Hari Lahir Pancasila
Oleh :
Depia Febiyola, Muhammad Khaedar Ali
Red Soldier, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Sejarah Singkat dan Makna Lahirnya Pancasila
Tanggal 1 Juni merupakan salah satu hari penting dalam kalender bangsa Indonesia.
Pasalnya, di tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Pemilihan tanggal 1 Juni
sebagai Hari Lahir Pancasila merujuk pada momen BPUPKI dalam merumuskan dasar negara
Republik Indonesia. BPUPKI sendiri merupakan kependekan dari Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Badan ini menggelar sidang pertamanya pada tanggal 29
Mei hingga 1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut, anggota BPUPKI membahas mengenai dasardasar Indonesia merdeka. Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan
gagasan dasar negara berisikan 5 sila yang diberi nama Pancasila. Akhirnya, dalam sidang
tersebut gagasan dari Ir. Soekarno diterima oleh para anggota BPUPKI. Untuk
menyempurnakan rumusan Pancasila dan membuat Undang-Undang Dasar yang berlandaskan
kelima asas tersebut, maka Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk sebuah panitia yang disebut
sebagai panitia Sembilan. Setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya
dapat disahkan pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pada sidang tersebut, disetujui
bahwa Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar
negara Indonesia yang sah.
Pancasila memiliki makna sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan
perwujudan dari nilai-nilai budaya milik bangsa sendiri yang diyakini kebenarannya. Pancasila
digali dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang berabad-abad lamanya.
Oleh karena itu, Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak keberadaannya sebagai
sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama yang terkandung dalam adatistiadat, kebudayaan, dan agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian, Pancasila sebagai
pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
1. Pancasila Masa Pemerintahan Orde Lama
Pancasila dicetuskan dan ditetapkan sebagai dasar negara dengan tujuan menjadi
alat pemersatu serta pedoman negara Republik Indonesia. Namun, sebagian pihak
meyakini rezim demi rezim menyalahgunakan Pancasila sebagai alat kekuasaan. Di masa
Pemerintahan Orde Lama yaitu Demokrasi Terpimpin, Sukarno mencetuskan konsep
Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Ia berupaya merangkul kelompok komunis yang
selama periode 1950-an kerap tidak diajak kelompok nasionalis dan agamis dalam
pembentukan kabinet parlementer padahal memiliki suara keempat terbanyak di DPR.
Konsep Nasakom tersebut merupakan awal membawa Pancasila sebagai alat politik.
Semua seolah dipaksa setuju, padahal kala itu pertentangan kelompok agamis dengan
komunis sudah sangat kental di berbagai lapisan masyarakat.
Selain itu, kepemimpinan berada pada kekuasaan pribadi Presiden Soekarno
melalui ‘Dekrit Presiden’. Oleh karena itu, terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran
terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya, Presiden Soekarno menjadi presiden yang
otoriter, mengangkat dirinya menjadi presiden dengan masa jabatan seumur hidup
2. Pancasila Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada masa Pemerintahan Orde Baru pancasila dijadikan sebagai alat politik oleh
penguasa. Pada awalnya Pemerintahan Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil memberantas paham komunis di
Indonesia. Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan. Beberapa
tahun kemudian, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa
Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah sehingga
tertutup bagi tafsiran lain. Pancasila justru dijadikan sebagai indoktrinasi. Presiden
Soeharto menggunakan Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada
beberapa metode yang digunakan dalam indoktrinasi Pancasila.
Pertama, melalui ajaran P4 yang dilakukan di sekolah-sekolah melalui
pembekalan. Kedua, Presiden Soeharto membolehkan rakyat untuk membentuk
organisasi-organisasi dengan syarat harus berasaskan Pancasila, atau yang disebut sebagai
asas tunggal. Ketiga, Presiden Soeharto melarang adanya kritikan-kritikan yang dapat
menjatuhkan pemerintah dengan alasan stabilitas, karena Presiden Soeharto beranggapan
bahwa kritikan terhadap pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di dalam negeri. Oleh
karena itu, untuk menjaga stabilitas negara, Presiden Soeharto menggunakan kekuatan
militer sehingga tidak ada pihak-pihak yang berani untuk mengkritik pemerintah. Dalam
sistem pemerintahannya,
Presiden Soeharto melakukan beberapa penyelewengan dalam penerapan
Pancasila, yaitu dengan diterapkannya demokrasi sentralistik, demokrasi yang berpusat
pada pemerintah. Selain itu, Presiden Soeharto juga memegang kendali terhadap lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga peraturan yang dibuat harus sesuai dengan
persetujuannya. Maka, Presiden Soeharto membentuk Departemen Penerangan sebagai
lembaga sensor secara besar-besaran agar setiap berita yang dimuat di media tidak ada
menjatuhkan pemerintah.
Penyelewengan lainnya yang sangat buruk dan menyimpang dari nilai nilai luhur
Pancasila adalah bahwa Presiden Soeharto melanggengkan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) sehingga pada masa ini dikenal sebagai rezim terkorup di Indonesia.
Puncaknya adalah saat terjadinya krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997 yang
menyebabkan perekonomian Indonesia anjlok sehingga memicu gerakan besar-besaran
untuk menggulingkan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Selama rezim Orde Baru berkuasa, terdapat beberapa tindakan penguasa yang melenceng
dari nilai-nilai luhur Pancasila, antara lain yaitu:
- Melanggengkan Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
- Terjadi penafsiran sepihak terhadap Pancasila melalui program P4.
- Adanya penindasan ideologis sehingga orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif dan kritis menjadi takut bersuara.
- Adanya penindasan secara fisik, seperti pembunuhan di Timor Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus di Tanjung Priok, kasus pengrusakan pada 27 Juli, dan lain sebagainya.
- Perlakuan diskriminasi oleh negara terhadap masyarakat non pribumi (keturunan) dan golongan minoritas
3. Pancasila Era Reformasi
Era Reformasi yang diharapkan sebagai era pembaruan memberikan angin segar
bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia diharapkan kembali mengamalkan nilai-nilai
luhur Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, faktanya justru
pada Era Reformasi ini bangsa Indonesia dirasakan semakin jauh dari nilai-nilai luhur
Pancasila. Pada Era Reformasi tidaklah jauh berbeda dengan Pancasila pada masa Orde
Lama dan Orde Baru, yaitu tetap ada tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu adalah
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang sampai hari ini tidak ada habisnya. Pada
masa ini, korupsi benar-benar merajalela. Selain itu, globalisasi menjadi tantangan
tersendiri bagi bangsa Indonesia karena semakin lama ideologi Pancasila semakin tergerus
oleh liberalisme dan kapitalisme. Apalagi tantangan pada saat ini bersifat terbuka, bebas,
dan nyata. Rakyat Indonesia mengalami degradasi moral dan cenderung liberalis karena
pengaruh globalisasi.
Pada awal reformasi 1998, para pemimpin menghindari pembicaraan Pancasila.
Mulai dari B.J. Habibie hingga Megawati jarang tampil untuk menyuarakan nilai-nilai
Pancasila dan penerapannya. Dugaan itu dikuatkan lagi oleh pidato Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 Juni 2006. SBY mengakui pembahasan Pancasila
mulai luput dari ruang publik sejak Orde Baru runtuh.
"Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain, Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis," ucap SBY.
4. Pancasila Era Joko Widodo
Pancasila kembali sering didengungkan pada masa pemerintahan Joko Widodo.
Pada 2016, Jokowi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila lewat Keputusan
Presiden Nomor 24 tahun 2016. Hari Lahir Pancasila 1 Juni juga ditetapkan sebagai hari
libur nasional.
Selain itu, Jokowi juga membentuk Badan Ideologi Pembina Pancasila (BPIP)
pada 28 Februari 2018. Badan itu sah terbentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai landasan.
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai ada kecenderungan penyalahgunaan
Pancasila sebagai alat politik di berbagai era. Dia berpendapat kecenderungan itu juga
terjadi di era pemerintahan Joko Widodo.
Pendapat serupa juga disampaikan pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi.
Dia berpendapat ada kecenderungan Pancasila digunakan sebagai alat penghakiman tetapi
bukan di pengadilan. Asrinaldi melihat penghakiman itu dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang keras mengkritik pemerintah. Lebih khusus, terhadap kelompok beraliran
Islam. "Saya pikir itu jadi justifikasi ya bahwa ini dianggap tidak Pancasilais. Dikait-kaitkan ke sana. Sebenarnya kalau kita lihat ada label Islam garis keras, radikalisme, barang
kali tidak sesuai Pancasila, tapi kalau hanya kesadaran mereka menjalankan agama kan
dijamin Pancasila," ucap Asrinaldi.
Stop Benturkan Agama dengan Pancasila
Indonesia dibuat gusar oleh pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
atau BPIP Yudian Wahyudi yang menyebut agama merupakan musuh terbesar Pancasila.
Kegusaran rakyat bisa dipahami mengingat pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan
instabilitas dalam kehidupan masyarakat. Sangat disayangkan lantaran pernyataan
kontroversial tersebut terlontar dari pejabat negara yang digaji dari pajak rakyat.
Pernyataan ini selayaknya tidak keluar dari kepala BPIP yang secara prinsip bertugas
mengarusutamakan semangat persatuan sebagai satu di antara sila Pancasila. Mengatakan
agama sebagai musuh terbesar Pancasila jelas adalah pernyataan yang sesat. Sejatinya tidak
ada pertentangan apa pun antara agama dan Pancasila. Tidak ada satupun butir-butir
Pancasila yang bertentangan dengan ajaran agama apa pun. Pancasila senafas dan sejalan
dengan agama karena lima silanya dapat ditemukan di kitab suci agama-agama yang diakui
secara konstitusional.
Jika membaca lagi sejarah, Pancasila merupakan kesepakatan dari para pendiri
bangsa, termasuk para ulama dan umara. Dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang
lebih besar, para tokoh agama menerima keputusan kalangan umara untuk menghapus tujuh
kata dalam piagam Jakarta: Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi PemelukPemeluknya . Dan, menggantinya dengan kata: Yang Maha Esa, yang memiliki makna
universal bagi seluruh agama. Pertimbangan itu dilakukan untuk mengeratkan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang
menunjukkan eksistensi agama berpengaruh besar dalam Pancasila. Memaknainya tak
sekadar hormat-menghormati antara pemeluk beragama, namun juga sebagai dasar yang
memimpin sila lainnya. Wakil Presiden Moh Hatta yang juga founding father negara ini
mengatakan: Kelima sila dalam Pancasila saling mengikat. Kedudukan manusia sebagai
makhluk Tuhan satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula , sila
kemanusiaan yang adil dan beradab langsung terletak di bawah sila pertama.
Oknum-oknum pejabat negara tak perlu melakukan stigmatisasi dan tindakan
persekusi terhadap apa yang disebut sebagai kelompok anti-Pancasila, anti kebhinekaan,
dan intoleran. Apabila hal itu terus dilakukan, dikhawatirkan akan tertanam kebencian
sesama anak bangsa. Ditambah lagi dengan narasi dan slogan yang berpotensi membuat
tembok pemisah antar anak bangsa seperti slogan: "Saya Indonesia, saya Pancasila" yang
digaungkan oleh kelompok tertentu. Akan lebih bijak jika apa yang disebut sebagai
kelompok anti-Pancasila itu diberikan kesempatan untuk membuktikan di muka hukum
apakah memang benar kelompok tertentu ini anti-Pancasila. Selain lebih bijak, langkah
tersebut tentu lebih terhormat sesuai asas hukum due process of law dibandingkan dengan
melakukan stigmatisasi dan persekusi.
Dalam klasifikasinya, ketua BPIP menjelaskan konteks pernyataannya karena
Pancasila kerap dihadap-hadapkan dengan agama oleh pihak tertentu yang memiliki
pemahaman sempit dan ekstrem. Dia menyoroti orang-orang tertentu yang kerap
mempertentangkan Pancasila dan agama. Dia menilai pihak tertentu itu kerap mengklaim
mewakili pandangan mayoritas meski sebenarnya tidak. Fakta bahwa ada perilaku sebagian
kecil umat beragama dari kelompok atau aliran tertentu yang tidak sejalan dengan Pancasila
tentu harus mendapat catatan dan perhatian khusus. Melakukan generalisasi dengan
menjadikan agama sebagai subjek tertuduh jelas merupakan sebuah pernyataan yang
berbahaya. Sebagai seorang pejabat negara, kepala BPIP seharusnya melakukan
komunikasi publik yang konstruktif. Jika tidak sanggup, lebih baik mengundurkan diri.
Presiden Joko Widodo perlu melakukan evaluasi.
Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan kegusaran masyarakat akan beresonansi secara
luas. Hal ini tidak boleh terjadi karena akan menimbulkan disharmonisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Masyarakat yang kerap disebut kelompok radikal, intoleran, dan
anti keberagaman tak perlu berkecil hati. Karena, Pancasila sejatinya adalah perasan murni
dari ajaran agama, dan harus dipegang teguh secara konsisten dalam rangka menghindari
kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang dengan sengaja memanfaatkan Pancasila
sebagai senjata untuk menyerang masyarakat yang lain. Agama akan selalu berdampingan
dengan Pancasila. Justru yang patut diwaspadai adalah kelompok-kelompok yang kerap
menggunakan Pancasila sebagai alat untuk mencapai tujuannya dengan segala cara dan
jargon kebhinekaan, toleransi, dan keberagaman.
Pancasila Kerap digunakan sebagai Alat Politik
Jika kita menelisik pada tahun 2020 ada pernyataan Ketua Bidang Politik dan
Keamanan PDIP Puan Maharani soal Sumatera Barat dan Pancasila bergulir bak bola salju.
Hubungan PDIP dan Sumbar kembali menjadi sorotan setelah pernyataan Ketua DPP PDI
Perjuangan Puan Maharani yang mengaitkan lemahnya dukungan terhadap PDIP di
Sumbar dengan Pancasila, "Semoga Sumatera Barat bisa menjadi provinsi yang memang
mendukung negara Pancasila," kata Puan.
Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI Bambang Purwanto menyayangkan
pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Puan Maharani yang berharap
Sumatera Barat mendukung negara Pancasila. Bambang menilai ucapan Puan menjadi
bukti bahwa Pancasila hanya dipakai PDIP sebagai alat untuk menakuti lawan politiknya.
"Pernyataan ini sebenarnya sebagai bukti bahwa Pancasila rentan digunakan sebagai alat
untuk menekan atau menakut-nakuti masyarakat atau lawan politik," kata Bambang.
Partai Gerindra turut berkomentar mengenai pernyataan Ketua DPP PDIP Puan Maharani
yang menyinggung warga Sumatera Barat harus mendukung negara Pancasila. Pernyataan
putri Ketua Umum PDIP itu langsung memicu kontroversi di tengah masyarakat.
Menanggapi hal itu, Ketua DPD Partai Gerindra Sumbar Andre Rosiade menegaskan,
rakyat Sumbar sangat Pancasilais. Sebab, banyak tokoh pergerakan kemerdekaan bangsa
Indonesia yang lahir dari tanah Minang. Dengan demikian, kata Andre, Sumbar adalah
provinsi yang sangat mendukung negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila. "Saya
sebagai orang yang lahir dan besar dan menjadi anggota DPR RI mewakili Sumbar ingin
menegaskan bahwa Sumbar itu provinsi yang pancasilais. Orang Minang sangat
pancasilais. Bagi kami pancasila UUD 1945 dan juga NKRI sudah final, Lalu saya ingin
mengingatkan Mbak Puan ya. Ada tim 9 ya yang membantu merumuskan kalimat kalimat
Pancasila dari panitia itu 3 orang berasal dari Minang. Bung Hatta, Bung Yamin dan Haji
Agus Salim" kata Andre.
Survei tentang Pancasila
1. Hanya 64,6 persen publik yang mengetahui semua sila Pancasila.
Demikian salah satu temuan survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk ‘Sikap Publik terhadap Pancasila dalam rangka Konsolidasi Sistem Politik Indonesia’ yang dirilis di Taman Renungan Bung Karno, Kabupaten Ende, pada Rabu (1/6/2022). Hasil penelitian yang dipresentasikan pendiri SMRC, Saiful Mujani, itu menunjukkan sebanyak 64,6 persen warga yang bisa menyebutkan dengan benar semua sila dalam Pancasila. Saiful menjelaskan, angka 50 persen atau lebih rendah masuk kategori rendah, 51-75 persen sedang, 76-90 persen tinggi, dan di atas 90 persen sangat tinggi. Sementara, ada 10,2 persen yang benar menyebutkan empat sila, 5,1 persen tiga sila, serta 3,9 persen dua dan satu sila. Di samping itu, masih ada 12,3 persen publik yang tidak bisa menyebutkan dengan benar satu pun sila.
2. 81,4 % Umat Muslim Anggap Pancasila- Agama Sama Penting
Lembaga Survei Parameter Politik Indonesia menggelar survei tentang Wajah Islam Politik Pasca-Pemilu 2019. Survei berkaitan dengan persepsi responden terhadap agama dan Pancasila serta bentuk negara ideal. Responden diberikan pilihan pernyataan 'agama lebih penting dari Pancasila', 'agama dan Pancasila sama pentingnya', serta 'Pancasila lebih penting dari agama' Selain itu "Mayoritas responden yang kebetulan adalah mayoritas pemilih muslim di Indonesia itu menyatakan 81,4 persen mengatakan bahwa Pancasila dan agama sama-sama penting, nggak perlu diadu-adu, nggak perlu dibentur-benturkan, Rata-rata jawaban responden itu jawabannya moderat, NKRI adalah bentuk negara yang paling ideal dengan berasaskan Pancasila dengan menyertakan nilai-nilai agama di dalamnya, tapi tidak perlu diformalkan. Responden juga diberi pertanyaan soal bentuk negara yang paling ideal untuk Indonesia. Hasilnya, 62 persen responden menilai NKRI yang berasas Pancasila dengan menyertakan nilai agama yang tidak perlu diformalkan adalah bentuk ideal bagi Indonesia.
3. BPIP Menjadi Lembaga dengan Tingkat Kepercayaan Publik Paling Rendah
Indonesia Political Opinion (IPO) merilis survei terbaru terkait kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum dan institusi negara. Berdasarkan survei tersebut, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi lembaga dengan tingkat kepercayaan publik paling rendah, yakni 11 persen. IPO menilai setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu digarisbawahi dalam menyoroti keberadaan lembaga BPIP ini. Pertama, masalah anggaran (hak keuangan) yang sedemikian besar yang secara kalkulasi jelas terdapat ketimpangan cukup jauh dibandingkan dengan gaji pejabat-pejabat lembaga negara lain, termasuk menteri, atau bahkan hakim agung, hakim Mahkamah Konstitusi, dan Presiden sendiri.
Hak keuangan yang terlalu besar yang diberikan oleh Negara kepada para pejabat BPIP akan berpotensi memicu timbulnya kesenjangan antar lembaga negara mengingat BPIP adalah sebuah lembaga negara non struktural yang baru saja dilahirkan. Ibarat pegawai, BPIP baru memiliki masa kerja 0 tahun sementara lembaga Negara yang lain sudah lahir sejak lama dan mampu berdiri hingga saat ini dengan kompleksitas permasalahan yang semakin beragam misalnya Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, maupun Lembaga Negara lain.
Apabila mengacu pada peraturan pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, gaji seorang menteri rata-rata besarannya hanya Rp 18.648.000 sedangkan pada PP No. 55 tahun 2014 seorang Hakim Agung dan Hakim Konstitusi mendapatkan hak keuangan Rp 72.854.000. Lalu bagaimana dengan Gaji Presiden?. Menurut Keppres Nomor 68 tahun 2001 total Gaji dan tunjangan seorang Presiden RI adalah sebesar Rp. 62.740.000.
Terlepas dari kebijakan politik pemerintahan Presiden Jokowi yang menggunakan hak prerogatifnya, tentu saja publik akan menilai kebijakan ini tidak cukup fair dan jauh dari rasa pantas sebab besaran gaji dan hak Keuangan seorang Menteri, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan Presiden ada di bawah anggota Dewan Pengarah BPIP. Apalagi mengingat tugas BPIP yang meskipun sudah berkiprah selama 1 (satu) tahun tetapi tampaknya masih belum terlihat signifikaansi peranannya.
Kedua, seberapa pentingkah keberadaan BPIP ini perlu dibentuk. Urgensi
pembentukan BPIP ini pun masih perlu dipertanyakan. Jangan sampai lembaga negara
yang dibentuk baik yang bersifat struktural maupun non-struktural di kemudian hari
dibubarkan oleh pergantian rezim pada pemerintahan berikutnya karena dianggap tidak
efisien. Perlu diingat, dalam kurun waktu 2014 hingga tahun 2017 yang lalu Presiden
Jokowi telah membubarkan tidak kurang dari 23 lembaga Negara yang dinilai tidak
efektif dan efisien, justru tumpang tindih dengan lembaga/kementerian lainnya.
Penguatan dan internalisasi nilai-nilai pancasila sesungguhnya sudah sejak lama ada dan
hingga kini masih terlaksana dengan baik.
Secara simbolis hal ini terbukti dengan diadakannya kegiatan upacara bendera
setiap hari senin di sekolah-sekolah dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolat tingat
Menengah Atas. Bahkan pada hari-hari tertentu perguruan tinggi juga mengadakan
upacara pengibaran bendera demikian halnya dengan para pegawai Negeri Sipil di
instansinya masing-masing. Di dalam upacara tersebut selalu terdapat pembacaan Teks
pancasila yang wajib dihayati oleh seluruh peserta upacara.Implementasi nilai pancasila
secara sosial kultural dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara juga telah
tersistem dengan baik, hal ini terlihat dalam perumusan setiap norma regulasi baik
Undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lain yang selalu menjadikan
Pancasila sebagai asas utama yang harus dicantumkan. Tentu sistem "pancasilaisasi"
yang secara konseptual sudah terstruktur sedemikian rapi ini diperlukan langkah
aktualisasi lebih riil dalam setiap kebijakan aparatur di seluruh sektor pemerintahan
dalam memberikan pelayanannya kepada publik secara luas.
Ketiga, efektifitas BPIP masih diragukan. Kenapa demikian? 23 lembaga negara
yang pernah dibubarkan Presiden Jokowi adalah lembaga yang dinilai tidak efektif
karena sebagian besar tumpang tindih dengan kementerian lain sehingga hanya berujung
pada pemborosan keuangan negara. Tujuan lembaga BPIP ini dibentuk adalah dalam
rangka menegakkan dan mengimplementasikan nilai-nilai pancasila bagi seluruh
penyelenggara negara, komponen bangsa, dan warga negara Indonesia.
Upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai pancasila sebetulnya akan jauh
lebih efektif apabila diintegrasikan dalam program-program di kementerian sektor
tertentu. Bahkan bila perlu tidak menutup kemungkinan diintegrasikan dengan seluruh
Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian agar manfaat dan tujuan lembaga
ini optimal. Alangkah sangat disayangkan apabila pada akhirnya nanti BPIP menjadi
sebuah lembaga yang hanya berfokus pada aspek pengkajian dan wacana.
Demikian salah satu temuan survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk ‘Sikap Publik terhadap Pancasila dalam rangka Konsolidasi Sistem Politik Indonesia’ yang dirilis di Taman Renungan Bung Karno, Kabupaten Ende, pada Rabu (1/6/2022). Hasil penelitian yang dipresentasikan pendiri SMRC, Saiful Mujani, itu menunjukkan sebanyak 64,6 persen warga yang bisa menyebutkan dengan benar semua sila dalam Pancasila. Saiful menjelaskan, angka 50 persen atau lebih rendah masuk kategori rendah, 51-75 persen sedang, 76-90 persen tinggi, dan di atas 90 persen sangat tinggi. Sementara, ada 10,2 persen yang benar menyebutkan empat sila, 5,1 persen tiga sila, serta 3,9 persen dua dan satu sila. Di samping itu, masih ada 12,3 persen publik yang tidak bisa menyebutkan dengan benar satu pun sila.
2. 81,4 % Umat Muslim Anggap Pancasila- Agama Sama Penting
Lembaga Survei Parameter Politik Indonesia menggelar survei tentang Wajah Islam Politik Pasca-Pemilu 2019. Survei berkaitan dengan persepsi responden terhadap agama dan Pancasila serta bentuk negara ideal. Responden diberikan pilihan pernyataan 'agama lebih penting dari Pancasila', 'agama dan Pancasila sama pentingnya', serta 'Pancasila lebih penting dari agama' Selain itu "Mayoritas responden yang kebetulan adalah mayoritas pemilih muslim di Indonesia itu menyatakan 81,4 persen mengatakan bahwa Pancasila dan agama sama-sama penting, nggak perlu diadu-adu, nggak perlu dibentur-benturkan, Rata-rata jawaban responden itu jawabannya moderat, NKRI adalah bentuk negara yang paling ideal dengan berasaskan Pancasila dengan menyertakan nilai-nilai agama di dalamnya, tapi tidak perlu diformalkan. Responden juga diberi pertanyaan soal bentuk negara yang paling ideal untuk Indonesia. Hasilnya, 62 persen responden menilai NKRI yang berasas Pancasila dengan menyertakan nilai agama yang tidak perlu diformalkan adalah bentuk ideal bagi Indonesia.
3. BPIP Menjadi Lembaga dengan Tingkat Kepercayaan Publik Paling Rendah
Indonesia Political Opinion (IPO) merilis survei terbaru terkait kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum dan institusi negara. Berdasarkan survei tersebut, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi lembaga dengan tingkat kepercayaan publik paling rendah, yakni 11 persen. IPO menilai setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu digarisbawahi dalam menyoroti keberadaan lembaga BPIP ini. Pertama, masalah anggaran (hak keuangan) yang sedemikian besar yang secara kalkulasi jelas terdapat ketimpangan cukup jauh dibandingkan dengan gaji pejabat-pejabat lembaga negara lain, termasuk menteri, atau bahkan hakim agung, hakim Mahkamah Konstitusi, dan Presiden sendiri.
Hak keuangan yang terlalu besar yang diberikan oleh Negara kepada para pejabat BPIP akan berpotensi memicu timbulnya kesenjangan antar lembaga negara mengingat BPIP adalah sebuah lembaga negara non struktural yang baru saja dilahirkan. Ibarat pegawai, BPIP baru memiliki masa kerja 0 tahun sementara lembaga Negara yang lain sudah lahir sejak lama dan mampu berdiri hingga saat ini dengan kompleksitas permasalahan yang semakin beragam misalnya Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, maupun Lembaga Negara lain.
Apabila mengacu pada peraturan pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, gaji seorang menteri rata-rata besarannya hanya Rp 18.648.000 sedangkan pada PP No. 55 tahun 2014 seorang Hakim Agung dan Hakim Konstitusi mendapatkan hak keuangan Rp 72.854.000. Lalu bagaimana dengan Gaji Presiden?. Menurut Keppres Nomor 68 tahun 2001 total Gaji dan tunjangan seorang Presiden RI adalah sebesar Rp. 62.740.000.
Terlepas dari kebijakan politik pemerintahan Presiden Jokowi yang menggunakan hak prerogatifnya, tentu saja publik akan menilai kebijakan ini tidak cukup fair dan jauh dari rasa pantas sebab besaran gaji dan hak Keuangan seorang Menteri, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan Presiden ada di bawah anggota Dewan Pengarah BPIP. Apalagi mengingat tugas BPIP yang meskipun sudah berkiprah selama 1 (satu) tahun tetapi tampaknya masih belum terlihat signifikaansi peranannya.
REFERENSI
- Oetojo Oesman. (1993). Pancasila sebagai Ideologi Bangsa. Surabaya: Karya Anda.
- R. Warsito. (2012). Pendidikan Pancasila Era Reformasi. Banten: Ombak.
- Subandi Al Marsudi. (2003). Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: Rajawali Pers.
- Syahrial Syarbani. (2004). Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia
- Republika.co.id. (2022, April 14). Megawati kumpulkan anggota fraksi PDIP seusai penolakan timnas Israel. Diakses pada 17 April 2023, dari https://news.republika.co.id/berita/rt3d71377/megawati-kumpulkan-anggota-fraksi-pdip-seusai-penolakan-timnas-israel
- Cnnindonesia.com. (2021, Juni 1). Pancasila di tangan Rezim Soekarno Hingga Jokowi. Diakses pada 24 Mei 2023, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210531140328-32-648767/pancasila-di-tangan-rezim-sukarno-hingga-jokowi
- Republika.co.id. (2018, Mei 28). Pancasila dan Kepentingan Kekuasaan. Diakses pada 24 Mei 2023, dari https://www.republika.co.id/berita/np23wg2/pancasila-dan-kepentingan-kekuasaan
- Tempo.co. (2011, Juni 1). Habibie : Pancasila Dianggap Alat Rezim Orde Baru. Diakses pada Mei 2023, dari https://nasional.tempo.co/read/338097/habibie-pancasiladianggap-alat-rezim-orde-baru
- Kompasiana.com. (2021 September 14). Pancasila Hanya Sebagai Alat Politik. Diakses pada Mei 2023, dari https://www.kompasiana.com/ronaldof/61402007010190094668fa53/pancasila-hanya-sebagai-alat-politik
- “.” . - YouTube, 20 May 2020, https://kumparan.com/kumparannews/infografik-rendahnya-tingkat-kepercayaan-publik-ke-bpip-hingga-polri-1z89bJvIl0X/full. Accessed 29 May 2023.
- “Jangan Benturkan Agama dengan Pancasila.” SINDOnews, 14 February 2020, https://nasional.sindonews.com/berita/1526398/16/jangan-benturkan-agama-dengan-pancasila. Accessed 29 May 2023.
- “Menyoal Eksistensi dan Efektivitas BPIP.” Republika Online, 30 May 2018, https://news.republika.co.id/berita/p9hw5i282/menyoal-eksistensi-dan-efektivitas-bpip. Accessed 29 May 2023
- “Survei Parameter: 81,4% Warga Anggap Pancasila-Agama Sama Penting.” detikNews, 29 November 2019, https://news.detik.com/berita/d-4803560/surveiparameter-814-warga-anggap-pancasila-agama-sama-penting. Accessed 29 May 2023.
Tidak ada komentar: