Hari Buruh : "Kesejahteraan dan Keadilan yang Tidak Kunjung Tercapai"

 Kajian Hari Buruh


Red Soldier X Sospol BEM FIS UNJ


Dari tahun ke tahun, 1 Mei selalu menjadi ajang buruh menuntut hak-haknya mulai dari upah yang pembayarannya tertunda, jam kerja dan upah yang layak, hak cuti hamil, haid, hingga Tunjangan Hari Raya (THR) yang kita nikmati.

Namun apakah kalian tahu apa saja sih yang sering jadi masalah bagi buruh di Indonesia tiap tahunnya? Yuk kita lihat berbagai tuntutan buruh tiap tahunnya!


Tahun 2019

Terdapat setidaknya 6 tuntutan utama sebagai berikut:

1. Menolak upah murah sekaligus cabut PP Nomor 78 Tahun 2015.

2. Menaikkan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menjadi 84 item.

3. Menuntut sistem outsourcing dan pemagangan berkedok outsourcing dihapuskan.

4. Meningkatkan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

5. Turunkan tarif dasar listrik dan harga sembako.

6. Meningkatkan kesejahteraan guru-tenaga honorer juga pengemudi ojek online.


Tahun 2020

Karena terdampak Pandemi, perayaan Hari Buruh diadakan secara virtual. Terdapat setidaknya 3 tuntutan utama sebagai berikut:

1. Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

2. Setop PHK di saat pandemi.

3. Liburkan buruh dengan upah dan tunjangan hari raya (THR) 100 persen.


Tahun 2021

Terdapat setidaknya 9 tuntutan utama terkait Undang-undang Cipta Kerja yang dinilai tidak memenuhi kesejahteraan dan hak-hak buruh sebagai berikut:

1. Pengaturan upah minimum.

2. Pengaturan pesangon.

3. Pengaturan outsourcing.

4. Pengaturan karyawan kontrak (PKWT).

5. Pengaturan tenaga kerja asing (TKA).

6. Pengaturan PHK.

7. Pengaturan pidana.

8. Pengaturan cuti dan istirahat.

9. Pengaturan waktu kerja.


Tahun 2022

Menjelang perayaan Hari Buruh tanggal 12 Mei nanti, terdapat setidaknya 3 tuntutan utama sebagai berikut:

1. Menolak revisi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Meminta agar Klaster Ketenagakerjaan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja.

3. Menolak revisi UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Serikat Buruh.


Jika dilihat dari berbagai tuntutan sejak 4 tahun ke belakang, terdapat setidaknya 2 masalah utama yang selalu menjadi perhatian tiap tahunnya yaitu:

1. Masalah terkait upah dan tingkat kesejahteraan buruh

Pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), yakni standar upah sesuai dengan ketentuan daerah masing-masing. Masalah timbul saat pengusaha memberikan upah di bawah standar kelayakan yang sudah ditetapkan. Di sisi lain, mekanisme pengawasan dan penegakan hukum belum efektif. Pemerintah belum tegas dalam memberikan sanksi dan membela kepentingan pekerja.

2. Perlindungan terhadap pekerja yang belum dipenuhi

Jaminan kerja, kesehatan, keselamatan, kecelakaan, hari tua, dan lain-lain belum terpenuhi secara maksimal. Sosialisasi mengenai hak-hak pekerja belum maksimal dilakukan di Indonesia sehingga masih banyak pekerja yang belum tahu. Pemberi kerja harus memenuhi kewajibannya.

Kondisi ini diperparah dengan belum dihapuskannya sistem outsourcing yang dinilai sebagai bentuk perbudakan modern dengan berbagai bentuk pelanggarannya dan adanya rencana penerapan UU Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak kepada buruh. Salah satunya adalah revisi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dinilai sebagai siasat agar UU Cipta Kerja dapat disahkan secara konstitusional tanpa perlu menunggu waktu selama 2 tahun lagi. Dampak dari revisi ini adalah:

Pekerja kontrak (PKWT) dan pekerja alih daya (outsourcing) semakin merajalela tanpa ada sanksi kepada pengusaha.

Upah murah tanpa ada kenaikan upah minimum yang menyebabkan upah yang diterima pekerja/buruh di bawah inflasi.

Pekerja/Buruh mudah di PHK secara sepihak oleh Perusahaan, dan dengan pesangon suka-suka pengusaha yang sudah dapat perlindungan dari Pemerintah.

Tarif dasar listrik akan segera naik yang memberatkan rakyat, karena urusan perlistrikan akan sepenuhnya dikuasai pihak swasta.


Mengapa kedua hal ini harus menjadi perhatian utama masyarakat maupun pemerintah? Yuk kita lihat contoh studi kasus serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan buruh!

A. Contoh Kasus pada Skandal Aice Indonesia

Perselisihan tim manajemen Aice dan serikat buruh sudah berlangsung lama. Perselisihan keduanya bahkan sempat menjadi buah bibir di media sosial. Sejak 2017, SGBBI mempersoalkan berbagai kondisi kerja yang dirasa tak ideal dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Asisten Advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Barat (PBHI Jakarta) Sarinah mengungkap pada 2017 buruh mogok karena pelbagai masalah yang melibatkan pekerja dan perusahaan.

Misalnya, penurunan upah, kondisi kerja ibu hamil pada malam hari, kontaminasi lingkungan, mutasi pekerja terhadap anggota serikat, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). "Perusahaan sering tidak proporsional memberikan hukuman. Ada yang meninggalkan pekerjaan karena ada urusan serikat yang buru-buru, langsung ke SP-3. Sedangkan ada yang 12 kali alpa, tidak dapat sanksi apa-apa," katanya. Menurut kuasa hukum Aice, ketidakpuasan buruh pada 2017 telah mencapai kesepakatan dua pihak. Dalam penyelesaiannya, salah satu solusi yang diberikan Aice adalah pengangkatan 665 buruh menjadi karyawan tetap.

"Ada rangkaian peristiwa 2017 yang sudah kita selesaikan, jadi itu saya harap bukan hal yang perlu diungkit lagi karena sudah selesai," jawab Simon pada Jumat (28/2). Sempat mereda, pada 2019 kasus lainnya kembali mencuat. Menurut Sarinah, buruh merasa dibohongi karena diberikan cek mundur yang kosong. Pada perjanjian yang dilakukan pada 4 Januari 2019, buruh setuju menunggu setahun bonus sebesar Rp600 juta untuk 600 karyawan. Namun ketika hendak dicairkan pada 5 Januari 2020, pihak Bank menyatakan cek tersebut tidak aktif alias kosong.

Selanjutnya diketahui Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00. Sementara, pada Oktober 2019 Aice membenarkan terjadinya kebocoran amoniak di gudang bahan jadi perusahaan. Dari keterangan resmi yang didapatkan CNNIndonesia.com, disebutkan bahwa tidak ada pekerja yang diminta melakukan kegiatan pembersihan saat terjadi kebocoran amoniak dan penanganan dilakukan oleh tim maintenance.

(Kronologi ini dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200229162547-92-479349/kronologi-serikat-buruh-geruduk-manajemen-es-krim-aice)


Bagaimana pengaruhnya?

Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus Aice Indonesia ini menjadi polemik tersendiri bagi kalangan buruh, bahkan tercatat per tanggal 25 Maret 2022 masih banyak buruh dari perusahaan ini yang melakukan demonstrasi untuk menuntut hak-hak dan keadilan bagi mereka agar tidak lagi diabaikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun sayangnya, keputusan untuk menjadikan Aice sebagai sponsor utama pergelaran Asian Games 2018 dipandang sebagai salah langkah pemerintah dalam menangani berbagai kasus eksploitasi buruh di perusahaan ini. Penunjukan ini seakan-akan sebagai bentuk cuci tangan Aice untuk menutupi kasus dan memperbaiki citra perusahaan di mata masyarakat. Ditambah lagi perusahaan ini secara resmi menjadi sponsor Piala Dunia Qatar di tengah masif dan konsistennya demonstrasi buruh terkait kenaikan upah yang belum jelas sampai sekarang.


B. Hak terkait Cuti Haid yang Diskriminatif terhadap Buruh Perempuan

Hak buruh saat haid maupun melahirkan masih menjadi polemik tersendiri. Dalam mengatur pelaksanaan cuti haid, Undang-undang Kerja pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa buruh perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid. Undang-undang Kerja menegaskan “perlindungan afirmatif ” dengan penegasan bahwa yang diberikan kewenangan untuk melarang buruh perempuan melakukan pekerjaan pada hari pertama dan hari kedua waktu haid itu adalah majikan. Ketika buruh perempuan memberitahukan dirinya sedang haid, majikan tidak boleh memerintahkan buruh perempuan untuk bekerja. Artinya buruh perempuan tersebut diberi kebebasan untuk memilih sesuai kemauannya sendiri untuk melakukan pekerjaan atau tidak –tanpa melalui prosedur administratif yang menyulitkan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Kalimantan Timur Herdiansyah Hamzah menyebutkan Undang-undang Ketenagakerjaan yang longgar sebagai proses liberalisasi: 

“Karakter pokok dari liberalisasi itu adalah menihilkan, bahkan menghilangkan sama sekali peran negara. Liberalisasi justru memberikan ruang bagi pengusaha membangun penafsiran subjektif mengenai kondisi syarat-syarat kerja yang diinginkan. Pada akhirnya buruh akan dipaksa berhadap-hadapan dengan pengusaha. Dalam situasi buruh dan serikat, cenderung belum terorganisir dengan baik, syarat dan kondisi kerja versi pengusaha itu akan terus dipertahankan.”

Pengurus DPP Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Lilis Mahmudah sependapat dengan pendapat Hamzah. “Karena pasal 81 ayat (2) menyatakan teknis pelaksanaan cuti haid diaturkan berdasarkan kesepakatan, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), ini menjadi masalah besar bagi buruh perempuan.

Dampaknya ruang pertarungan tidak seimbang antara serikat dengan pengusaha dan seandainya serikat tidak kuat maka habislah buruhnya,” tutur Lilis Mahmudah. Sementara, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih menyatakan bahwa kondisi sekarang jauh lebih berat; pasal mengenai cuti haid menjadi lentur dan pelaksanaan di tempat kerja ditentukan oleh persepsi pihak yang lebih kuat, yaitu pengusaha.

Melengkapi pendapat Lilis dan Jumisih, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Eny Rofiatul menjelaskan bahwa teks perundang-undangan (pasal 81 Undang-undang Ketenagakerjaan) tidak mampu “membaca” kondisi sosiologis-budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Pelaksanaan aturan ini dipengaruhi persepsi masyarakat yang bias gender dan tidak memahami kesehatan reproduksi dan pada akhirnya pemberi kerja yang dominan menerjemahkan peraturan teknis di tempat kerja menjadi sangat diskriminatif.

Ketidakadilan gender terkait hak cuti haid sebagaimana diungkapkan oleh Mansour Fakih, termanifestasi dalam berbagai bentuknya di tempat kerja. Pertama, buruh mengalami marginalisasi ketika akan mengambil cuti haid. Marginalisasi yang paling lazim buruh perempuan yang mengambil hak cuti haid adalah: 

1. Upah dipotong dengan alasan tidak bekerja atau no work no pay atau biaya pemeriksaan tersebut dipotong dari dana BPJS milik buruh.

2. Membayar sendiri biaya periksa ke dokter untuk mendapatkan surat sakit. Hal ini dilakukan karena tidak ada klinik di tempat kerja atau menghindari pemeriksaan dari dokter perusahaan yang mempersulit pemberian surat dokter.

3. Cuti haid diganti uang, tetapi jumlahnya lebih rendah dari upah per hari.

4. Cuti haid diganti dengan satu pak pembalut yang harganya lebih rendah dibandingkan upah per hari.

5. Buruh kontrak yang cuti haid –dengan menyerahkan surat sakit dari dokter– mendapatkan penilaian kinerja yang tidak bagus sehingga kontraknya tidak diperpanjang.

Kedua, stereotipe (label negatif) bahwa buruh perempuan yang cuti haid adalah pemalas. Buruh yang tidak masuk bekerja meskipun dengan alasan cuti haid mendapatkan label sebagai buruh yang malas dan produktivitasnya rendah.Ketiga, subordinasi atau anggapan bahwa cuti haid tidak penting. Menganggap cuti haid tidak penting itu sama saja dengan anggapan bahwa kesehatan reproduksi bagi buruh perempuan juga tidak penting. Keempat, beban ganda (burden) juga dialami buruh perempuan yang sedang cuti haid.

Kelima, kekerasan (violance) juga dialami buruh perempuan ketika cuti haid. Kekerasan yang dialami oleh buruh perempuan itu, bentuknya: 

1. Psikologis buruh perempuan diserang oleh mandor, HRD, atau supervisor dengan cara: dimaki, dibentak, dihukum berdiri di depan line produksi, tidak diberi pekerjaan.

2. Diperiksa oleh satpam, atasan, atau dokter klinik untuk membuktikan sedang haid atau diminta menempelkan kapas pada alat kelamin untuk membuktikan adanya darah haid.

3. Dipaksa bekerja meskipun merasakan sakit, nyeri, demam, dan bahkan sampai 

pingsan.

4. Diberi obat pereda sakit, meskipun tidak tahu jenis obat tersebut.

5. Waktu istirahat pendek sehingga kesulitan untuk ganti pembalut dan tidak tersedia cukup air bersih di kamar mandi untuk membersihkan haid.


Referensi

1. https://nasional.okezone.com/read/2019/05/01/337/2050334/ini-tuntutan-lengkap-buruh-di-may-day-2019

2. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6064507/lengkap-16-tuntutan-buruh-di-aksi-may-day-14-mei-2022?single=1

3. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4547162/9-poin-tuntutan-buruh-ke-jokowi-dalam-petisi-may-day-2021

4. https://www.republika.co.id/berita/q9nd06409/may-day-2020-tahun-kelam-buruh-terdampak-pandemi

5. https://tirto.id/may-day-2020-perayaan-hari-buruh-di-berbagai-negara-saat-pandemi-fgP5

6. https://spkep-spsi.org/2021/12/15/gekanasmenolak-pembahasan-revisi-uu-no-12-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/

7. https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/07/094657565/ruu-cipta-kerja-tragedi-di-tengah-pandemi?page=all

8. https://tirto.id/eksploitasi-kerja-di-pabrik-es-krim-aice-sponsor-asian-games-2018-cA7h

9. https://solidaritas.net/aice-jadi-sponsor-asian-games-di-atas-derita-buruh/

10. Istakhori, K. (2017). Cuti Haid dan Lingkaran Eksploitasi terhadap Buruh Perempuan di Tempat Kerja, 1(2), 158–174.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.