negara ini, apakah yakin hal-hal yang terjadi dalam Pemilu di negaranya bukan cerminan
dari miniatur nya? Yakin apa yang dilakukan para calon Presiden tidak akan
dilakukan dalam Politik UNJ? Yakin black campaign tidak terjadi di kampus tercinta ini
ketika Pemira?
Semuanya bisa kalian tanyakan pada yang bersangkutan,
sebab saya selalu melihat dan mendengar kata-kata “silahkan bila ada kritik, saran dan pertanyaan
dapat disampaikan”, dari semua lembaga
bahkan individu yang ada di
UNJ selalu berkata demikian. Namun saya tidak menjamin mereka akan menanggapi
semuanya, tapi bila ingin di coba yaa silahkan.
Dalam perpolitikan di negeri ini entah secara kebetulan atau tidak, apa yang saya lihat di pemerintahan saat ini sudah terjadi didalam kampus pergerakan intelektual ini sejak lama, jauh sebelum Pemilu dan pemilihan menteri oleh Presiden saat ini, kampus ku sudah menerapkan sepiring berdua dalam ranah Eksekutif dan mungkin bahkan Legislatif. Saya ambil contoh 2 tahun kebelakang Pemira yang saya ikuti.
Dari kedua gambar diatas adalah dimana ketika mereka berlomba-lomba untuk menjadi ketua BEM UNJ
dari tahun 2019 dan 2020 dimana saya mengikuti kedua Pemira tersebut. Namun lagi-lagi siklus serupa yang menang akan
menjadi Ketua dan yang kalah memegang Departemen pengkaderan kampus. Apakah ini bisa
dikatakan sebuah sifat kebijaksanaan ketika melihat lawan yang kalah malah ia
jadikan rekannya
untuk berjalan bersama dalam kabinetnya, bukankah bisa dikatakan itu sebagai
hal pembungkaman ketika nantinya sang lawan menjadi oposisi? Atau memang hal tersebut yang
diinginkan? Tidak adanya lagi check
and balance.
Adakah hal lain selain sifat bijaksananya itu, apakah
mungkin semua memang sudah
di ploting, dirancang dengan sedemikian rupa, diperlihatkan persaingan yang
cukup sengit untuk mendapatkan kedudukan Ketua dan wakil nya tidak peduli siapa
yang menang karena semuanya sama saja akan mendapatkan jabatan disana, Pemira hanya sebagai sebuah
simbolis mereka beregenerasi dalam perpolitikannya
siapa yang menang tidak ada bedanya. Sama seperti perpolitikan di negeri ini di
Indonesia ini siapapun yang menang, jika
semua para calon adalah kaum oligarki rakyat akan kalah.
Sepertinya saat ini bisa
dikatakan kampus ku menjadi
pencetus dari apa yang dilakukan oleh Presiden saat ini, sebab bila kita
mengulik jauh lagi kebelakang hal tersebut sudah di terapkan di UNJ dan bukan
hanya pada tingkat Universitas saja melainkan Fakultas dan Prodi juga
menerapkan hal serupa, menjadikan
lawan yang kalah sebagai salah satu rekan yang akhirnya menjabat dalam kabinetnya,
apakah hal seperti itu bisa dikatakan wajar? Bisa di bilang sebagai politik
yang sehat? Atau dikatakan sebagai sifat yang sangat bijaksana dan dermawan,
karena memberikan
lawan kursi
jabatan dalam kabinet? Atau malah memang hal itu sudah direncanakan dengan
jauh-jauh hari oleh mereka yang mencalonkan diri? Lalu bagaimana Pemira yang akan datang, apakah akan selalu menggunakan
sepiring berdua?
Terlepas dari itu semua, saat ini Pemira di UNJ dihadapkan pada semakin
sedikitnya partisipan dalam Pemira
tersebut. Apakah ini menandakan semua mahasiswa yang tidak ikut serta dalam
pesta pemilihan tersebut sadar, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah
kesia-siaan, semua yang mereka lakukan tak akan ada bedanya dengan apa yang ada
di Pemerintahan saat ini, sepiring berdua, sepiring berempat, menang kalah tidak
ada artinya hanya membuang-buang waktu untuk mampir ke dalam bilik ataupun
laman e-voting, karena sejatinya
tidak pernah ada yang murni
bersaing
dari para calon tersebut bahkan untuk mengubah politik tak sehat tersebut
mereka cukup enggan. Tidak pernah ada oposisi, tidak pernah ada lawan, karena
tidak pernah ada keseriusan, yang ada dan sejatinya nyata hanyalah Kepentingan
Golongan
Akan Sebuah Kekuasaan.
Kali ini saya menulis atas nama pribadi tanpa membawa embel-embel lembaga dan jabatan, bukan semata-mata untuk sebuah ketenaran ataupun mencari perhatian melainkan sepenuhnya tulisan ini menjadi tanggung jawab penuh atas nama saya pribadi.
kalo saya tarik ulur kebelakang, pola pola seperti ini sudah ada dari kita duduk di bangku sekolah bahkan ketika masih SD. Calon ketua kelas yg mendapatkan vote terbanyak akan terpilih dan yg kurang akan jdi calon.
BalasHapus