Hari Keluarga Berencana Nasional KB dan Childfree : Buah Simalakama bagi Negara?


Fadylah Annisa, Ghazy Aldifa

Red Soldier, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta

 

Sejarah Hari Keluarga Berencana

Hari Keluarga Berencana atau yang biasa dikenal dengan Hari Keluarga Nasional merupakan peringatan yang diadakan setiap tanggal 29 Juni sebagai sebuah pengingat bagi bangsa Indonesia akan pentingnya keluarga sebagai sumber kekuatan dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. Kondisi Indonesia pasca kemerdekaan 17 agustus 1945 yang masih kacau terutama dibidang ekonomi, sosial, dan budaya menjadi awal dari terciptanya hari peringatan keluarga berencana. Perjuangan para pahlawan untuk Indonesia dengan mengorbankan harta, nyawa dan keluarganya pasca kemerdekaan masih berlanjut hingga pada tanggal 22 Juni 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan sepenuhnya pada Indonesia. Seminggu setelah penyerahan kedaulatan Indonesia yaitu tanggal 29 Juni 1949, terdapat momen mengharukan dimana para pejuang yang masih bertahan saat itu dapat pulang dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Tanggal 29 Juni juga menjadi puncak kristalisasi dari program Keluarga Berencana (KB) pada tahun 1970. Momen-momen yang terjadi pada tanggal 29 Juni tersebut kemudian menjadikan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional/ Hari Keluarga Berencana atas gagasan Prof. Dr. Haryono Suryono, Ketua Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional, dan dicanangkan pada 29 Juni 1992 di Provinsi Lampung oleh Soeharto yang saat itu menjabat sebagai presiden RI. Namun, Hari Keluarga Nasional baru secara resmi mendapatkan legalitasnya pada tanggal 15 September 2014 lewat Keputusan Presiden RI No. 39 Tahun 2014.

 

Setelah kemerdekaan Indonesia, ledakan penduduk kemudian terjadi secara besar-besaran. Berdasarkan sumber BPS (Badan Pusat Statistik), Indonesia mengalami peningkatan penduduk pasca kemerdekaan yaitu 60,7 juta penduduk tahun 1930 menjadi 97,1 juta pada tahun 1961 lalu berkembang pesat menjadi 118,2 juta hanya dalam kurun waktu 10 tahun yaitu sampai tahun 1971. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Indonesia pada tahun 1930-1962 mengalami peningkatan sebesar 2,15% lalu mengalami penurunan sebesar 2,13% pada tahun 1971, namun kembali mengalami peningkatan sebesar 2,33 % pada tahun 1971-1980. Dengan adanya peningkatan penduduk yang disertai dengan tingginya angka kematian ibu dan bayi, para ahli kandungan merintis program KB (Keluarga Berencana) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 1950an dan berhasil mendapatkan dukungan dari Presiden Soeharto secara resmi sebagai program nasional pada 29 Juni 1970 yang bertepatan dengan dibentuknya Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

 

Keberhasilan KB di Era Soeharto

Di tahun 1980, jumlah penduduk Indonesia yang tercatat dalam sensus penduduk meningkat sebanyak 147 juta dan terus bertambah hingga 179 juta pada tahun 1990. Peningkatan jumlah penduduk yang drastis ini memicu kekhawatiran pemerintah orde baru akan kemiskinan. Untuk menghindari hal itu, pemerintah orde baru mulai mewajibkan program KB (Keluarga Berencana) yang sesuai dengan konsep trilogi pembangunan, yaitu dengan adanya kontrol kelahiran, negara dapat lebih fokus pada rakyatnya dan dapat mencapai kesejahteraan sosial.

 

Menjadi satu-satunya presiden Indonesia yang memasukkan program KB sebagai program pembangunan, Soeharto gencar melakukan sosialisasi program KB di stasiun TV milik pemerintah, TVRI dengan slogan “Cukup Dua Anak Saja dan mengirimkan ratusan mobil pelayanan KB ke desa-desa. Dalam menjalankan program KB, Soeharto mengikutsertakan tokoh masyarakat dan organisasi perempuan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Selain itu, Soeharto juga merangkul tokoh-tokoh agama pada saat itu sebagai counter dari pemahaman anti KB yang dikaitkan dengan agama. Program KB pada era Soeharto sukses menurunkan Laju Pertumbuhan Penduduk pada level 1,97% di tahun 1980-1990 dan level 1,44% pada tahun 1990-2000. Kesuksesan Program KB pada era Soeharto banyak mendapat apresiasi dan menguat menjadi sebuah gerakan masyarakat dalam membangun keluarga sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang mendapat penghargaan sebagai ‘Pemberdayaan keluarga dalam masyarakat yang sesuai dengan landasan hukum yang benar ‘dalam Konferensi Kependudukan di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Sebelum itu, keberhasilan program KB pada era Soeharto juga telah mendapat apresiasi dari negara lain, seperti pada pertemuan Lembaga Kependudukan Independen di Washington DC, Amerika Serikat dengan kategori penghargaan dari The Population Institute sebagai Global Statesman in Population Award pada 2 Desember 1988 dan penghargaan dari PBB sebagai United Nations Population Award pada 8 Juni 1989.

 

Fenomena Childfree dan Dampaknya terhadap Negara

Childfree merupakan keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka. Alasan yang mendasari keputusan ini bermacam-macam, mulai dari faktor ekonomi, pekerjaan, kesehatan, lingkungan, hingga preferensi pribadi. Fenomena childfree bukanlah konsep yang baru di Indonesia, namun baru menjadi topik yang hangat diperbincangkan di media sosial belakangan ini.

 

Fenomena childfree dapat dilihat sebagai salah satu bentuk perubahan sosial yang terjadi akibat modernisasi dan globalisasi. Modernisasi dan globalisasi membawa dampak pada nilai-nilai, norma-norma, dan pola-pola perilaku masyarakat, termasuk dalam hal keluarga dan reproduksi. Beberapa dampak yang dapat diamati adalah:


  1. Meningkatnya kesadaran dan akses terhadap alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi, sehingga pasangan dapat lebih mudah mengatur jumlah dan jarak kelahiran anak.
  2. Meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan pekerjaan, sehingga perempuan memiliki lebih banyak pilihan selain menjadi ibu rumah tangga.
  3. Meningkatnya mobilitas sosial dan geografis, sehingga pasangan dapat lebih leluasa memilih tempat tinggal dan gaya hidup yang sesuai dengan keinginan mereka.
  4. Meningkatnya kesadaran dan kepedulian terhadap isu-isu lingkungan, seperti pemanasan global, polusi, dan keterbatasan sumber daya alam, sehingga pasangan merasa bertanggung jawab untuk mengurangi jejak karbon mereka dengan tidak memiliki anak.

 

Dampak fenomena childfree terhadap negara dapat berupa positif atau negatif, tergantung pada sudut pandang dan konteksnya. Beberapa dampak yang mungkin terjadi adalah:

 

1)      Positif: Fenomena childfree dapat mengurangi beban negara dalam hal pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak-anak, terutama di negara-negara berkembang yang masih menghadapi masalah kemiskinan, kelaparan, dan penyakit. Fenomena childfree juga dapat meningkatkan produktivitas dan kreativitas pasangan yang lebih fokus pada karir dan pengembangan diri mereka.

 

2)      Negatif: Fenomena childfree dapat menurunkan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk, sehingga menyebabkan penuaan penduduk dan penurunan tenaga kerja di masa depan. Fenomena childfree juga dapat mengancam kelangsungan budaya dan tradisi masyarakat yang menghargai nilai-nilai kekeluargaan dan keturunan.

 

Contoh negara yang mengalami dampak negatif dari fenomena childfree adalah Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara ini memiliki angka kelahiran yang sangat rendah, yaitu 0.84 anak per wanita di Korea Selatan pada tahun 2020 dan 1.36 anak per wanita di Jepang pada tahun 2019. Akibatnya, kedua negara ini menghadapi masalah penuaan penduduk yang cepat, penurunan tenaga kerja yang produktif, peningkatan beban sosial untuk merawat orang tua yang lanjut usia, serta ancaman kepunahan etnis dan budaya mereka.

 

Childfree Hantui Indonesia Wapres Sarankan Nikah Muda

Menyikapi fenomena childfree yang mulai berkembang di Indonesia, Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan saran yang kontroversial agar generasi muda Indonesia segera menikah dan memiliki anak. Menurutnya, menikah muda dapat membantu mengatasi masalah penurunan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang berpotensi menghambat pembangunan nasional.

 

“Kita harus mengantisipasi penurunan angka kelahiran. Karena itu, saya sarankan kepada generasi muda untuk menikah muda. Jangan menunda-nunda menikah. Jangan juga menunda-nunda punya anak,” kata Wapres Ma’ruf dalam acara peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-28 yang digelar pada 29 Juni 2021.

 

Wapres Ma’ruf juga mengatakan bahwa menikah muda dapat memberikan manfaat bagi kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, dan keharmonisan rumah tangga. Ia mencontohkan dirinya sendiri yang menikah pada usia 19 tahun dan memiliki lima anak, 18 cucu, dan 10 cicit.

 

“Menikah muda itu baik. Saya sendiri menikah muda. Alhamdulillah, saya sehat-sehat saja sampai sekarang. Keluarga saya juga sejahtera dan harmonis. Saya bangga dengan anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit saya,” ujarnya.

 

Saran Wapres Ma’ruf ini mendapat banyak kritik dan penolakan dari masyarakat, terutama dari kalangan perempuan dan pasangan yang memilih childfree. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh mereka yang tidak setuju adalah:

 

1)  Menikah muda bukanlah solusi untuk mengatasi penurunan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk, melainkan justru dapat menimbulkan masalah baru seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, dan kesehatan reproduksi yang buruk.

2)      Menikah muda adalah keputusan pribadi yang tidak bisa dipaksakan oleh negara atau orang lain. Setiap orang memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa mereka ingin menikah, serta berapa banyak anak yang mereka inginkan.

3)      Menikah muda tidak menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pernikahan dan keluarga, seperti komunikasi, komitmen, cinta, kesetaraan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan.

4)      Menikah muda mengabaikan aspirasi dan potensi perempuan dalam bidang lain selain menjadi ibu rumah tangga. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan diri dalam dunia pendidikan dan pekerjaan, serta berkontribusi bagi pembangunan nasional.

 

Saran Wapres Ma’ruf ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk patriarki dan paternalisme yang masih kuat di Indonesia. Patriarki adalah sistem sosial yang memberikan kekuasaan dan otoritas lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Paternalisme adalah sikap atau tindakan yang menganggap bahwa seseorang atau kelompok lebih tahu apa yang baik bagi orang atau kelompok lain, sehingga berhak untuk mengatur atau mengintervensi keputusan mereka.

 

Saran Wapres Ma’ruf ini mencerminkan bahwa negara masih menganggap bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki dan tidak memiliki otonomi atas tubuh dan hidup mereka sendiri. Negara juga masih menganggap bahwa perempuan hanya berperan sebagai ibu dan pengasuh anak, serta tidak menghargai kontribusi perempuan dalam bidang lain. Negara juga masih menganggap bahwa negara lebih tahu apa yang baik bagi warga negaranya, sehingga berhak untuk mengatur atau mengintervensi keputusan pribadi mereka dalam hal reproduksi.

 

REFERENSI

Badan Pusat Statistik. (n.d.). Sensus Penduduk 2020 - Badan Pusat Statistik. Sensus BPS. Retrieved June 26, 2023, from https://sensus.bps.go.id/main/index/sp2020

BBC News Indonesia. (2023, Februari 18). Polemik childfree: ‘Bagaimana kamu bisa berasumsi hidup saya tidak berarti karena saya tidak punya anak?’- Pengakuan para pasutri yang memutuskan childfree di Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpd44eykx5eo

Berita Hari Ini. (2021, June 29). Sejarah Hari Keluarga Berencana Nasional yang Diperingati Setiap 29 Juni. Kumparan. Retrieved June 26, 2023, from https://kumparan.com/berita-hari-ini/sejarah-hari-keluarga-berencana-nasional-yang-d iperingati-setiap-29-juni-1w1xs6FkIl8

Berita Terkini. (2022, September 21). Berapa Juta Penduduk Indonesia dari Tahun ke Tahun? Kumparan. Retrieved June 26, 2023, from https://kumparan.com/berita-terkini/berapa-juta-penduduk-indonesia-dari-tahun-ke-ta hun-1yu7atT20i2

CNBC Indonesia. (2023, Februari 12). Awal Mula Childfree: Masif di Barat, Mulai Ditiru di RI. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20230211210404-33-413020/awal-mula-chil dfree-masif-di-barat-mulai-ditiru-di-ri

EpaperMI. (2021, September 2). Fenomena Childfree di Indonesia. https://epaper.mediaindonesia.com/detail/fenomena-childfree-di-indonesia

Fallahnda, B. (2020, June 29). Sejarah Hari Keluarga Berencana Nasional: Diperingati Tiap 29 Juni. Tirto.ID. Retrieved June 26, 2023, from https://tirto.id/sejarah-hari-keluarga-berencana-nasional-diperingati-tiap-29-juni-fLLw

Farisa, F. C. (2022, February 19). Profil Presiden Soeharto, Bapak Pembangunan yang 32 Tahun Berkuasa. Kompas.com. Retrieved June 26, 2023, from https://nasional.kompas.com/read/2022/02/19/06500071/profil-presiden-soeharto-bap ak-pembangunan-yang-32-tahun-berkuasa

Gramedia. (n.d.). Memahami Istilah Childfree & Penyebab Pasangan Tak Ingin Memiliki Anak. https://www.gramedia.com/best-seller/istilah-childfree/

Husodo, P. T. (2020, February 19). Indonesia.go.id - Berlipat Ganda dalam Sembilan Dasawarsa. Portal Informasi Indonesia. Retrieved June 26, 2023, from https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/berlipat-ganda-d alam-sembilan-dasawarsa

Matanasi, P. (2019, June 22). Sejarah KB dan Ide Dua Anak Cukup dari Era Sukarno sampai Soeharto. Tirto.ID. Retrieved June 26, 2023, from https://tirto.id/sejarah-kb-dan-ide-dua-anak-cukup-dari-era-sukarno-sampai-soeharto-ecJj

Muhammad, E. (2023, June 14). Sejarah Program KB Zaman Orde Baru, Ada Peran Ulama. Harapan Rakyat. Retrieved June 23, 2023, from https://www.harapanrakyat.com/2023/06/sejarah-program-kb-zaman-orde-baru-ada-p eran-ulama/

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. (2014, June 20). Ini Kenapa Program KB Berhasil di Zaman Soeharto dan Sekarang Diabaikan – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. CPPS UGM. Retrieved June 26, 2023, from https://cpps.ugm.ac.id/ini-kenapa-program-kb-berhasil-di-zaman-soeharto-dan-sekara ng-diabaikan/

TA, N. (2019, January 28). Era Pak Harto Program KB Sukses Besar. Indonesiainside.id. Retrieved June 26, 2023, from https://indonesiainside.id/news/humaniora/2019/01/28/era-pak-harto-program-kb-suks es-besar

Wij/Dnl. (2014, June 18). Ini Kenapa Program KB Berhasil di Zaman Soeharto dan Sekarang Diabaikan. Detik Finance. Retrieved June 26, 2023, from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2611607/ini-kenapa-program-kb-be rhasil-di-zaman-soeharto-dan-sekarang-diabaikan

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.