"KEMANA DEMOKRASI (NEGARA & KAMPUS) KU?"

23.52
Oleh: Ronaldo Dwi Prasetyo
Prodi : Pendidikan Goegrafi
"Indonesia merupakan sebuah bangsa yg rakyatnya sangat amat ramah dengan senyuman dan juga candaan ria" Begitulah saya mendengar kata-kata masyarakat dunia "dahulu" ketika melihat Indonesia. "Kenapa Dahulu?" Bukankah masih banyak orang-orang yg ramah akan senyuman dinegeri ini?. Memang senyuman masih sangat kental terlekat di paras rakyat bangsa ini. Tapi banyak senyuman itu menggambar sejuta pilu di hati orang-orang yang melihatnya. Bayangkan betapa iba kita ketika melihat rakyat bisa tersenyum ikhlas  padahal hak hidupnya atau keluarganya atau harta bendanya tidak bisa menjamin kehidupan masa depannya. "Kepastian" rakyat terhadap hak-hak nya menjadi sesuatu yg rancu, semua itu karena hukum yang menjamin hak-hak kehidupan rakyat di negera "yg katanya" Demokrasi konstitusional ini ternyata malah dipermainkan oleh "pelayan" rakyatnya sendiri. Dan membuat rakyat tertindas diatas tanah moyang mereka sendiri.
UUD 1945 Pasal 1, ayat (2) menyebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar.” serta ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Yg bermakna bahwa negara Indonesia ini adalah negara yg berkedaulatan pada rakyat yg diatur secara konstitusional sebagai negara hukum dan UUD 1945 sebagai sepermasi hukum terhadap hukum serta kebijakan yang ada. Tapi dalam prakteknya sungguh pelik. Bahkan jika kita lihat, fenomena-fenomena dinegeri ini dapat menjadi data empiris untuk kita kaji bahwa Demokrasi Konstitusional kita tidak berjalan baik.
Sabagai negara yg menganut Demokrasi Kontitusional, Kepastian hukum dinegeri ini juga harus digaris bawahi, karena melihat hukum yg harusnya dijadikan sebagai landasan, tapi sekarang hanya ditegakan sesuai dengan keinginan penguasa. Penguasa cendrung akan menggunakan hukum persuasif terhadap kejahatan yg menguntungkan mereka, dan menggunakan hukum yg represif terhadap kejahatan yg merugikan mereka. Contoh dekat yg bisa kita lihat Pertama, perbedaan sikap aparat terhadap masyarakat dalam menyampaikan pendapat, dimana ketika  1 sisi yang aksinya  tersebut selalu diberi tindakan yg represif guna membubarkan/menggagalkan aksi massa tersebut Sedangkan satu sisi lainnya selalu dibenarkan melalui tindakan persuasif dan mengatasnamakan asas kemanusiaan, padahal aksi tersebut terbilang melakukan tindakan anarkis dan menyalahi hukum yg ada.
Kedua, fenomena yg kerap terjadi yaitu pemberian hukuman terhadap para tersangka kejahatan, contohnya pada kasus para koruptor yg hukumannya kerap kali diberi hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa, sedangkan ada kasus seorang rakyat yg diderita kemiskinan terpaksa mencuri kebutuhan pokok yg nilainya hanya 30-50rb untuk menyambung hidup, diberi hukuman bahkan lebih berat dibanding para koruptor yg merugikan negara hingga milayaran Rupiah, membuat hukum negara ini seperti "Tumpul ke atas, Runcing ke bawah".
Ketiga, Fenomena sekarang yg sedang hangat-hangatnya ada soal pembungkam rakyat dengan dalih dengan UU ITE, sungguh miris jika kita lihat ketika rakyat mencoba menyampaikan pendapat terhadap pemerintahan atau pun terhadap seseorang maupun golongan malah dapat dipenjarakan melalui UU ITE, itu jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat (3) tetang kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
Terlihat jelas bukan? Bagaimana hukum dinegeri ini sudah tidak memiliki "kepastian". Itu semua dapat dikatakan sebab hingga kini elite politik yg belum bisa diatur dengan baik, parpol-parpol bertarung bebas dengan cara yang pragmatis. Sehingga "Ego sektoral" dari para penguasa akhirnya merusak birokrasi serta membentuk _"iron cage"_. Iron cage sendiri adalah teori yg dikemukakan Max Weber yg menyangkut birokrasi dalam masyarakat yg rusak akibat kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan orang yg berada didalam. Akibat itu timbulah _criminal extra ordinaria_ atau kejatahan yang tidak disebut dalam Undang-udang, kejahatan ini dalam sejarahnya pada hukum romawi kuno yg disebut juga sebagai "perbuatan durjana/jahat" dan oleh para raja-raja diadobsi sebagai alat memperpanjang kekuasaan dan akhirnya menindas rakyatnya. Itulah yg sedang terjadi di birokrasi pemerintahan indonesia sekarang. Ternyata bukan hanya birokrasi tingkat nasional/makro saja yg seperti itu, bahkan sejak dari birokrasi yg mikro pun hampir sama seperti itu. Contohnya adalah Birokrasi kampus tercinta saya, kampus pergerakan, kampus pendidikan yaitu Universitas Negeri Jakarta.
Didalam kampus saya masalah yg terjadi hampir sama dengan masalah nasional. Bagaimana penguasa "rektorat" kampus saya terindikasi melakukan KKN dan melakukan tindakan represif disertai pembungkaman sistematis terhadap rakyatnya, terutama kepada rakyat yg ingin menyampaikan pendapat tentang mereka seperti mahasiswa & dosen. Birokasi ini jelas melakukan  _criminal extra ordinaria_ dalam kebijakan yang dikeluarkannya. Hegemoni rektorat tersebut membuat mereka harus membungkam rakyat UNJ yg terindikasi akan mengancam kekuasaan mereka. Seperti fenomena yang telah terjadi yaitu pertama, di D.O nya ketua BEMUNJ 2015-2016 Setahun lalu pasca rektorat didemo sekitar 5000 mahasiswa UNJ yang menunut salah satunya soal uang pangkal dan UKT. Kedua, dilaporkannya ke polisi belasan dosen yang mencoba mengikritisi rektorat yg terindikasi isu KKN dengan alasan pencemaran nama baik di media melalui UU ITE. Ketiga, Pelarangan diskusi-diskusi & aksi masa dikampus yg dilakukan beberapa dosen dan rektorat terhadap beberapa golongan mahasiswa yg juga sering mengikritisi birokrasi.
Melihat fenomena-fenomena birokrasi makro dan mikro tersebut, menandakan bahwa sistem Demokasi negeri kita ini sedang berjalan tanpa pedoman yang pasti dan pengawasan yg baik atau belum terjadi _check and balence_ yg baik terhadap sistem politik yg dinegara ini. Pedoman bernegara & berbangsa yang seharusnya sudah jelas yaitu UUD 1945 yg didasari Pancasila tetapi dipandang maknanya secara subyektif bukan objektif itulah yg membuat pedoman kita tidak memiliki kepastian. Lalu fungsi pengawasan dipemerintah yg tidak berfungsi dengan baik karena merebaknya ego sektoral, lalu bagaimana peran masyarakat? Masyarakat yg mencoba mangawasi dan menyampaikan pendapat terutama mahasiswa, malah dianggap tindakan yg radikal serta didiamkan tanpa ada _follow up_ dari apa telah dilakukan tersebut oleh birokrasi. Sehingga keseimbangan sistem politik menjadi rusak karena sub sistemnya sendiri ada yg berjalan dengan buruk.
Dan jika masih ada kebijakan yg dikeluarkan ternyata hanya untuk kepentingan golongan maka penindas rakyat akan terus berlanjut. Maka dari itu saya harus katakan, jika sekarang ketika kita sudah bergerak menyampaikan pendapat dengan sekuat tenaga dan bersama saja tidak membuat sedikit pun rezim sekarang peduli!
Apa lagi kalau kita hanya diam dan menunggu? Mau sampai kapan?.
Serta untuk para kaum intelektual yaitu mahasiswa jangan lah berhenti berada digarda paling depan dengan menjunjung budaya tri darma perguruan tinggi dan semoga ego sektoral tidak kita bawa dalam setiap pergerakan kita. Jangan seperti halnya orang-orang dibirokrasi negeri kita ini, karena itu hanya akan melukai barisan pergerakan mahasiswa. Jadi, Teruslah bergerak, rapatkan barisan, asah intelektual secara terorganisir, sistematis, dan militan tanpa ada keraguan.
Hidup Mahasiswa!!
Hidup Rakyat UNJ!!
Hidup Rakyat Indonesia!!
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang..
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan..
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan..
Maka hanya ada satu kata..
LAWAN!!"
Wiji Thukul
#RedsMenulis
#RedSoldierJaya
#TotalitasTanpaBatas
©Red Soldier 2017

1 komentar:

  1. https://kampusbit.com
    http://kampusbit.com
    Kampusbit.com
    kampusbit.blogspot.co.id
    Binary Digital System Center | Software House | Digital Marketing | Free Consultation IT

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.