Katronya BEM di Kampusku


Katronya BEM di Kampusku

 

“Saat ini bukan BEM yang kuat yang akan bertahan, tapi BEM yang dapat merespon keadaanlah yang akan terus bertahan”

 



(Gambar : google + edit )

 

Oleh Didit Handika (Mahasiswa Semester Akhir)



    Pandemi memang memaksa banyak disrupsi terjadi diberbagai sektor termasuk salah satunya dalam ranah pengelolaan kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai wadah aspirasi dan advokasi mahasiswa dalam suatu kampus atau perguruan tinggi.

 

 

   Perubahaan ini memang membutuhkan penyesuaian, baik dari pihak rektorat kampus sebagai pemangku kepentingan tertinggi serta bagi setiap pengurus BEM dari berbagai tingkatan. Namun, pandemi sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun, waktu yang cukup lama bagi setiap pengurus BEM untuk menyesuaikan bahkan melakukan inovasi dalam merespon keadaan ini.

 

 

   Momentum ini berhasil direspon dengan baik oleh beberapa BEM di Indonesia, seperti contoh gerakan massa secara digital yang mengkritik kinerja Jokowi dengan melabeli sebagai “The King Of Lip Service” yang dilakukan oleh kawan-kawan BEM Universitas Indonesia telah memperlihatkan pada publik, bahwa aksi secara digital dapat berdampak meski dalam keterbatasan di masa pandemi. Selain mereka, ada kawan-kawan BEM Universitas Gadjah Mada yang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah Yogyakarta tentang pengelolaan sampah, bahkan kritik mereka dilakukan secara kreatif melalui media musik.

 

 

    Lantas apa yang dilakukan oleh BEM dikampusku?, dikampus yang acapkali dilabeli sebagai kampus pergerakan intelektual. BEM Universitas Negeri Jakarta dan BEM diberbagai Fakultas, seolah hening menutup mata terhadap berbagai permasalahan rakyat secara nasional bahkan tak perlu jauh-jauh berbicara tentang rakyat, kehadiran mereka bagi mahasiswa saja tak begitu terasa.

 

 

   Kata “Katro” layak disematkan pada pengurus BEM di UNJ, meski bertempat di Jakarta tak membuat pemikiran "Norak" mereka hilang begitu saja, bahkan cenderung semakin memakluman kebiasaan-kebiasaan yang tak memiliki nilai bahkan hanya bersifat mengikuti atau turunan semata.

 

 

    Dalam tulisan ini, akan diulas mengapa BEM di UNJ begitu "Katro" ditahun ini dan bahkan cenderung bebal tak mencerminkan bahwa mereka adalah mahasiswa, status tertinggi bagi para pengejar ilmu pengetahuan.

 

 

Homogenitas

 

 

    Pengurus BEM yang hanya berasal dari golongan-golongan tertentu, bahkan jabatan strategis dikuasai oleh fakultas atau prodi-prodi tertentu semata justru berdampak besar pada kualitas BEM itu sendiri. Budaya homogenitas atau kesamaan di dalam pengurus BEM cukup memprihatinkan karena yang akan terjadi hanya ada tesis dan validasi atas tesis yang disampaikan oleh ketua atau pejabat-pejabat di dalam struktural BEM.

 

 

    Antitesis atau perbedaan argumen justru minim terjadi, mereka kerap kali terlalu mengkultus orang-orang yang memiliki jabatan tertentu dengan harus seutuhnya mereka ikuti dan mengakibatkan terbentuknya pola “One Man, One Show”, hanya satu sosok yang populis dalam organisasi tersebut.

 

 

   Padahal BEM seharusnya merawat kemajemukan, terutama dalam merekut pengurus utama BEM. Mengapa kemajemukan di dalam BEM begitu penting?, menurut Katherine W. Phillips seorang pembantu dekan senior di Columbia Business School, menyimpulkan bahwa kemajemukan dapat melahirkan kreativitas dan inovasi, memprovokasi lahirnya gagasan-gagasan baru, hingga membekali seseorang untuk bersikap lebih bijak dalam menentukan sesuatu.

 

 

    Akan tetapi, sangat disayangkan mereka tidak melakukan hal tersebut bahkan mereka juga cenderung enggan berdiskusi untuk meminta pandangan kepada orang-orang diluar BEM secara langsung atas berbagai kinerja mereka selama setengah tahun ini. Sehingga sangat wajar, bila kita melihat BEM yang ada di UNJ begitu kampungan, karena mereka hanya berpikir secara seragam dan minim diskursus terhadap ide dan gagasan yang baru.

 

 

Tak Punya Tujuan Yang Terarah

 

 

    Masih ingatkah kalian dengan visi dari salah satu BEM Fakultas di UNJ yaitu “BEM Fakultas Yang Ada untuk Fakultas, UNJ, dan Indonesia”, ketidakjelasan dalam menuliskan visi justru cenderung membingungkan untuk menciptakan parameter keberhasilan dari BEM itu sendiri, dan yang lebih buruk lagi jika visi itu gagal pula dipahami oleh setiap pengurus BEMnya.

 

 

    Sebagai contoh visi diatas, jika setiap pengurus BEM memaknai keberadaan dengan berdiam saja maka BEM tersebut akan stagnan dan cenderung mengalami kemerosotan kualitas akibat setiap pengurus BEM yang enggan menjalankan program kerjanya. Mungkin saja, pengurus BEM dengan visi ini akan membantah, dengan mengatakan “mereka tetap menjalankan Prokernya kok”, namun argumen ini tak layak untuk menjadi penguat karena menjalankan saja belum tentu menjamin kualitasnya benar-benar terjaga akibat parameter yang tidak bisa diuji dari visi tersebut.

 

 

    Lantas bagaimana visi yang terarah?, organisasi BEM selayaknya seperti komunitas masyarakat yang terdiri atas individu-individu dari latar belakang yang beragam, tentu diperlukan kesepakatan bersama agar menyatukan setiap langkah individu tersebut dalam satu gerak organisasi. Jika kita meminjam analogi Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapiens, ia mengungkapkan jika Homo Sapiens atau manusia bersatu karena mitos bersama yang mereka yakini. Mitos itu membuat manusia saling bekerja sama untuk mencapainya, meski mereka saling berbeda.

 

 

    Visi dalam BEM seharusnya menjadi mitos bersama yang diyakini oleh setiap pengurusnya, Menurut Cristopher Bart (dalam Cardani, 2000:1) pernyataan visi dan misi yang baik menyajikan keunikan organisasi, alasan keberadaan, dan mendorong berbagai stakeholder bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu pernyataan misi yang baik memungkinkan pengalokasian sumber daya organisasi yang terfokus yang mengharuskan organisasi untuk menyampaikan pertanyaan sulit yang ditujuakan kepada dirinya sendiri: Apa organisasi kita? Mengapa kita mesti ada? Apa yang ingin kita capai?.

 

 

    Kegagalan visi yang terarah ini membuat BEM hanya sebatas organisasi yang sekadar ada saja, tanpa memproduksi program-program kreatif dan inovatif untuk merespon perubahan zaman, BEM yang ada di UNJ seolah bergerak dalam tempurung sempit, memiliki batasan yang kaku untuk berkegiatan, padahal selain pandemi berdampak terhadap adanya disrupsi, pandemi juga membuka peluang-peluang baru yang lebih menarik. Namun masalah, apakah para pengurus BEM dapat terbuka melihat potensi itu dan ingin menantang diri mereka keluar dari zona nyaman dalam berorganisasi, nampaknya hal tersebut sulit ditemukan pada pengurus BEM yang ada di UNJ saat ini.

 

 

Minim Budaya Membaca

 

 

    Dalam arus sejarah manusia telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar di dunia yang sukses adalah mereka-mereka yang memiliki kegemaran dalam membaca. Seperti contoh adalah seorang wakil presiden pertama Indonesia yaitu Mohammad Hatta, Bung Hatta sapaan akrabnya memiliki kegemaran membaca sejak ia kecil dibukit tinggi, bahkan terdapat kisah yang menarik bung Hatta dengan buku yaitu ketika ia pulang dari Belanda ke Indonesia ditahun 1930, ia membawa 2 peti yang hanya diisi oleh buku-buku kesayangan saja.

 

 

    Karena kegemaran Hatta dalam membaca, membuat pemikirannya pun melampaui zaman pada saat itu. Bahkan Soe Hoek Gie mengatakan buku adalah sumber-sumber kekuatannya agar tetap hidup dalam kejujuran dan kewarasan atas kondisi-kondisi kehidupan yang sulit. Bagi Gie, perjuangan mahasiswa bukan sekadar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakkan keadilan dan kejujuran.

 

 

    Meski membaca itu amat penting, namun sayang pengurus BEM yang ada di UNJ terutama para Ketua BEM nampaknya kurang minat dalam membaca. Hal tersebut sudah terlihat dengan jelas ketika para ketua BEM berdebat dalam pencalonan diri mereka sebagai pimpinan organisasi tersebut, atau yang lebih jelas lagi kita melihat kalimat-kalimat kuno dan minim makna ketika mereka menyebarkan berbagai postingan di sosial media yang bertujuan menyambut mahasiswa baru dari berbagai jalur seleksi.

 

 

    Kita sangat akrab dengan kalimat “Negara Indonesia Tidak Baik-Baik Saja” atau “Selamat Datang Di Kampus Pergerakan Intelektual, Bagi Pemuda Harapan Bangsa”, kalimat-kalimat tersebut telah membuktikan minimnya diksi yang dimiliki oleh ketua-ketua BEM di UNJ, hal ini terjadi karena mereka tak punya minat terhadap membaca yang kuat, atau meski mereka membaca mereka terlalu membatasi diri untuk membaca buku-buku tertentu semata.

 

 

    Lebih buruk lagi, minimnya budaya membaca juga menjadikan divisi atau departemen pendidikan justru mahal hanya fokus mengejar kompetisi berbasis lomba semata tanpa rajin membuka ruang-ruang diskusi berbagai buku atau bahkan permasalahan rakyat perihal pendidikan, terlebih kampus kita yang berlabel sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Akhirnya keterasingan terhadap buku, membuat mereka semakin menjauhi dari peradaban yang lebih luas dan maju, mereka hanya menjadi konsumen fakta-fakta yang disediakan oleh berbagai media pada saat ini, sikap kritis dan analistis menjadi sangat sulit terdapat pada setiap pengurus BEM di UNJ.

 

  Editor : Luthfi Ridzki Fakhrian


 

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.