RESUME BUKU: Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislati Perempuan di Tingkat Lokal.

01.33
RESUME BUKU
Oleh: Silviana Eka Dewi Hapsari

Judul : Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal. (BAB I dan II)
Pengarang : Nina Andriana, dkk.
Penerbit : LIPI, Jakarta: 2012
Pengantar : Dr. Jan Woischnik


BAB I
Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal - Sebuah Pendahuluan

Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan dalam partai politik, kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setuju akan perlunya peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatam yang hangat di Indonesia, antara lain
  1. Perwakilan politik perempuan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah. Di Indonesia pun secara historis perempuan di parlemen tidak pernah melebihi 18 persen di DPR.
  2. Adanya tekanan yang kuat dari LSM perempuan yang semakin bergerak di bidang politik dengan menjadikan isu kesetaraan jender sebagai unsur penting di dalam proses demokrasi. Pada sisi historisnya, perihal memperdayakan perempuan ke dalam parpol yang rendah disebabkan adanya keengganan dan ketidak-mampuan partai dalam memaksimalkan organisasi sayap perempuan dan mengembangkan kader perempuan.


Kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat yang memiliki kesetaraan jender. Keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan hal yang sangat penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatam kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat.
Faktor penghambat partisipasi kaum perempuan dalam politik, yaitu
  1. Penghambat dalam faktor politik adalah kurangnya dukungan parpol terhadap perempuan, adanya persepsi yang menganggap perempuan hanya tepat menjadi ibu rumah tangga dan tidak cocok untuk aktif dalam fungsi publik di masyarakat, apalagi menjadi aktor politik, adanya ke-eksklusif-an parpol untuk laki-laki, dan tidak transparasi dalam pemilihan pemimpin parpol yang berupaya membatasi peluang kaum perempuan.
  2. Secara faktor ideologis dan psikologis, perempuan yang sudah terjun ke dunia politik enggan memegang peran sebagai pimpinan karena mereka memandang parpol sebagai arena yang dikuasai lelaki.
  3. Kurangnya sistem pendukung dan basis dukungan bagi kaum dan kelompok-kelompok perempuan.


BAB II
Sejarah Gerakan Politik Perempuan di Indonesia

Sejarah kemerdekaan Indonesia berkaitan dengan kegigihan perjuangan perempuan Indonesia, dimana perempuan-perempuan Indonesia memiliki peran amat penting dalam merebut kemerdekaan. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, perempuan Indonesia sudah melek terhadap kesetaraan jender. Tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang berpemikiran perempuan juga bisa berkarya layaknya lelaki menunjukkan taringnya di medan perang maupun di dunia intelektual. Perempuan mendirikan banyak organisasi untuk memperdayakan perempuan Indonesia ada pula yang bergerak di dunia politik, antara lain:
  1. Perkumpulan Kartinifonds di Semarang,
  2. Putri Merdika di Jakarta,
  3. Wanita Rukun Santoso di Malang,
  4. Maju Kemuliaan di Bandung,
  5. Isteri Sedar di Bandung, dll.


Pada orde lama, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang termasuk parpol komunis ini berisi wanita-wanita kelas menengah kebawah. Selain menunjukkan taringnya dalam gerakan organisasi, perempuan Indonesia pun bergerak secara individu di dunia politik, seperti Kartini Kartaradjasa dan Supeni. Berkat ketekunan kaum perempuan di dalam dunia politik, perempuan diperbolehkan masuk ke partai politik dan cukup diperhitungkan keberadaannya. Namun pada kenyataannya pengaruh perempuan dalam parlemen tidak memengaruhi perempuan Indonesia, buktinya dengan tidak difollow up-nya masalah poligami yang menjamur di masyarakat kala itu.

Pada orde baru, Gerwani dibubarkan karena menjadi propaganda negara perihal pemberantasan PKI. Tak hanya Gerwani, apapun organisasi dan gerakan perempuan yang menentang skema pembangunan jender penguasa dianggap komunis dan harus dibubarkan. Dengan kejadian ini, wadah perempuan berpolitik jadi berkurang. Organisasi perempuan yang dianggap tidak menentang akan dipertahankan namun menjadi organisasi fungsional, contohnya Perwari yang menjadi organisasi perkumpulan istri-istri pejabat yang bertujuan untuk menyejahterakan keluarga menengah keatas.

Orde ini menyebarkan konsep perempuan 3I (Istri, Ibu, dan Ibu Rumah Tangga) yang berkembang menjadi kodrat perempuan Indonesia. Hal ini sebagai kekerasan simbolik yang mengakibatkan wanita bergerak hanya seputar itu dan menjadikan wanita tidak bisa bergerak di luar 3I tersebut. Selain itu hal ini mengakibatkan perempuan hanya sebagai pendamping dan tidak memiliki jati diri sendiri melainkan hanya memiliki jati diri suami (Ibu Negara, Ibu Jenderal, dll).

Masa reformasi sebagai masa kebangkitan perempuan, karena sebelumnya apda masa orde baru wanita hanya dijadikan objek pembangunan terhadap kebijkaan-kebijakan. Namun ternyata jumlah anggota legislatif awal reformasi mengalami penurunan dari masa orde baru, hal ini mengakibatkan tidak menyurutkan semangat perempuan, bahkan perempuan menuntut adanya partisipatif terbuka untu para perempuan. Akhirnya terjadi peningkatan jumlah anggota legislatif, namun tidak merata karena tidak terpenuhinya kuota 30% keterwakilan perempuan (UU No. 10 Tahun 2008 pasal 52-58). Di masa reformasi ini berkembangnya budaya maskulinitas dan perebutan kekuasaan pada pejabat negara. Dan dominasi budaya patriarki pun masih berkembang dalam dunia politik bahkan bisa dibilang sudah mendarah daging. Sebesar apapun perjuangan peremouan untuk berdiri di politik jika beberapa kelompok perempuan masih menerima doktrin bahwa wanita hanya sebagai pedamping, perjuangan tersebut akan sia-sia.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.