Hardiknas, apa yang harus dirayakan ketika skema ala Neo-Liberalisme justru terus dijalankan?

 

Hardiknas, apa yang harus dirayakan ketika skema ala Neo-Liberalisme justru terus dijalankan?


( Berjanji di dalam hati dan jiwa ini, bahwa aku masih belum kalah dan akan terus bersuara )


(Gambar : Forum Antar Komunitas di UNJ )


Oleh : Luthfi Ridzki Fakhrian

(Wakadiv Pusat Kajian dan Studi Gerakan Red Soldier FIS)


Forum Antar Komunitas di UNJ baru saja menggelar sebuah aksi yang menyambut hari pendidikan nasional, dengan mengangkat tema ( Duka Cita Pendidikan Kita “Musnahkan Virus-virus Pendidikan” ), aksi yang menurut saya sangat patut kita hargai melihat masih kompleksnya benih-benih masalah yang ada di dalam pendidikan kita saat ini, terkhusus di dalam Pendidikan Tinggi tentunya.


Kita semua mungkin sama-sama mengetahui, bahwa 2 Mei adalah momentum peringatan Hari Pendidikan Nasioanal yang jika kita lihat dari sejarahnya diangkat dari hari lahir sang bapak pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara, hal inipun dilandasi oleh Surat Keputusan Presiden RI Nomor 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959 tentang peringatan Hari Pendidikan Nasional, saya sangat setuju sebenarnya dengan adanya peringatan ini dan jasa-jasa besar dari Ki Hajar Dewantara, namun dengan penghargaan dan penghormatan setinggi-tingginya, saya merasa Hardiknas lebih tepat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi kita semua dari pada kita rayakan karena nyatanya belum terlalu banyak yang dapat kita banggakan dan dapatkan dari Pendidikan Tinggi saat ini.


Oleh karena itu lagi dan lagi tidak pernah bosan diri saya ini untuk terus menyuarakan sebuah kritik terhadap Pendidikan Tinggi kita saat ini, namun sebelum saya menjabarkan lebih jauh lagi tentang tema tulisan ini, marilah kita semua sama-sama coba memahami sejenak apa sebenarnya yang saat ini sedang kita rasakan yaitu Era Globalisasi, yang dalam arti/pengertian dari globalisasi itu sendiri adalah suatu zaman yang begitu pesat akan perkembangan Ilmu Pengetahuan sehingga sedikit banyak mempengaruhi globalisasi dibelahan dunia manapun. Ada banyak tanggapan sebenarnya yang menyatakan arti globalisasi  itu sendiri yang jika disimpulkan pada dasarnya globalisasi adalah tentang terhapusnya sekat/batas antarnegara seperti geografis, ideologis, dan kultural (borderless) yang pada akhinya menjadikan semua dapat terhubung dan terkoneksi dengan begitu mudahnya. Sudah barang tentu efek dari globalisasi sendiri ibarat sebuah pisau bermata dua sesuai dengan arti peribahasa ini globalisasi juga mendapatkan dua persoalan yang timbul kepermukaan, di satu sisi globalisasi bisa menjadi hal positif yang bisa kita dapatkan serta kita rasakan dari manfaatnya, tetapi disisi lain globalisasi juga menimbulkan masalah yang berdampak hal negatif yang pada akhirnya tidak dapat terhindarkan.


Praktik dari globalisasi pada kenyataannya yang kita lihat tidak akan pernah terhindar dari fenomena globalisasi itu sendiri yang mempunyai 3 citra (image), yakni citra pembaratan-modernisasi, citra hegemoni dan dominasi, serta citra integrasi pasar global. Hal-hal itu lah yang secara tidak langsung, perihal tersebut membentuk sebuah paradigma pemikiran baru yang menjurus pada sebuah istilah bernama liberalisme atau mungkin dengan gaya barunya yaitu neoliberalisme.


Bahasa mudahnya, neoliberalisme merupakan sistem ekonomi pasar bebas (free trade) yang berusaha memperluas kekuasaannya melalui privatisasi berbagai sektor publik, termasuk seperti yang saya sedang bahas saat ini yaitu pendidikan tinggi itu sendiri. Melalui berbagai intrik hingga dihadirkanlah formula dasar tentang (deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi), neoliberalisme ini sangat percaya pada penghapusan peran negara di berbagai aspek. Tidak mengherankan dikemudian hari ditemukan sejumlah aktor yang mendukung paham seperti ini bahkan yang mendukang terbilang bukan lembaga yang kecil, melainkan oleh otoritas global dan  kapital (yang tentunya memiliki power sangat kuat), seperti  International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), dan dilingkup Asia sekalipun hadir Asian Development Bank (ADB) juga mungkin masih sangat banyak perusahaan multinasional (multinational corporation) lainnya yang mendukung ini. Menariknya, “pemain-pemain” ini cukup bergairah bahkan sangat semangat bilamana terdapat wacana atau agenda pembahasan tentang liberalisasi  di berbagai sektor, seperti pendidikan tinggi dengan cara mengurangi intervensi pemerintah lokal terkait kebijakan pendidikan tinggi melalui sebuah tema acara tentang otonomi pembiayaan bernama “reformasi pendidikan tinggi”.


Gambaran jelasnya, para actor pemain tersebut sangat-sangatlah pintar sehingga mampu melihat satu celah khususnya pada era Orde Baru (era kepemimpinan Pak Harto), tidaklah mengherankan mengingat pemimpin yang ada saat itu terbilang “sangat baik atau bahkan sangat ramah” terhadap tamu-tamu asing, terutama yang datang dari Barat. Pada saat itu, tamu-tamu dari Barat itu mulai mengintervensi kebijakan Indonesia pasca-krisis era Orde Lama (era Presiden Soekarno) dengan terbitnya UU nomor 8 tahun 1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota (Asian Development Bank), UU nomor 9 tahun 1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota (IMF dan World Bank), dan juga UU nomor 1 tahun 1967 tentang (penanaman modal asing). Hadirnya undang-undang tersebut akhirnya menjadi sebuah dasar regulasi tentang adanya penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, dengan adanya perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services), Indonesia akhirnya ikut serta dalam meliberalisasi 12 sektor jasa, termasuk didalamnya sektor jasa Pendidikan.


Pada perjalanan praktiknya, Indonesia mulai menerapkan apa yang telah diikutinya tentang langkah liberalisasi sektor jasa khususnya jasa pendidikan seperti di Amerika Serikat, yang pada saat itu melakukan privatisasi pendidikan tinggi dengan (mengubah status universitas publik menjadi badan hukum). Pada tahun 1999, fenomena-fenomena (liberalisasi, privatisasi, bahkan komersialisasi) oleh segelintir pihak pun mulai terlihat, hal ini sangat terbukti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 1999 tentang pengelolaan perguruan tinggi, dan Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN).


Keputusan terkait langkah pemerintah Indonesia saat itu dilakukan dengan alasan bahwa terdapat peningkatan penyelesaian sekolah menengah dan tingginya permintaan akan lulusan yang terampil (Hill dan Wie 2013, 161). Tidak cukup sampai disitu, reformasi sektor pendidikan pun diwujudkan mengingat otonomi dan akuntabilitas kelembagaan menjadi isu strategis. Demi isu-isu strategis tersebut-lah UU nomor 22 tahun 1999 hadir melalui Keputusan Presiden nomor 61 tahun 1999 guna memfasilitasi agenda perubahan universitas negeri menjadi universitas otonom yang berstatus badan hukum milik negara, sekaligus pula untuk menjaga prinsip desentralisasi pendidikan itu sendiri.


Jika boleh saya pribadi ingin berargumen  :

“Bahwa apakah kita sadar tentang adanya suatu kejanggalan yang sangat salah dengan Pendidikan Tinggi ini, tentang kebijakan PTN yang didorong menjadi PTN BH jadi apakah kita benar-benar harus merayakan Hardiknas ini?”


Sejauh yang saya lihat saat ini, di harapkannya menjadi institusi yang netral, justru perguruan tinggi malah terlihat seperti “pabrik reproduksi” faktor produksi sekaligus aset utama para korporat untuk dikomersialisasikan. Sadar atau tidak, penyematan status PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum) dalam UU nomor 12 tahun 2002 hanyalah dalih otonomi kampus belaka alias berbeda dengan penerapannya. Pada Pasal 88 UU no 12 tahun 2002 tentang UKT, biaya kuliah sebenarnya dinaikkan sebesar 100 hingga 300 persen dari dana awal. Bahkan, undang-undang tersebut diamini dan didukung oleh Permendiknas nomor 55 tahun 2013 yang mengatur penerimaan UKT golongan satu dan dua masing-masing 5%. Ini berarti pemerintah hanya membantu sebesar 10% rakyat yang membutuhkan bantuan pendidikan, sedangkan 90% lainnya rakyat harus memikirkan sendiri nasib pendidikannya. Walaupun seringkali yang “tampak” adalah penaikan citra atas banyaknya berita-berita tentang beasiswa. Tentunya ini adalah sesuatu yang sangat miris mengingat bahwa jurang kesenjangan sosial di Indonesia tergolong masih cukup “lapang” dan tidak ada penurunan secara signifikan.


Setelah membaca uraian saya di atas sebelumnya, berulang kali kita patut sadari bahwa terdapat masalah-masalah yang ditimbulkan akibat privatisasi yang tidak pernah lepas dari campur tangan “pemain-pemain” asing, seperti WTO tadi, yang terlihat sangat memiliki hastrat (nafsu) untuk mengintervensi kebijakan dan sistem negara-negara berkembang, tanpa terkecuali Negara kita Indonesia. Belum lagi saat ini dengan adanya kabar baru yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI bapak Nadiem sangat mendorong agar PTN-PTN yang berstatus BLU dan lain-lain untuk menjadi PTN berbadan hukum atau PTN BH. Tentu jika dikaitkan dengan kampus hijau kita ini yaitu UNJ yang saat ini masih berstatus BLU (Badan Layanan Umum) lalu ingin menjadi PTN BH sudahlah semakin sangat terlihat arah dan gelagatnya hal ini tebukti setelah pada tanggal 2 Februari 2021, UNJ  resmi mendapat akreditasi unggul hingga tahun 2026 nanti. Hal ini tentu nantinya memang harus kita syukuri karena menjadikan UNJ  sebagai kampus yang mampu bersaing di ranah nasional hingga Asia, tetapi hal ini juga harus kita cermati, karena bisa saja ini menjadi awal dari perubahan status UNJ dari PTN yang berstatus BLU menjadi PTN BH.


Bahkan hal ini juga sudah diamini oleh  Bapak Rektor UNJ kita yaitu Prof. Dr. Komarudin, M.Si dengan ucapannya pada saat berdiskusi dengan Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik):

“Target UNJ kedepan adalah membenahi SDM kampus agar status PTN-BH bisa diraih dalam 2-3 tahun kedepan”


Jika hal ini benar-benar terjadi, maka pada akhirnya tentu hal ini akan membuat UNJ memiliki sebuah “otonomi kampus” , yang mana menurut mereka yang pro, tentu saja hal ini bagaikan titik terang dari impiannya untuk UNJ selama ini. Mereka itu seperti, pejabat rektorat, yang mana pada akhirnya “tidak akan dituntut mahasiswa lagi” jika ingin menambah keuntungan finansial kampus ini dengan cara komersialisasi kampus atau dengan bekerja sama ke berbagai lembaga swasta. Karena di masa yang akan datang, restoran cepat saji, kedai kopi yang harganya setinggi langit, dan minimarket yang mungkin kita pernah mimpikan dulu saat masuk kampus hijau ini mungkin bisa terwujud di sini. Tanpa meremehkan siapapun mungkin saja bagi mereka mahasiswa yang sangat awam yang tidak tahu-menahu soal kebijakan baru ini pun mungkin akan merasa senang dan bersorak girang karena akhirnya kampus hijau mereka ini bisa setara dengan kampus ternama seperti “UI, ITB, IPB, atau UGM” yang memiliki berbagai macam kedai kopi atau kantin yang berkelas. Tetapi tidak sadar bahwa selanjutnya justru yang terjadi adalah timbul sebuah keputusan dimana kampus akan mencari sumber pendanaan di luar negara, seperti yang sudah saya utarakan diatas misalnya perusahaan dan bank-bank swasta yang diajak bekerjasama, atau jika boleh sedikit lebih menyentil itu bisa saja dari masyarakat itu sendiri (kita sendiri sebagai mahasiswa) melalui uang kuliah tunggal yang golongannya mengalami kenaikan.


Henry Giroux (1998) dalam The Business of Public Education memandang fenomena privatisasi universitas publik sebagai :

a local industry that over time will become a global business.”


Fenomena privatisasi yang hadir melalui berbagai bentuk ini nantinya akan mengubah tidak hanya institusi pendidikan yang menjadi institusi pasar demi mengejar profit, tetapi juga mengubah input, process, dan output pengelolaan universitas publik seluruhnya. Kemudian, imbasnya kembali lagi dibebankan kepada masyarakat sebab mereka akan dapat menyimpulkan bahwa membayar pajak yang tinggi demi memenuhi kepentingan pemerintah yang kabarnya mengalokasikan anggaran negara ke dalam penyelenggaraan pendidikan hanya sebatas kesia-siaan. Menurut Giroux, masyarakat (khususnya yang tergolong menengah ke bawah) pada akhirnya mengabaikan lembaga pendidikan atau tidak sengaja kehilangan akses pendidikan akibat kehadiran sesuatu pada aspek struktural yang hanya menguntungkan secara individual atau kelompok tertentu.


Dan sesungguhnya Neoliberalisme sebagai langkah awal fenomena privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi sudah sangat melanggar inklusivitas yang seharusnya dijamin dalam Hak Atas Pendidikan. Universitas boleh saja beralasan bahwa ketimpangan yang terjadi disebabkan oleh terbatasnya kesempatan usaha, tetapi hal ini anak membuktikan bahwa jika saja “kampus hijau” ini diberikan sebuah otonomi pendanaan yang diberikan kepada PTN-BH maka itu akan sangat membebani mahasiswa. Ironinya, hasil pendidikan hanya mencetak kaum intelektual menjadi tenaga kerja murah. “Dengan fakta ini, jika kita memasrahkan penyelenggaraan pendidikan untuk bergerak dalam kerangka neoliberalisme, maka pertemuan supply dan demand hanya akan berpusar di penduduk dengan pendapatan menengah ke atas. Mengapa? Karena nantinya jika benar-benar sebuah universitas di Indonesia termasuk “kampus hijau”  ini menjadi universitas publik yang telah bergeser menjadi market brand dalam kerangka neoliberalisme akan sangat membutuhkan uang besar untuk memenuhi standarisasi market brand lain di kompetisi global.”


Jika saja keadaan ini dibiarkan oleh kita semua dan akan terus berlanjut tanpa ada dari kita yang bergerak dan semua hanya bisa terus diam, menerima dan mematuhi begitu saja setiap penafsiran resep dan perintah dari para pemangku kebijakan dari spectrum terkecil di dalam dunia pendidikan seperti birokrat kampus, hingga yang terbesar dalam hal ini pemerintah yang digawangi kemendikbud maka saya akan bilang bahwa kita semua hanya akan bertindak seperti mahasiswa yang akan larut dan tenggelam tanpa nama, tanpa harapan, dan tanpa kepercayaan, karena semata-mata hanya patuh dan menurut.


Pada akhirnya mungkin saya saat ini memang belum bisa merayakan Hari Pendidikan Nasional sebagai suatu keberhasilan yang bisa kita sama-sama rayakan tetapi dengan tulisan ini saya sangat berharap bahwa sedikit evaluasi saya terhadap Pendidikan khususnya pendidikan tinggi ini di Hari Pendidikan Nasional ini dapat membuka mata kita semua bahwasannya pendidikan kita haruslah kembali kepada “khittah” atau pedomanya yaitu sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2, bahwasannya :

(1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini sebagai jembatan setiap warga negara agar memperoleh pendidikan yang layak. Dalam hal ini, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah.

Dan tujuan mulia dari pendidikan kita dapat tercapai sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 3 yaitu :

" Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab "

 

 

 

 

 

 

 Referensi

Wahyuni, Tri. (2020). Benahi SDM, UNJ Bertekad Raih Status PTN-BH. Jakarta: Suara Karya. Diakses pada 1 Mei 2021  melalui https://suarakarya.co.id/benahi-sdm-unj-bertekad-raih-status-ptn-bh/26356/

Sidik, J.M. (2009). Neoliberalisme dan Perguruan Tinggi. Jakarta: ANTARANEWS.

Kotz, D. M. (2002). Globalization And Neoliberalism. Rethinking Marxism14(2), 64–79.

Kadi. (2012). Komersialisasi Pendidikan (Kajian Teoritis-Filosofis Paradigma Pendidikan Nasional Kontemporer). Jurnal Al-Hikmah, Vol.2 №2, hlm. 140.

Brennan, J. & Naidoo, R. (2008). Higher education and the achievement (and/or prevention) of equity and social justice. Higher Education, 56(3), 287–302.

Brewis, E. (2016). Inclusive development in Indonesian higher education reform post-1997. London: University College London Institute of Education.

Gaus, N. & Hall, D. (2015). Neoliberal Governance in Indonesian Universities: The Impact Upon Academic Identity. International Journal of Sociology and Social Policy, Vol. 35 No 9/10, pp. 666–682.

Gaus, N., Yunus, M., Karim, A., and Sadia, H. (2019). The Analysis of Policy Implementation Models In Higher Education: The Case Study of Indonesia. Policy Studies. 40:1, 92–109.

Giroux, H. (1998). The Business of Public Education. Z Magazine.

Singgih (2007) dalam Alldo Fellix Januardy, Pengaruh Neoliberalisme Terhadap Korporatisasi dan Komersialisasi Universitas Publik: Studi Kasus Universitas Indonesia. (Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2014).

Hellawell, D. & Hancock, N. (2001). A Case Study of the Changing Role of the Academic Middle Manager in Higher Education: Between Hierarchical Control and Collegiality?. Research Papers in Education, 16 (2): 183–197.

Raihani, R. (2007). Education Reforms in Indonesia in The Twenty-first Century. International Education Journal8(1), 172–183.

Syifa, I. (2010). Privatisasi dan Marketisasi Pendidikan. Jakarta: Kompasiana. Diakses pada 1 Mei 2021 melalui https://www.kompasiana.com/syifa/55003d42a33311e572510301/privatisasi-dan-marketisasi-pendidikan

Tampake, T. (2016). Tantangan Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Keindonesiaan. Jurnal Teologi Interdisiplioner, 17–28.

Welch, A.R. (2007). Blurred Vision?: Public and Private Higher Education in Indonesia. High Educ 54, 665–687.

Rasmussen, E. (2008). Government Instruments to Support The Commercialization of University Research: Lessons from Canada. Technovation, 28. 506–517.

Lang, A. (2011). World Trade Law After Neoliberalism: Reimagining The Global Economic Order: Oxford University Press.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.