Press Release DISPUB REDS "Demokrasi Mati, Berani Mengkritik Tereksekusi"

05.52

 Press Release DISPUB REDS "Demokrasi Mati, Berani Mengkritik Tereksekusi"


    Pada tanggal 23 Juli 2021, Red Soldier FIS UNJ mengadakan diskusi publik bertajuk “Demokrasi Mati, Berani Mengkritik Tereksekusi”. Pemateri diskusi ini adalah Bapak Ubedillah Badrun dan Bang Maulana Malik Ibrahim. Diskusi ini diawali dengan pemaparan materi oleh Pak Ubed yang memusatkan bahasannya mengenai bagaimana keadaan demokrasi negeri kita saat ini disertai penyajian data dari The Economist Unit Intelligence (EIU) tentang Indeks Demokrasi. Data tersebut memperlihatkan Indeks Demokrasi Indonesia kian menurun dalam 14 tahun terakhir. Beliau menjelaskan bahwa demokrasi terancam mati oleh superioritas oligarki ekonomi yang dapat memanipulasi kebijakan publik dan membuat terbatasnya hak-hak sipil dan politik. Selanjutnya beliau menunjukkan regulasi kebebasan berpendapat yang melindungi upaya menyuarakan aspirasi pada Pasal 28 E UUD 1945. Namun, nyatanya di era modern sekarang belenggu kebebasan masyarakat digital terdapat pada UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE di pasal 27 hingga 29 karena bersifat multitafsir dan rentan dimanfaatkan untuk menjerat para mengkritik. Beliau berpendapat kampus dan negara mestinya membuka ruang lebar bagi kritik yang datang dari siapapun dan manapun. Kebebasan akademik dijamin oleh Pasal 6 UU No.12 Tahun 2012 yang berbunyi “prinsip utama pendidikan tinggi itu pencarian kebenaran ilmiah, demokratis, berkeadilan dan berbudaya akademik”. Menurut beliau kritik adalah gizi demokrasi sekaligus pintu utama yang mampu menghadirkan inovasi-inovasi baru di dalam universitas maupun suatu negara.

    Materi kedua dibawakan Bang Maul berkonsentrasi terhadap bagaimana terjadinya krisis ruang publik politis. Kematian demokrasi adalah akibat dari buruknya kualitas regulasi, disfungsi birokrasi, dan matinya kebebasan dalam ruang publik. Para oligarki yang bermain di lingkaran kekuasaan berusaha memenuhi kepentingan mereka melalui birokrasi pemerintahan. Birokrasi dimanfaatkan mereka untuk menghasilkan regulasi yang seolah-olah pro rakyat. Padahal, regulasi tersebut lebih menguntungkan pihak oligarki dalam upayanya menguasai sendi-sendi kehidupan negara bertentangan dengan eksistensi ruang publik. Melemahnya demokrasi diperkuat dari data dan fakta demokrasi Indonesia yang dilansir oleh EIU untuk mengamati perkembangan demokrasi di negara-negara dunia. Dari data yang diperoleh Bang Maul yang juga bersumber dari EIU, demokrasi Indonesia termasuk ke dalam golongan Flawed Democracy (Demokrasi yang cacat). Menurut Bang Maul, status golongan tersebut menggambarkan kasus-kasus yang terjadi seperti terbentuknya kartel politik, praktik politik uang, kekerasan terhadap kebebasan sipil, dan munculnya kebijakan publik tanpa deliberasi publik. Dalam mengamati fenomena demokrasi hari ini, dengan demikian perlu dibuka ruang publik seluas-luasnya agar komunikasi politik dapat menghasilkan kebijakan yang berasal dari deliberasi publik. Pola matinya ruang publik berkembang dalam aktivitas kritik maupun aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat luas. Pola ini berawal dari mereka yang beraspirasi mudah sekali mengalami represifitas yang berujung pada pemanggilan rektorat sampai penangkapan aktivis oleh aparat penegak hukum. Hal tersebut memperlihatkan sikap pemerintah yang anti-demokrasi dan anti-kritik. Padahal, kebebasan berpendapat sudah diatur dalam konstitusi dan UU No.9 Tahun 1998. Beberapa contoh kasus yang disampaikan Bang Maul ada kasus pertama yang melibatkan Dosen dan dan aktivis UNJ Bapak Robertus Robet dikarenakan menyanyikan lagu ABRI pada masa Reformasi dan dianggap melanggar UU ITE. Kasus kedua yang terjadi baru-baru ini dialami oleh BEM UI ketika mengkritik kebijakan pemerintah dengan membuat kartun Jokowi: The King of Lip Service yang menyebabkan pihak BEM UI dipanggil Rektorat.

Sumber:

PPT Pemateri

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.