Heboh Nepotisme di UNJ

23.43
Pada 1 Juni lalu bangsa Indonesia riuh memperingati hari Pancasila, tak terkecuali civitas akademika UNJ. Ada upacara, ada spanduk cukup besar dipasang digedung perpustakaan yang bertuliskan "Saya Indonesia, Saya Pancasila".
Konteks pemaknaan 1 Juni untuk UNJ jika diurai narasinya terlalu panjang. Satu saja coba diurai pada tulisan ini. Pancasila itu hadir sebagai konsensus nasional agar hidup sosial kita tertib. Hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita tertib. Salah satu ciri hidup tertib itu mentaati hukum yang berlaku. Menolak praktek nepotisme dalam pengelolaan kampus adalah ciri ketaatan pada hukum, dan itu salah satu ciri 'saya Indonesia, saya Pancasila'. Bagaimana dengan kampus ini?
Coba diurai dulu terminologinya. Secara etimologis nepotisme berasal dari kata latin 'nepos' yang mempunyai arti ‘keponakan’ atau ‘cucu’. Secara linguistik dimaknai sebagai perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat atau kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang jabatan tertentu dalam lembaga atau pemerintahan.
Menurut business dictionary (diakses 29 Mei 2017), nepotisme dinarasikan sebagai _Practice of appointing relatives and friends in one's organization to positions for which outsiders might be better qualified. Despite its negative connotations, nepotism (if applied sensibly) is an important and positive practice in the startup and formative years of a firm where complete trustand willingness to work hard (for little or no immediate reward) are critical for its survival_.
Mari dicermati kampus ini, apa benar ada nepotisme?. NJH, anak penguasa kampus (DJA), pada 20 Oktober 2016 diangkat menjadi Koordinator Pusat (Koorpus) Studi Kajian Wanita & Perlindungan Anak di LPPM UNJ. Saat diangkat NJH masih berpangkat penata muda Tk.1 Golongan III/B, padahal banyak dosen lain yang layak dan kompeten memimpin sebuah Koordinator Pusat (Koorpus). Dari tiga belas (13) Koordinator Pusat (Koorpus), NJH adalah satu-satunya yang berpangkat Penata Muda Tk.1 Golongan III/B dengan Jabatan Fungsional ASISTEN AHLI, sementara yang lain adalah Lektor dan Lektor Kepala dengan golongan III D dan golongan IV. Hal ini bisa dilihat dalam lampiran SK Nomor: 1197/SP/2016. Juga tentang yang bersangkutan bisa dilihat pada Surat Pernyataan Menduduki Jabatan Nomor:4389/UNJ39.2/KP/2016.
Berikutnya, BM, anak penguasa kampus (DJA) diangkat menjadi Sekretaris penguasa kampus sejak DJA berkuasa, berperan sebagai verifikator akhir anggaran di kampus ini yang wewenangnya bisa melebihi Wakil Rektor dan Bendahara Kampus. BM adalah dosen Teknik Elektro FT UNJ yang tidak memiliki pengalaman organisasi atau pengalaman sebagai pimpinan di tingkat program studi sekalipun. BM mendapat fasilitas kendaraan roda empat tersendiri padahal jabatan sekretaris Rektor tidak ada dalam SOTK kampus, fasilitas kendaraan BM sering digunakan istrinya bernama RM, sementara BM sering menggunakan kendaraan jabatan DJA.
Istri BM namanya RM, menantu DJA, saat ini menjadi Dosen DPK (Dosen dengan Perjanjian Kerja). Istilah DPK di Kemenristekdikti biasanya digunakan untuk dosen PNS yang diperbantukan mengajar di universitas swasta). Berbeda makna antara DPK versi kampus ini dengan DPK versi Kemenristekdikti. RM diangkat menjadi dosen oleh DJA di Fakultas Ekonomi yang digaji kampus ini sebagai Badan Layanan Umum (BLU).
WYN, anak DJA juga, dosen Universitas Palangkaraya, berijazah S1 kedokteran, saat ini statusnya pindah menjadi dosen Fakultas Ilmu Olahraga (FIO) padahal tidak ada formasi penerimaan dosen di FIO dan melanggar syarat minimal dosen yang seharusnya berpendidikan S2. WYN mutasi ke kampus ini dengan memo DJA kampus ini yang juga Ayah kandungnya sendiri pada tanggal 12 Februari 2016.
Suami WYN, namanya BAM, menjadi dosen di FIO, diangkat jadi CPNS 31Maret 2015, mendapat izin belajar pada 1 Desember 2016 saat masih CPNS, padahal sesuai aturan dosen lain tidak diperbolehkan karena masih CPNS. Tanggal 19 Desember 2016 menjadi dosen PNS di FIO. Hal tersebut dapat dicermati pada SK nomor: 22398/A4/KP/2015 dan Nomor: 100258/A2.1/KP/2015.
NS, istri DJA, saat ujian Doktor diuji oleh suaminya sendiri yang seorang Rektor  sebagai Ketua penguji. Bagaimana bisa menjamin tidak ada conflict of interest Suami menguji sidang doktoral istrinya. Ternyata dulu waktu NJH ujian doktor juga yang nguji DJA yang waktu itu menjabat Direktur Pascasarjana. Ini juga soal etika dan kepatutan akademik yang diabaikan. NS juga mendapat fasilitas kendaraan roda empat. Saat ini menjadi Dosen DPK di sebuah Sekolah Tinggi Swasta  namun sering ke kampus ini
Ternyata tidak hanya anak-anak dan istrinya yang berbau nepotisme di kampus ini, tetapi juga kerabat istri DJA, misalnya seperti TA, menjadi dosen Tata Niaga FE yang saat tes menurut Prodi Tata Niaga FE tidak lulus karena nilainya rendah tetapi diluluskan DJA. Apakah fakta tersebut tidak termasuk katagori nepotisme di kampus ini?
Mari kita tengok undang-undang yang memuat pasal nepotismre. Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme menyebutkan bahwa setiap perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, negara dan bangsa adalah nepotisme. Sanksi nepotisme dalam pasal 5 Undang-undang tersebut adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.000.000.000,00(dua miliar rupiah).
Jika merujuk Business Dictonary dan Undang-Undang nomor 28 tahun 1999, maka apa yang tetjadi di kampus ini sulit menolak disebut nepotisme. Jadi rumor kritik melalui skema nepotisme yang beredar di grup - grup WA dosen pada akhir 2016 yang berujung pemolisian belasan dosen pada Januari sampai maret 2017 itu jika diteliti ternyata ada benarnya juga ya! 
Praktik nepotisme jika dicermati tidak hanya bertentangan dengan undang-undang 28 tahun 1999, tetapi juga dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Saya Indonesia, Saya Pancasila, Saya Nepotisme, ....".  Kalimat itu jika dipasang di gedung perpustakaan UNJ menggantikan tema upacara 1 Juni hari Kamis lalu, dipastikan semua yang hadir marah. Karena nalar dan nurani ke-Indonesiaan kita berbicara jujur menolak nepotisme, tetapi ketika kita tidak marah dan tidak protes terhadap praktik nepotisme di kampus ini maka dimana nalar dan nurani keIndonesiaan kita ditempatkan?
*Forum Militan dan Independen (FMI) UNJ. Nama penulis semoga dalam lindungan Allah SWT dan kita semua melindunginya demi keamananya untuk perubahan dan kemajuan UNJ*
©Forum Militan Independen UNJ

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.