KAJIAN HARI PAJAK
Muhammad Hilmy Rahman
Red Soldier, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Kritik Kenaikan PPN
PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
adalah pungutan pemerintah dalam bentuk pajak yang dikenakan atas penjualan
barang atau jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan
yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pendapatan dari PPN menjadi
sumber pendapatan bagi pemerintah untuk membiayai berbagai program dan kegiatan
publik, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan
publik lainnya. PPN juga berfungsi sebagai instrumen kebijakan fiskal yang
digunakan pemerintah untuk mengatur permintaan dan mengendalikan inflasi.
Pada Jumat 1 April 2023
Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari yang
sebelumnya 10 persen menjadi 11 persen. Penetapan tarif PPN 11 persen ini
didasarkan pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan PPN ini berdampak pada
pada beberapa hal seperti :
·
Naiknya harga barang dan jasa, Kenaikan PPN akan
menyebabkan peningkatan harga barang dan jasa yang dikenakan PPN, hal Ini dapat
mengurangi daya beli konsumen dan dapat mengakibatkan inflasi karena biaya
lebih tinggi akan ditransfer kepada konsumen. Begitu pula konsumen harus
mengeluarkan uang lebih untuk membeli barang yang sama.
·
Menurunnya daya beli masyarakat, Kenaikan PPN
yang mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang dapat mengurangi daya
beli masyarakat. Hal ini juga berdampak kedada ekonomi sektor bisnis karena
permintaan yang menurun . Saat situasi ini tentu saja masyarakat atau konsumen
akan lebih memilah dan mengurangi pengeluaran mereka, terutama untuk barang
non-yang mendesak.
·
Distribusi Pendapatan, kenaikan PPN dapat
mempengaruhi distribusi pendapatan. Meningkatnya harga barang dan jasa yang
dikenakan pajak ini dapat memberikan beban lebih besar bagi kelompok masyarakat
dengan pendapatan rendah, karena mereka harus mengeluarkan sebagian pendapatan
mereka yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Korupsi di Kemenkeu
Beberapa waktu lalu, masyarakat
dikejutkan dengan temuan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun yang
menjadi sorotan publik. Kabar mengenai transaksi yang mencurigakan ini muncul
setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md,
menyampaikan pernyataannya di Yogyakarta pada tanggal 8 Maret 2023.
Sri Mulyani menjelaskan, pada
Rabu 8 Maret 2023 Menkopolhukam Mahfud MD mengumumkan transaksi mencurigakan
sebesar Rp 300 triliun di Kemenkeu kepada publik. Usai pengumuman tersebut,
Kemenkeu pun menanyakan hal tersebut ke Menkopolhukam dan PPATK karena belum
menerima surat apapun. Menindaklanjuti pernyataan Mahfud, Sri Mulyani meminta
penjelasan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebab,
menurut Mahfud, dugaan transaksi janggal senilai Rp 300 triliun tersebut dia
dapat dari laporan PPATK. Menjawab Sri Mulyani, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana
saat itu mengaku telah mengirim surat ke Kementerian Keuangan. Namun, Sri
Mulyani belum menerima surat tersebut hingga 8 Maret 2023. Surat PPATK baru
sampai ke tangannya sehari setelah pernyataan menghebohkan Mahfud, yakni 9
Maret 2023. "Kamis tanggal 9 Maret 2023, Kepala PPATK baru mengirim surat
nomornya SR/2748/AT.01.01/III Tahun 2023. Surat itu tertanggal 7 Maret, tapi
baru kami terima by hand tanggal 9 Maret," terang Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan, surat
itu memuat 36 halaman lampiran. Isinya berupa 196 surat yang pernah dikirim
PPATK ke Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan periode 2009-2023. Dalam
surat tersebut, tidak ada data mengenai nilai uang. Surat itu hanya berisi
kompilasi surat yang pernah dikirimkan PPATK terkait penyelidikan, berikut
tanggal dan nama orang-orang yang diduga terlibat. "Sehingga kami juga
bingung, tanggal 9 Maret terima surat, tapi nggak ada angkanya (nilainya). Saya
meminta kepada Pak Ivan, suratnya yang ada angkanya di mana, karena kami tidak bisa
berkomentar," ujar Sri Mulyani.
Pada tanggal 11 Maret 2023, dua
hari setelah kehebohan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan, Mahfud MD, melakukan kunjungan ke Kementerian Keuangan. Dalam
kunjungan tersebut, Mahfud menjelaskan mengenai dugaan transaksi mencurigakan
senilai Rp300 triliun yang sebelumnya telah disebutkannya. Namun, karena belum
menerima surat yang memuat angka tersebut langsung dari PPATK, Sri Mulyani
lagi-lagi tak bisa berkomentar.
Pada Senin, 13 Maret 2023, Kepala
PPATK mengirimkan surat kedua yang bernomor SR/3160/AT.01.01/III Tahun 2023 ke
Menteri Keuangan. Menurut Sri Mulyani, ini merupakan kali pertama PPATK
mengirimkan kompilasi surat sejenis ke instansi yang dia pimpin. Sri Mulyani
bilang, surat kedua yang dikirimkan ke Kemenkeu memuat 43 halaman lampiran
berisi daftar 300 surat yang pernah dikirimkan PPATK ke sejumlah pihak. Dalam
surat itu, disebutkan angka Rp 349 triliun. Namun demikian, kata Sri Mulyani,
angka Rp 349 triliun tersebut tidak seluruhnya menyangkut transaksi pegawai
Kementerian Keuangan. Dia berkata, ada 100 surat yang ternyata dikirimkan PPATK
ke aparat penegak hukum lain dengan nilai transaksi Rp 74 triliun. Lalu, ada 65
surat terkait transaksi Rp 253 triliun berupa data transaksi debit-kredit
operasional perusahaan-perusahaan dan korporasi yang tidak ada hubungannya
dengan pegawai Kemenkeu, namun berhubungan dengan fungsi pajak dan bea cukai.
Bendahara Negara itu melanjutkan, dari 300 surat, cuma 135 surat yang
berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pegawai Kemenkeu. Nilainya
"hanya" sekitar Rp 22 triliun. "Bahkan 22 triliun ini, 18,7
triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang nggak ada hubungan dengan
Kementerian Keuangan," kata Sri Mulyani. "Jadi yang benar-benar
berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan itu 3,3 triliun. Ini 2009
hingga 2023, 15 tahun seluruh transaksi debit-kredit dari seluruh pegawai yang
diinkuiri tadi, termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual
beli aset, jual beli rumah, itu 3,3 triliun," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, baru-baru
ini publik dihebohkan dengan pernyataan Mahfud MD soal dugaan transaksi
mencurigakan di lingkungan Kemenkeu senilai Rp 300 triliun. Pergerakan uang
tersebut, kata Mahfud, sebagian besar berada di Direktorat Jenderal Pajak serta
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Korupsi Ditjen Pajak
Pemeriksa pajak di Direktorat
Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan dalam periode 2011-2023 telah menetapkan
Rafael Alun sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Rafael Alun diduga menerima sejumlah US$ 90 ribu
melalui PT Artha Mega Ekadhana, perusahaan konsultan pajak yang ia miliki.
Kasus ini dimulai ketika Rafael
Alun mendapatkan posisi sebagai penyidik di Direktorat Jenderal Pajak pada
tahun 2005. Sebagai penyidik, Rafael memiliki kewenangan untuk melakukan
penelitian dan pemeriksaan terhadap temuan pelanggaran perpajakan oleh yang
tidak sesuai dengan ketentuan. Pada 2011, Rafael diangkat sebagai Kepala Bidang
Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah Dirjen Pajak
Jawa Timur I. Dengan jabatannya tersebut diduga RAT menerima gratifikasi dari
beberapa wajib pajak atas pengondisian berbagai temuan pemeriksaan
perpajakannya. selain itu, Rafael memiliki beberapa usaha di antaranya PT AME.
Perusahaan itu bergerak di bidang jasa konsultasi pembukuan dan perpajakan.
Pihak yang kerap menggunakan jasa perusahaannya adalah para wajib pajak yang
punya masalah pajak, khususnya terkait kewajiban pelaporan pembukuan perpajakan
pada negara melalui Ditjen Pajak.
"Setiap kali wajib pajak
mengalami kendala dan permasalahan dalam proses penyelesaian pajaknya, RAT
diduga aktif merekomendasikan PT AME” Kata Firly. Firli Bahuri mengatakan
lembaganya akan menjerat Rafael Alun Trisambodo dengan pasal tindak pidana
pencucian uang atau TPPU. Menurut Firli, pengembangan kasus ini ke TPPU sangat
dimungkinkan karena KPK telah menemukan tindak pidana asal, yakni gratifikasi.
Kritik Tax Amnesty
(Pengampunan Pajak)
Pengampunan Pajak atau Tax
Amnesty adalah kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan kepada wajib
pajak untuk mengungkapkan harta dan membayar pajak atau uang tebusan yang
sebelumnya tidak dilaporkan atau diselundupkan tanpa adanya sanksi atau penalti
yang berat. Kebijakan Ini merupakan upaya pemerintah untuk mendorong pemenuhan
kewajiban pajak, memperluas basis pajak, dan meningkatkan pendapatan negara.
Hal ini pula tercantum pada undang- undang . Sebagaimana telah diatur dalam UU
No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Dengan tersimpannya “uang” di
negara-negara bebas pajak tersebut, hilang pula potensi penerimaan negara dari
pajak. Oleh karena itu, untuk menarik hati para wajib pajak, pemerintah
menerapkan program tax amnesty dengan harapan para wajib pajak yang menyimpang
“uang” mereka di luar negeri dapat membantu meningkatkan penerimaan negara.
Selain itu, program pengampunan pajak juga dapat membantu pemerintah
mengidentifikasi aset-aset yang sebelumnya tidak diketahui dan memperbaiki
kepatuhan pajak di masa depan.
Pemerintah berencana untuk
kembali melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. dar
hal tersebut menuai banyak kritik dari beberapa tokoh. Direktur Riset CORE,
Piter Abdullah mengatakan, jika tax amnesty diberikan berulang kali maka akan
kehilangan maknanya dan juga kredibilitas pemerintah. Sebab tax amnesty yang
tadinya dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan justru akan membuat wajib
pajak semakin tidak taat. Menurutnya, rencana tax amnesty jilid II ini
menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah. Hal ini pun berisiko menurunkan
kepatuhan wajib pajak di masa depan.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf
Rendy mengatakan, jika argumen pemerintah tax amnesty sekarang membantu adalah
proses pemulihan ekonomi, maka sangat tidak tepat. Karena selama ini pemerintah
juga bisa memberikan insentif pajak dan sebenarnya ini juga sudah dilakukan.
Faisal Basri juga menolak dilakukan tax amnesty jilid II karena dianggap hanya
akan menguntungkan kelompok yang nakal dan tak taat pajak. Selain itu, ini
dinilai sebagai bukti bahwa pemerintah tidak mampu untuk mengejar para
pengemplang pajak.
Dengan adanya wacana TA jilid II
ini, tentu ini berbeda dengan pola umum selama ini, karena baru 5 tahun lalu
pemerintah melaksanakan program tersebut. Pada saat itu juga pemerintah dalam
beberapa kampanye menyampaikan kebijakan ini tidak akan dilakukan lagi.
Jadi rencana tax amnesty jilid II
mendapat kritik karena dianggap menghilangkan makna dan kredibilitas, tidak
konsisten, tidak tepat dalam mendukung pemulihan ekonomi, dan menguntungkan
kelompok yang tidak taat pajak. Kritik-kritik ini menyoroti kekhawatiran
terhadap konsekuensi negatif dan potensi penurunan kepatuhan wajib pajak di
masa depan.
REFERENSI
https://www.kompas.com/wiken/read/2022/04/02/084500781/tarif-ppn-naik-11-persen-apa-saja-dampaknya-
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/28/09402721/kronologi-kabar-dugaan-transaksi-janggal-rp-349-triliun-di-kemenkeu-bermula
https://www.cnbcindonesia.com/news/20230328052343-4-424958/bikin-geger-ini-kronologi-kasus-transaksi-rp349-t-kemenkeu
https://nasional.tempo.co/read/1710783/rafael-alun-trisambodo-resmi-ditahan-kpk-berikut-fakta-faktanya
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/tax-amnesty-dan-tujuannya-di-indonesia
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4563012/kritik-pengamat-tax-amnesty-jilid-ii-bikin-wajib-pajak-makin-tak-taat
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5752307/tax-amnesty-jilid-ii-banjir-kritik-pengamat-pemerintah-tidak-konsisten
Tidak ada komentar: