Komersialisasi Pendidikan, Siapa lagi yang harus menjadi korban?
Komersialisasi Pendidikan, Siapa lagi yang harus menjadi korban?
(Bagaimana
dengan Kampus ku dan inilah suara seorang mahasiswa baru)
(Gambar : www.pinterest.de + edit )
Oleh : Luthfi Ridzki Fakhrian
(Wakadiv Pusat Kajian dan Studi Gerakan Red Soldier
FIS)
Ketika saya membuka Whatsapp
seperti biasa, saya pastinya akan membaca pesan dari teman-teman, namun kali
ini sedikit berbeda.
Seperti kita ketahui bersama,
bahwa Pembayaran UKT 114 di UNJ baru saja di laksanakan, sehingga dengan
melakukan pembayaran UKT ini mahasiswa akhirnya dapat melanjutkan kuliahnya,
Jika tidak dapat membayar akan mengikuti cuti kuliah, dan tentunya tersedia
beberapa aturan yang disediakan oleh sistem untuk mahasiswa yang tidak membayar
untuk mengajukan keringanan UKT, hingga pembebasan UKT, tentunya alur seperti
itu sudah terlihat sangat memanusiakan mahasiswa dan tidak akan menimbulkan
masalah, namun sayangnya masih terjadi kasus yang penyebab dari cuti kuliah
bahkan berhentinya mahasiswa dari kampus itu karena tidak mempunyai biaya lagi,
ini akan menjadi sebuah masalah, dan menghadirkan kembali pertanyaan bagaimana
sistem yang telah di sediakan oleh Universitas? tentu hal ini hanya pihak Universitas
yang dapat menjawab.
Saya akan kembali kepada pesan
Whatsapp dari teman saya yang kebetulan adalah Ketua Angkatan 2020 dari Jurusan
"X" di Fakultas "X", dia bilang " tau ga? ada temen
gua si "Y" keluar dan berhenti kuliah karena tidak sanggup bayar UKT
" begitu ucapanya, Karena perkaranya ini lah yang akhirnya membuat
saya menulis tulisan ini.
Jika saya boleh mengutip apa yang
pernah di sampaikan oleh William Edward Burghardt Du Bois
bahwasannya :
“Pendidikan harus
menjaga cita-citanya yang luas, dan tidak pernah lupa bahwa pendidikan
berhubungan dengan Jiwa, bukan dengan Dolar”.
Tentu mungkin saya akan dianggap
sinis oleh orang-orang yang mungkin merasa tidak setuju dengan pendapat itu,
tetapi biarlah saya juga tidak peduli, karena perkataan itu membuat saya
akhirnya beranggapan demikian, bahwa ternyata memang benar Pendidikan kita
masih di Komersialisasi, yang beorientasi pada Ekonomi bukan Pendidikan dalam
bentuk Pelayanan, dalam artian yang ingin saya garis bawahi yaitu "
hanya yang punya uang yang boleh kuliah, yang tidak silahkan keluar ".
Karena hal itu lah persis seperti
yang dialami oleh teman dari teman saya, yang akhirnya memutuskan berhenti
kuliah karena tidak sanggup membayar uang kuliah, sangat miris sebenarnya jika
hal seperti itu masih terjadi di kampus ini dan bahkan di Indonesia, jikalah
saya percaya harapan, seperti dengan kehadiran dari seorang CEO Startup terkemuka yang datang menjadi
Menteri Pendidikan dengan segala gebrakan barunya, yang salah satunya adalah
menelurkan kebijakan "Merdeka! Belajar", tentu saya boleh
berharap itu suatu yang akan diimplementasikan sebagai Pendidikan yang
Membebaskan dan tidak ada lagi mahasiswa atau siapapun yang kesulitan belajar
karena uang, tetapi lagi-lagi ternyata "Merdeka" yang
diartikan ini bukanlah seperti yang saya harapkan, melaikan hanyalah "Merdeka"
untuk mereka yang mencoba bersahabat dengan skema industri, yang lagi-lagi
berorientasi pada Ekonomi dan Uang, namun saya tidak tau mengapa, banyak
diantara kita yang menganggap hal ini merupakan common sense yang wajar untuk
dijalankan.
Belum lagi jika saya melihat
masalah lain yang muncul, dimana pendidikan saat ini Mahasiswa di haruskan
untuk terbiasa dengan Pembelajaran Asinkronus, tanpa interaksi dan hanya
menggunakan daring, pembelajaran jarak jauh dari rumah karena pandemi mungkin
dapat saya terima, tetapi masalahnya adalah tanpa merasakan fasilitas kampus
sama sekali seperti yang banyak dirasakan mahasiswa baru juga mahasiswa lama
yang mungkin juga demikian, tetapi masih diharuskan membayar UKT secara penuh,
itu sebenarnya yang tidak bisa saya terima, jika saja keadaan ini terus berlanjut
dan kita semua hanya bisa terus diam, menerima dan mematuhi begitu saja setiap
penafsiran resep dan perintah dari para Birokrat, maka saya akan bilang bahwa
kita sebagai mahasiswa akan tenggelam tanpa nama, tanpa harapan, dan tanpa
kepercayaan, karena semata-mata hanya patuh dan menurut.
Dalam
Escape
from Freedom, Erich Fromm mengatakan :
" (Manusia)
menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya
bertindak dan berpikir menurut apa yang mereka anggap cocok. tetapi Ia akan
bersikap dan bertindak dengan bebas jika ia tahu tentang apa yang diinginkan,
dipikirkan dan dirasakan. Tapi masalahnya ia tidak tahu. Dan karena itu ia akan
menyesuaikan diri dengan penguasa-penguasa yang tidak kenal dan ia akan
mengiyakan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian,
semakin ia tidak berdaya untuk merasa dan semakin ia ditekan untuk menurut.
Manusia Modern, meskipun dipulas dengan optimisme dan inisiatif, dikuasai oleh
perasaan amat tidak berdaya bagaikan orang lumpuh yang hanya mampu menatap
malapetaka sebagai sesuatu tak terhindarkan "
Namun saya berharap kita semua
tidaklah demikian, karena pada akhirnya jika kita terus diam dan tidak bisa
ikut aktif menangani realitas yang ada, maka selamanya kita akan hanyut dan
bisa saja siapapun dari kita akan terdampak oleh sistem Komersialisasi itu, dan
hal ini masih mungkin akan terus terjadi selama orientasi yang memaksakan
kepada Ekonomi dalam Pendidikan belum menemukan kata akhir, sebuah ironi dan
sangat tragis untuk sebuah Pendidikan di zaman seperti ini. Karena sangat di
sayangkan jika pendidikan harus direduksi fungsi dan hakikatnya hanya sebagai
"lahan mencari dollar" yang akan menghadirkan keuntungan.
Pendidikan yang telah
terperangkap dalam skema komersialisasi, bahkan banyak membuat dari kita juga
mungkin saja menempuh pendidikan semata dilihat dari sisi ekonominya juga : Apakah
jurusan "X" menguntungkan buat gua? Apakah jurusan ini akan memberi
gua gaji yang besar? bahkan sebuah ungkapan yang menurut saya konyol juga
bisa saja muncul yaitu : Apakah IPA lebih bagus daripada IPS? Apakah jurusan
ini tampak prestisius oleh calon ibu-bapak mertua saya? dan masih banyak
lagi.
Karena sebenarnya tidaklah perlu
mengacu ke berbagai banyak tokoh ataupun pemikir yang merumuskan tentang
bagaimana tujuan dan hakikat dari pendidikan itu berjalan semestinya, jikalah
kita berkaca dan mengacu saja kepada produk hukum negara kita sendiri, yaitu, Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 3
sebenarnya termaktub bahwa tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut :
" Tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab "
Semulia dan seidealis itu, bukan?
Pastinya, salah satu peran pendidikan yaitu sebagai ruang yang mengartikan mengenai arti menjadi
manusia sesuai berbangsa dan bernegara yang ideal. tapi lagi-lagi harus
mengelus dada sekali lagi, saat ini peran pendidikan tidak hanya itu, melalui
program baru "Merdeka! Belajar" yang juga sarat Komersialisasi
Pendidikan, pendidikan juga berperan untuk mengartikan warga yang "Merdeka",
yakni "Merdeka" untuk menjalankan roda perekonomian negara.
atau jika menggunakan bahasa kasarnya " Merdeka untuk menekan kontrak untuk
menjadi pekerja upahan sesuai kebutuhan "
Semoga itu semua cukuplah sebuah
ilusi dan bisa terhindarkan, karena tentunya saya juga tidak berharap bahwa apa
yang kita miliki saat ini adalah pendidikan komersialisasi ataupun pendidikan
untuk pragmatisasi, bahkan lebih konyol lagi, pendidikan untuk pasifikasi,
bahayanya, semua itu kadang dibungkus dengan narasi “pembebasan”, pendidikan
yang hanya melahirkan pekerja-pekerja untuk
memutar jalannya statistika dan angka, hanya menjadi manusia yang Lahir,
Sekolah, Bekerja, lalu Mati. Mungkin saja, jika Ki Hadjar Dewantara masih
hidup dia akan sedih dan menangis melihat kondisi pendidikan yang terjadi saat
ini.
Freire, Paulo. Pendidikan yang Membebaskan ( Educacao Como
Praktica Da Liberdade ). Yogyakarta: Penerbit MELIBAS, 2001.
Fromm, Erich. Lari dari Kebebasan (Escape from Freedom ). Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Belajar, 1997.
Tohir, M. Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. 2020
Du Bois, W. E. B. 1902. The
Negro Artisan: Report of a Social Study Made Under the Direction of Atlanta
University; Together with the Proceedings of the Seventh Conference for the
Study of the Negro Problems, Held at Atlanta University, on May 27th, 1902.
Atlanta University Press.
( https://pjj.ui.ac.id/ufaqs/sinkronus-atau-asinkronus/ )
(https://pusdiklat.perpusnas.go.id/ )
Tidak ada komentar: