ROHINGYA ANTARA KEPENTINGAN HAM DAN STABILITAS NEGARA

 

Depia Febiyola, Kaila Syafira Putri, Firly Amar


Sejarah Diskriminasi Rohingya di Myanmar

Rohingya, merupakan konflik etnis dan agama yang berujung pada tindakan diskriminasi terhadap etnis Rohingya yang dianggap melanggar hak asasi manusia, yang berujung pada pengusiran etnis Rohingya yang mendiami wilayah Rakhine, Myanmar yang berbatasan langsung dengan Bangladesh dikarenakan perbedaan etnis yang tinggal di Myanmar. Pemerintah Myanmar pun menolak mengakui keberadaan etnis Rohingya karena mereka bukan penduduk asli Myanmar. Pemerintah juga mengklasifikasikan etnis Rohingya sebagai imigran illegal, meskipun telah lama tinggal di Myanmar.

 

Pada Mei 2012, terjadi konflik antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhine yang bermula ketika beredar foto hasil forensik mengenai pembunuhan terhadap perempuan etnis Rakhine pada 28 Mei 2012 yang dilakukan oleh tiga pemuda etnis Rohingya yang membuat Para Biksu dan masyarakat etnis Rakhine membunuh etnis Rohingya, merusak tempat ibadah, mengakibatkan 140 ribu terusir dan 800 orang tidak mempunyai kewarganegaraan, 3000 bangunan rusak, dan hampir 60.000 orang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi ke Malaysia, Thailand dan Indonesia.

 

Menurut presiden Myanmar Jenderal Thein Sien kepada Komisioner Tertinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), satu-satunya solusi penyelesaian konflik di Arakan adalah mengusir seluruh etnis Rohingya ke luar Rakhine/Arakan. Dan setelah itu banyak warga etnis Rohingya yang berusaha melarikan diri dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter. Mereka berjalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi rusak, etnis Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan sehingga muncullah istilah Manusia Perahu.

 

Kebimbangan Pemerintah Antara Memprioritaskan HAM kepada Rohingya atau Sebaliknya

Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, menemui dilema kompleks terkait penanganan pengungsi Rohingya. Di satu sisi, ada instruksi dari Jokowi untuk Menkopolhukam dan pemerintah daerah menangani penolakan pengungsi Rohingya oleh sebagian masyarakat Aceh. Di sisi lain, terdapat klaim bahwa Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB, sehingga menampung pengungsi bukanlah kewajiban hukum, melainkan didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan.

 

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mohammad Mahfud MD, menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya dapat menolak kedatangan pengungsi Rohingya, tetapi pertimbangan kemanusiaan juga harus dipertimbangkan. Sejumlah pemerintah daerah diharapkan turut berpartisipasi dalam mencari solusi terkait penolakan yang disuarakan oleh sebagian warga Aceh.

 

Kepolisian Daerah Aceh bahkan menuduh UNHCR secara sengaja membiarkan pengungsi Rohingya menuju Indonesia. Seiring dengan itu, jumlah pengungsi Rohingya yang telah memasuki Indonesia terus bertambah, mencapai 1.487 orang per hari tersebut. Polemik ini mencuat karena Indonesia, meskipun tidak terikat Konvensi Pengungsi 1951, selama ini telah bertindak atas dasar kemanusiaan dalam menampung pengungsi. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban menampung pengungsi, namun berharap agar polemik penolakan dapat terselesaikan, memberikan kebaikan bagi semua pihak.

 

Dengan tuntutan dari sebagian warga lokal yang merasa pengungsi Rohingya telah menyalahgunakan kebaikan rakyat Indonesia, pemerintah dihadapkan pada dilema memutuskan antara memprioritaskan hak asasi manusia atau menanggapi kekhawatiran masyarakat lokal. UNHCR menyatakan kesiapannya untuk berkoordinasi dengan pemerintah dalam menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya, meskipun solusi konkret tidak dijelaskan dalam laporan tersebut.

 

Mengapa Indonesia Belum Menandatangani Perjanjian Pengungsi?

        ·         Pengertian Pengungsi

Pengungsi secara umum merujuk kepada individu atau kelompok orang yang terpaksa meninggalkan negara asalnya karena takut mengalami penindasan. Dalam konteks hukum internasional, Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mengatur definisi pengungsi. Menurut Konvensi 1951, pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang menghadapi ancaman serius atas dasar persekusi, seperti ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau opini politik. Mereka berada di luar negara asalnya, tidak dapat atau tidak mau mendapatkan perlindungan dari negara tersebut, atau individu tanpa kewarganegaraan yang tidak ingin atau tidak dapat kembali ke negara sebelumnya.

 

        ·         Konvensi 1951 dan Protokol 1967

Pada bulan Juli 1951, Konvensi Terkait Status Pengungsi disepakati melalui konferensi diplomatik di Jenewa. Sejak itu, satu-satunya perubahan yang terjadi adalah amandemen dalam bentuk Protokol 1967. Awalnya, Konvensi 1951 terfokus pada perlindungan pengungsi Eropa pasca-Perang Dunia Kedua. Dokumen tersebut mencakup frasa "peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951," yang umumnya diartikan sebagai "peristiwa di Eropa" sebelum tanggal tersebut. Protokol 1967, yang diadopsi pada 4 Oktober 1967, menghapus pembatasan geografis dan waktu tersebut, mengubah Konvensi menjadi instrumen hukum universal yang melindungi semua individu yang melarikan diri dari konflik dan penganiayaan.

 

        ·         Dasar Hukum Pengungsi di Indonesia

Hukum positif di Indonesia yang mengatur penanganan pengungsi dari luar negeri diatur oleh Pasal 3 Perpres 125/2016. Menurut ketentuan tersebut, penanganan pengungsi harus memperhatikan norma-norma internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Koordinasi penanganan pengungsi dilakukan oleh Menteri Polhukam, yang mencakup aspek penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian.

 

Pemberian suaka dan pengungsi di Indonesia diatur oleh Pasal 26 UU 37/1999, yang menekankan bahwa pemberian suaka kepada orang asing harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan memperhatikan norma hukum, kebiasaan, dan praktik internasional. Meskipun Indonesia memiliki regulasi terkait pengungsi, menurut informasi dari UNHCR, Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Lantas, mengapa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967?

 

        ·         Alasan Indonesia Tidak Meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi

Pertama, perlu dicatat bahwa jika Indonesia bergabung sebagai pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, negara ini akan diharuskan untuk mematuhi berbagai ketentuan yang tercantum di dalam Protokol 1967, seperti yang dijelaskan dalam pasal-pasal seperti Pasal 4 (kebebasan beragama), Pasal 17 (hak untuk bekerja dan menerima upah), Pasal 21 (hak untuk memiliki rumah), Pasal 22 (hak untuk mendapatkan pendidikan), dan lain sebagainya. Dalam konteks yuridis, beberapa pasal dalam konvensi dianggap sulit untuk dilaksanakan oleh Indonesia. Sebagai contoh, Pasal 17 Konvensi 1951 menetapkan bahwa negara pihak harus memberikan pekerjaan kepada pengungsi, yang menjadi permasalahan bagi Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi.

 

Selain itu, Pasal 21 Konvensi 1951 menyebutkan tentang kewajiban memberikan tempat tinggal bagi pengungsi, yang bisa menjadi tantangan di Indonesia yang masih memiliki tingkat kemiskinan yang signifikan. Selain itu, beberapa ketentuan dari Pasal 22 dan Pasal 4 Konvensi 1951, jika diterapkan, dapat berpotensi menciptakan ketidaksetaraan di antara masyarakat Indonesia. Secara keseluruhan, alasan Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dapat disimpulkan karena pertimbangan kepentingan nasional yang sulit tercapai jika konvensi tersebut diadopsi. Kedua, prinsip non-intervensi dan kesepakatan negara dalam hukum internasional memberikan kebebasan kepada setiap negara untuk menentukan urusan dalam negerinya tanpa campur tangan dari pihak luar.

 

Selain itu, tidak adanya badan supranasional dalam hukum internasional yang memiliki otoritas untuk membuat dan menegakkan aturan internasional juga menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan Indonesia. Meskipun demikian, semua negara, termasuk yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tetap diwajibkan untuk menghormati standar perlindungan pengungsi yang telah diakui secara internasional. Norma ini telah menjadi bagian dari hukum internasional umum dan tidak dapat diabaikan oleh negara manapun, karena dianggap sebagai jus cogens (norma hukum internasional umum yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan).

 

Sikap Indonesia terhadap Pengungsi Rohingya

Sebagaimana disampaikan dalam artikel "Pengungsi Rohingya Dipermasalahkan, PAHAM FH Unpad Ingatkan Mandat UUD 1945," menurut Atip Latipulhayat, seorang Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Padjadjaran, pemerintah Indonesia diharapkan untuk menangani isu pengungsi Rohingya dengan mematuhi prinsip kemanusiaan, norma-norma hukum internasional, serta mengacu pada Perpres 125/2016. Dia juga menyoroti bahwa Indonesia, berdasarkan ideologi Pancasila yang mendasarinya pada semangat kemanusiaan, seharusnya turut berperan dalam penanganan masalah tersebut.

 

Walaupun demikian, Hikmahanto Juwana, seorang Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa dalam mengatasi isu pengungsi Rohingya, pemerintah Indonesia perlu memberikan prioritas pada pertimbangan kepentingan nasional. Selain itu, diperlukan kejelasan sikap terkait pembatasan jumlah pengungsi yang dapat ditampung dan lamanya masa tinggal sementara. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang disajikan dalam tulisan yang berjudul "Profesor Hukum Internasional UI Koreksi PAHAM FH Unpad Soal Pengungsi Rohingya."

 

REFERENSI

Samuel Tunggul Jovano dan Cornelius Agatha Gea. Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 3, 2021, hal. 362

The 1951 Refugee Convention. (n.d.). UNHCR. Retrieved January 15, 2024, from https://www.unhcr.org/about-unhcr/who-we-are/1951-refugee-convention

Apakah Indonesia Wajib Melindungi Pengungsi Rohingya? (2023, December 7). Hukumonline. Retrieved January 15, 2024, from https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-indonesia-wajib-melindungi-pengungs i-rohingya-lt6571bcf11ec52#_ftn8

Jokowi minta Menkopolhukam tuntaskan soal penolakan pengungsi Rohingya. (2023, December 4). Benar News. Retrieved January 15, 2024, from https://www.benarnews.org/indonesian/berita/jokowi-minta-mahfud-tutaskan-kasus-p engungsi-rohingya-12042023115750.html

Pengungsi Rohingya Dipermasalahkan, PAHAM FH Unpad Ingatkan Mandat UUD 1945. (2023, November 26). Hukumonline. Retrieved January 15, 2024, from https://www.hukumonline.com/berita/a/pengungsi-rohingya-dipermasalahkan--paham -fh-unpad-ingatkan-mandat-uud-1945-lt6564153884ede/?page=all?utm_source=webs ite&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pengungsi_rohingya_diperm asalahka

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.