Ghazy Aldifa Afti & Marco Antonio
Latar belakang dan Tujuan Reformasi Indonesia
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dipicu oleh krisis moneter yang melanda
indonesia sejak 1997 yang menyebabkan ekonomi indonesia melemah sehingga
menyebabkan ketidakpuasan rakyat. Hal ini diperburuk oleh maraknya praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) pada sistem pemerintahan Orde baru yang menjadi faktor
penyebab terjadinya gerakan reformasi.
Reformasi dimulai dengan terjadinya demonstrasi secara besar-besaran yang
dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa dengan tuntutan agar presiden Soeharto turun
dari jabatannya sebagai presiden. Demonstrasi semakin menjadi setelah terjadinya
Tragedi Trisakti. Dimana terjadi penembakan empat mahasiswa saat sedang melakukan
demonstrasi untuk meminta presiden Soeharto turun dari jabatannya. Mereka adalah
Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Hal tersebut
kemudian memicu kerusuhan besar-besaran yang terjadi di jakarta dan kota-kota lainnya.
Kerusuhan tersebut menyebabkan banyaknya penjarahan, pembakaran, dan pembantaian
terhadap etnis tionghoa dan warga sipil.
Reformasi memiliki tujuan untuk melakukan pembangunan nasional di segala
bidang, utamanya di bidang politik, hukum, ekonomi, agama, dan sosial budaya. Segala
upaya pergerakan reformasi yang telah dilakukan semata - mata demi membentuk tatanan
kehidupan bermasyarakat yang sehat dalam berbagai aspek khususnya dalam
independensi partisipasi politik masyarakat yang aktif serta pembangunan ekonomi yang
berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Aparatur Sipil Negara sebagai Alat Korupsi dan Kepentingan Politik
Definisi Aparatur Sipil Negara
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pelaksana kebijakan publik dan
bertugas sebagai pelayan publik. ASN yang berisi pejabat, pegawai, atau petugas
pemerintahan memiliki perjanjian kerja dan bekerja pada instansi pemerintahan.
ASN memiliki tugas sebagai penyelenggara negara yang terdapat pada yang
tersebar di semua lini pemerintahan. ASN berperan sebagai penyelenggara,
perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan
dan pembangunan nasional.
Landasan Hukum Aparatur Sipil Negara Dan Pemberantasan Korupsi
Landasan hukum yang mengatur tentang ASN adalah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengatur tentang hak,
kewajiban, larangan, dan sanksi bagi ASN. Undang-undang ini menegaskan
bahwa ASN harus memiliki integritas, profesionalisme, netralitas, dan bebas dari
intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Undang-undang ini juga melarang ASN menjadi anggota dan atau pengurus partai
politik.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001. Undang-undang ini menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia. Undang-undang ini menjelaskan bahwa korupsi adalah
tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Definisi
korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam undang-undang ini.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi yang mengatur tentang pembentukan, tugas, wewenang, dan tanggung
jawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara yang
berwenang melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi secara
profesional dan proporsional. Undang-undang ini juga memberikan kewenangan
kepada KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi-instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perbandingan Aparatur Sipil Negara sebagai Alat Korupsi dan
Kepentingan Politik di Indonesia Dulu dan Sekarang
Pada era sebelum reformasi, ASN di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
kekuasaan politik yang otoriter dan sentralistik. ASN tidak memiliki integritas,
profesionalisme, dan netralitas yang tinggi. ASN sering menjadi alat kepentingan
politik penguasa dan terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. ASN
juga tidak mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan responsif
kepada masyarakat.
Pasca reformasi, ASN di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan.
ASN diharapkan menjadi agen perubahan dan reformasi birokrasi. ASN diatur
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang
mengamanatkan bahwa ASN harus memiliki integritas, profesionalisme,
netralitas, dan bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. ASN juga diwajibkan untuk memberikan pelayanan publik
yang prima dan berorientasi pada kepentingan umum.
Walaupun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara, masih ada tantangan dan hambatan dalam
mewujudkan ASN yang ideal pasca reformasi. Beberapa di antaranya adalah
masih rendahnya kesejahteraan dan kinerja ASN, masih adanya intervensi politik
terhadap ASN, masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap
ASN yang melanggar aturan, serta masih kurangnya partisipasi dan kontrol sosial
dari masyarakat terhadap ASN.
Pemerintah dan DPR menunjukkan kurangnya komitmen politik dalam
melakukan reformasi birokrasi. Hal ini terlihat dari belum adanya peraturan
perundang-undangan yang mendukung reformasi birokrasi, seperti
undang-undang tentang pelayanan publik, undang-undang tentang administrasi
negara, dan undang-undang tentang perlindungan whistle blower.
Dengan integritas, profesionalisme, dan netralitas yang rendah, ASN tidak
mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan dan
norma Hal ini terlihat dari masih banyaknya ASN yang terlibat dalam praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menjadi alat kepentingan politik penguasa atau partai politik. ASN juga tidak memiliki kompetensi dan kualifikasi yang
sesuai dengan jabatan yang diembannya.
Rendahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap ASN,
menimbulkan ASN yang mudah tergoda dan berani melakukan KKN. Hal ini
terlihat dari masih lemahnya fungsi inspektorat sebagai pengawas internal di
instansi pemerintah, serta masih rendahnya koordinasi dan sinergi antara
lembaga-lembaga penegak hukum, seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan. Sanksi hukum yang diberikan kepada ASN yang korup juga masih
tidak sepadan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.
Kurangnya partisipasi dan kontrol sosial dari masyarakat terhadap ASN
mengakibatkan ASN menjadi tidak disiplin dan sering melanggar aturan. Hal ini
terlihat dari masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengawasi kinerja dan
pelayanan publik yang diberikan oleh ASN, serta masih sulitnya masyarakat
untuk mengakses informasi publik yang berkaitan dengan birokrasi. Masyarakat
juga masih kurang memiliki ruang untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, atau
saran kepada ASN.
Kasus Korupsi dan Penyalahgunaan Kepentingan Politik oleh Aparatur
Sipil Negara
ASN memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan
pelayanan publik. Namun, ASN juga sering menjadi alat korupsi dan kepentingan
politik yang merugikan negara dan masyarakat. Beberapa contoh dari praktek
korupsi dan penyalahgunaan kepentingan politik oleh ASN, antara lain:
- Kasus korupsi tunjangan kinerja (tukin) fiktif di Direktorat Jenderal
Minerba Kementerian ESDM. KPK menetapkan 10 orang tersangka dalam
kasus ini, termasuk mantan Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono dan
mantan Sekjen ESDM Ego Syahrial. Mereka diduga melakukan
manipulasi pembayaran tukin fiktif kepada ASN yang tidak berhak
menerima sebesar Rp 28,5 miliar pada tahun 2018-2019.
- Kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Pemkab Klaten. Kejari
Klaten menetapkan 11 orang tersangka dalam kasus ini, termasuk mantan
Bupati Klaten Sri Hartini dan sejumlah pejabat dan ASN di Pemkab
Klaten. Mereka diduga menyalahgunakan wewenang dan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain dalam pengadaan barang dan jasa senilai Rp
6,4 miliar pada tahun 2016-2017.
- Kasus korupsi dana desa di Pemkab Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara.
Kejati Sulut menetapkan satu orang tersangka dalam kasus ini, yaitu
oknum ASN berinisial FG yang merupakan mantan Kepala Dinas
Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Pemkab Sitaro. Ia diduga
menyalahgunakan dana desa senilai Rp 2,2 miliar pada tahun 2019.
Reformasi Birokrasi sebagai Cara Mencegah dan Memberantas Korupsi dan Kepentingan Politik di IndonesiaUntuk menyikapi dan memperbaiki masalah-masalah tersebut, dapat
dilakukan dengan meningkatkan komitmen politik dari pemerintah dan DPR
dalam melakukan reformasi birokrasi, seperti:
- Menyusun dan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang
mendukung reformasi birokrasi, seperti undang-undang tentang pelayanan
publik, undang-undang tentang administrasi negara, dan undang-undang
tentang perlindungan whistle blower.
- Meningkatkan integritas, profesionalisme, dan netralitas ASN dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan melakukan rekrutmen,
penempatan, promosi, mutasi, dan pemberian insentif berdasarkan
kompetensi dan kinerja ASN. ASN juga harus diberikan pendidikan dan
pelatihan yang sesuai dengan jabatan dan bidangnya.
- Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap ASN yang
melanggar aturan dengan memperkuat fungsi inspektorat sebagai
pengawas internal di instansi pemerintah, serta meningkatkan koordinasi
dan sinergi antara lembaga-lembaga penegak hukum, seperti KPK,
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sanksi hukum yang diberikan
kepada ASN yang korup juga harus sepadan dengan kerugian negara yang
ditimbulkan.
- Meningkatkan partisipasi dan kontrol sosial dari masyarakat terhadap
ASN dengan memberikan akses informasi publik yang berkaitan dengan
birokrasi kepada masyarakat secara transparan dan akuntabel. Masyarakat
juga harus diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, atau
saran kepada ASN melalui mekanisme yang mudah dan cepat. Masyarakat
juga harus didorong untuk mengawasi kinerja dan pelayanan publik yang
diberikan oleh ASN.
Sistem Politik dan Pemerintahan sebagai Ajang Tawar-Menawar Kepentingan
Definisi Sistem Politik dan Pemerintahan Negara
Sistem politik merupakan strategi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan oleh negara, sedangkan sistem pemerintahan merupakan pelaku
yang melaksanakan strategi untuk mencapai tujuan negara. Sistem politik dan
pemerintahan sebagai ajang tawar-menawar kepentingan adalah sistem yang
mengakomodasi berbagai kepentingan dari para aktor politik, baik itu partai
politik, kelompok sosial, golongan, maupun dinas pemerintah.
Landasan Hukum Sistem Politik dan Pemerintahan Negara
Landasan hukum yang mengatur tentang sistem politik dan pemerintahan
adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang mengatur tentang
kedaulatan rakyat. Undang-Undang ini mengatur bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal tersebut
menegaskan bahwa sistem politik dan pemerintahan di Indonesia berdasarkan
pada kehendak rakyat dan aturan hukum.
Sumber hukum lain yang relevan adalah Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan peraturan
perundang-undangan dibentuk berdasarkan politik hukum nasional.
Undang-Undang ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum di Indonesia harus
sesuai dengan arah dan tujuan negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya Pasal 20A ayat (1) Pasal tersebut
menunjukkan bahwa MPR sebagai lembaga politik tertinggi memiliki peran
dalam menentukan arah kebijakan negara. Pasal tersebut menjelaskan bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tinggi negara mempunyai
fungsi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
khususnya Pasal 28D ayat (3). Pasal ini menunjukkan bahwa sistem politik dan
pemerintahan di Indonesia menghormati hak-hak sipil dan politik warga negara.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan sebagai Ajang
Tawar-Menawar Kepentingan Dulu dan Sekarang
Sebelum era reformasi, hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia
cenderung sentralistik, hierarkis, dan paternalistik. Pemerintah pusat memiliki
otoritas yang besar dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan daerah. Pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
pusat dalam hal alokasi anggaran, sumber daya manusia, dan pengawasan.
Pemerintah daerah juga harus tunduk pada perintah dan instruksi pusat tanpa
banyak ruang untuk berinisiatif atau berpartisipasi.
Pasca reformasi, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
di Indonesia cenderung desentralistik, demokratis, dan kemitraan. Pemerintah
pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah dalam mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan potensi dan kebutuhan
masing-masing. Pemerintah daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam
hal pengelolaan anggaran, sumber daya manusia, dan akuntabilitas. Pemerintah
daerah juga dapat berdialog dan berinteraksi dengan pusat secara lebih aktif dan
konstruktif.
Selain itu, sebelum era reformasi, partisipasi politik masyarakat di
Indonesia cenderung rendah, pasif, dan terbatas. Masyarakat memiliki
kesempatan yang sedikit untuk terlibat dalam proses politik, seperti pemilihan
umum, pembentukan partai politik, penyampaian aspirasi, atau pengawasan
pemerintah. Masyarakat juga sering mengalami intimidasi, manipulasi, atau
represi dari pihak-pihak yang berkuasa jika berani menyuarakan pendapat atau
menentang kebijakan pemerintah. Masyarakat juga kurang memiliki kesadaran
politik dan hak-hak sipilnya sebagai warga negara.
Pasca reformasi, partisipasi politik masyarakat di Indonesia cenderung
tinggi, aktif, dan luas. Masyarakat memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk
terlibat dalam proses politik, seperti pemilihan umum langsung pada semua
tingkat pemerintahan, pembentukan partai politik baru atau organisasi masyarakat
sipil, penyampaian aspirasi melalui media massa atau media sosial, atau
pengawasan pemerintah melalui lembaga swadaya masyarakat.
Walaupun sudah memiliki landasan hukum yang mumpuni, masih ada
tantangan dan hambatan dalam penerapan sistem politik dan pemerintahan yang
ideal terutama pada penerapan demokrasi yang ideal di Indonesia. Hal ini terlihat
dari rendahnya kualitas partisipasi politik masyarakat, lemahnya pengawasan dan
akuntabilitas pemerintah, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
adanya potensi konflik sosial-politik akibat perbedaan ideologi, agama, etnis, atau
golongan.
Sistem politik dan pemerintahan di indonesia yang dikendalikan atau
diatur oleh orang-orang tua atau biasa disebut gerontokrasi menghambat
regenerasi dan inovasi dalam sistem politik dan pemerintahan. Hal ini terlihat dari
banyak pemimpin politik atau pejabat publik yang masih berasal dari generasi
lama atau klan politik tertentu. Hal ini menyulitkan kaum muda untuk berkiprah
dan berkontribusi dalam pembangunan nasional kecuali mereka memiliki latar
belakang politik yang kuat.
Kasus Tawar-Menawar Kepentingan pada Sistem Politik dan Pemerintahan
Indonesia
Tawar-menawar kepentingan dapat memiliki dampak negatif terhadap
kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Tawar-menawar kepentingan
sering terjadi pada sistem politik dan pemerintahan. Beberapa contoh dari praktek
tawar-menawar kepentingan, antara lain:
- Kasus kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan antara lain
didorong oleh ulah pemain politik baik di pusat maupun daerah. Terjadi
tawar menawar politik hingga tata kelola buruk dan mendorong masalah,
seperti kebakaran hutan dan lahan. Mereka diduga memiliki kepentingan
politik untuk memberikan izin konsesi lahan kepada perusahaan atau
kelompok tertentu, atau ada kepentingan politik untuk mengabaikan aturan
lingkungan demi keuntungan ekonomi.
- Kasus wacana penambahan masa jabatan presiden. Wacana penambahan
masa jabatan presiden menjadi tiga periode akan terus bergulir hingga
jelang Pemilihan Umum 2024. Meski saat ini partai-partai politik
menolaknya, namun khawatir wacana tersebut malah menjadi bagian dari
tawar menawar kepentingan politik. Diduga adanya kepentingan politik
untuk mempertahankan status quo atau mengamankan dukungan dari
partai-partai politik tertentu, atau ada kepentingan politik untuk
menghindari polarisasi atau konflik sosial-politik.
- Kasus korupsi dan politisasi bantuan sosial. Korupsi dan politisasi bantuan
sosial tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan prosedur. Akarnya
ada pada pola hubungan patron-klien yang masih dominan dalam sistem
politik dan pemerintahan Indonesia. Misalnya, ada kepentingan politik
untuk memperoleh suara atau dukungan dari masyarakat dengan cara
memberikan bantuan sosial secara tidak transparan atau diskriminatif, atau
ada kepentingan politik untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya
dengan cara menyalahgunakan bantuan sosial.
Reformasi Sistem Politik dan Pemerintahan sebagai Cara Mencegah dan
Mengatasi Tawar-Menawar Kepentingan di IndonesiaUntuk menyikapi dan memperbaiki masalah-masalah tersebut, dapat
dilakukan dengan menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis, transparan,
akuntabel, dan berkeadilan lewat reformasi sistem politik dan pemerintahan,
seperti:
- Mendorong regenerasi dan inovasi dalam sistem politik dan pemerintahan
dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi kaum muda untuk
berkiprah dan berkontribusi dalam pembangunan nasional, serta
mengembangkan sistem meritokrasi yang transparan dan akuntabel dalam
penempatan jabatan publik.
- Memperkuat pengawasan dan akuntabilitas pemerintah dengan
meningkatkan peran lembaga-lembaga negara yang independen, seperti
KPK, Ombudsman, BPK, KPU, Bawaslu, Komnas HAM, dan lain-lain,
serta melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal
kebijakan-kebijakan publik.
- Menegakkan etika dan moral dalam sistem politik dan pemerintahan
dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan pedoman
dalam berbagai kegiatan politik dan pemerintahan. Hal ini juga dapat
dilakukan dengan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
merugikan kepentingan publik, serta menghindari politisasi dan
manipulasi yang mengorbankan kebenaran dan keadilan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Terus Berulang dan Tidak Terselesaikan
Latar Belakang
Pasca mundurnya presiden Soeharto pada tahun 1998 yang menandakan
berakhirnya era orde baru, Indonesia memasuki babak baru dalam penataan
kehidupan sosial dan segala aspek bernegara. Demokrasi dan keadilan sosial
semakin digaungkan sebagai upaya mewujudkan tujuan reformasi yang
sebelumnya terasa abu-abu pada masa orde baru. Tujuan reformasi yang menjadi
tuntutan masyarakat semakin memenuhi amandemen konstitusi Indonesia yang
kemudian semakin kental akan penegakan isu-isu hak asasi manusia, pembersihan
unsur militer dalam parlemen dan aparatur negara lainnya, diperbolehkannya
pembentukan partai baru, serta pemilu yang semakin bersih dari sebelumnya.
Tujuan ini semakin direalisasikan dengan dibentuknya Pengadilan HAM dan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Landasan Hukum
Sesuai yang tertuang dalam UU no. 39 tahun 1999, hak asasi manusia
mencakup Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Negara wajib
menjamin setiap warga negaranya memperoleh haknya dalam kehidupan
bernegara, dengan demikian dibentuklah Komnas HAM. Dalam pelaksanaan
tugasnya selama kurang lebih 30 tahun, Komnas HAM telah menangani dan
mengawal pelaksanaan HAM di tanah air. Berdasarkan UU no. 39 tahun 1999,
Komnas HAM memiliki tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan hak asasi manusia. Komnas HAM juga berwenang melakukan
penyelidikan terkait pelanggaran HAM berat dengan ditetapkannya UU no. 26
tahun 2000. Komnas HAM juga berwenang mengawasi dan mengevaluasi
kebijakan dan langkah yang ditempuh pemerintah dalam penanganan diskriminasi
suku dan etnis, hal ini diatur dalam UU no. 40 tahun 2008. Dengan demikian
Komnas diberikan wewenang khusus pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia.
Perbandingan
Sebelum era reformasi, kondisi HAM sangatlah memprihatinkan, ditandai
dengan berbagai pelanggaran HAM berat yang melibatkan aparat negara, seperti
penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, pembantaian di Aceh dan Timor
Timur, penculikan aktivis pro-demokrasi, dan lain-lain. Meskipun UUD 1945
mengandung beberapa prinsip HAM, tetapi istilah HAM sendiri tidak disebutkan
secara jelas di dalamnya. Selain itu, perumusan hak-hak dalam UUD 1945
dianggap tidak sistematis dan sederhana.
Pasca reformasi, kondisi ham di Indonesia mulai membaik, ditandai
dengan adanya amandemen UUD 1945 yang menambahkan Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia dan menjamin beberapa hak asasi seperti hak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Selain itu, lahirnya
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga menjadi bukti komitmen negara
untuk menegakkan HAM.
Walaupun sudah memiliki landasan hukum yang mumpuni, masih banyak
tantangan dalam pelaksanaan HAM di era demokrasi, seperti banyak kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru maupun masa
reformasi yang belum terselesaikan hingga kini, seperti penembakan mahasiswa
Trisakti dan Semanggi, pembantaian di Aceh dan Timor Timur, penculikan aktivis
pro-demokrasi, pembunuhan Munir, kebakaran Lapas Tangerang, penembakan
laskar FPI di Karawang, dan pembakaran fasilitas umum oleh kelompok separatis
teroris di Papua.
Proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut sering
mengalami hambatan, baik dari sisi politik, hukum, maupun sosial. Misalnya,
kurangnya dukungan politik dari pemerintah dan DPR, lemahnya penegakan
hukum oleh aparat penegak hukum, minimnya saksi dan bukti yang masih hidup
atau utuh, adanya upaya penghilangan jejak dan intimidasi terhadap korban dan
keluarga, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Kasus
Dalam perjalanan kemerdekaan reformasi di Indonesia, Komnas HAM
diberikan mandat dan wewenang dalam mengawasi dan menjamin pelaksanaan
hak asasi manusia didalam kehidupan setiap masyarakat negara, namun masih
ditemukan kendala dan pelemahan konstitusi dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang ini. Beberapa kasus yang gagal ditangani adalah:
- Tragedi HAM tahun 1965-1966
Pada tahun 2012 melalui penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM, tragedi
pembantaian manusia pada tahun 1965 sampai 1966 ditetapkan menjadi
pelanggaran HAM berat. Namun kendati telah ditetapkan sebagai
pelanggaran HAM berat, belum ada tindakan konkret yang diberikan
pemerintah dalam menjamin keadilan dan mengungkap siapa otak dalam
gerakan pembantaian yang berlangsung kurang lebih setahun tersebut
hingga saat ini. Komnas HAM terus mendesak pemerintah untuk
mengambil tindakan karena korban tragedi sudah semakin tua dan tidak
sedikit yang sudah meninggal. - Rentetan tragedi pelanggaran HAM tahun 1998
Dalam upaya menggulingkan rezim Soeharto yang telah memerintah
dengan kurun waktu yang cukup lama menjadi presiden di Indonesia,
Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat melakukan aksi demonstrasi.
Tindakan represif yang dilakukan oleh TNI dan Polri yang kala itu
dikepalai oleh Wiranto (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden) berusaha
membubarkan demonstran dengan cara menembaki mahasiswa dan
memukuli dengan senjata tumpul. Berdasarkan hasil penyelidikan Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terdapat 1.217 korban jiwa dalam tragedi
tersebut. Terdapat beberapa mahasiswa yang gugur dalam
memperjuangkan keadilan dan banyak tokoh aktivis dan berbagai elemen
masyarakat yang ikut gugur karena diculik oleh aparat TNI dan Polri.
Kendati demikian, belum ada titik terang upaya dan solusi konkret dalam
penegakan keadilan dengan menangkap para pelaku kejahatan HAM pada
tragedi tersebut, bahkan banyak yang dicurigai sebagai aktor kejahatan
HAM pada tragedi 1998 yang memiliki jabatan dalam pemerintahan
Indonesia pada masa kini. Sampai saat ini masih banyak para korban,
sanak saudara, serta orang tua korban yang menunggu dan menuntut
keadilan kepada pemerintah. - Pelanggaran HAM di Desa Wadas
Masih hangat di ingatan masyarakat Indonesia tentang kasus pelanggaran
HAM di Desa Wadas. Pada tahun 2021, Komnas HAM mendapat laporan
warga terkait intimidasi dan perlakukan represi yang dilakukan oleh aparat
kepada mereka. Pelanggaran HAM yang dialami oleh warga setempat
yakni tindakan arogansi aparat kepada warga setempat yang menimbulkan
keresahan dan ancaman yang dialami karena tindakan aparat. Hal ini
bermula dari upaya penolakan warga atas pembukaan lahan tambang
andesit untuk proyek pembangunan strategis nasional (PSN) Waduk Bener
di desa mereka. Penolakan ini bukan tanpa alasan, warga takut ekosistem
alam desa mereka akan rusak dengan adanya pembangunan ini. Belum
lagi lasan ekonomi yang memperkuat penolakan warga terhadap
pembangunan ini. Warga yang menolak dengan pembangunan tersebut
diancam, mengalami kekerasan, dan beberapa ada yang ditangkap oleh
aparat Kepolisian bersenjata lengkap.
Kesimpulan
Pada dasarnya menjamin hak asasi bagi setiap warga negara merupakan
tugas pemerintah yang harus diwujudkan apapun resikonya. Pemerintah
seharusnya tidak hanya belajar dari masa lalu, namun juga belajar dari negara lain
dalam hal penegakan hak asasi manusia setiap warga negaranya. Hal yang dapat
dilakukan terlebih dahulu adalah menetapkan peraturan dan hukum tentang
pelaksanaan HAM dan menguatkan undang-undang yang sudah ada. Selain itu,
melakukan sosialisasi terkait apa itu HAM secara dalam kepada setiap aparatur
negara dan masyarakat Indonesia juga merupakan hal yang seharusnya dapat
dengan mudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak
boleh takut dan harus bertindak tegas kepada siapapun yang melakukan atau
pernah melakukan pelangaraan HAM, walaupun itu adalah menteri sendiri.
Dengan semakin meningkatnya penegakan HAM di Indonesia, maka bangsa
Indonesia akan siap menjadi Indonesia Emas.
Reformasi Indonesia Gagal dalam Mencapai Tujuan-Tujuannya
Gerakan reformasi sudah menemukan akarnya setidaknya semenjak peristiwa Malapetaka
Limabelas Januari (Malari) 1974, gerilya Buku Putih mahasiswa ITB tahun 1978, dan
penyampaian Petisi 50 di parlemen tahun 1980. Meski usaha-usaha tersebut belum
mampu menggoyang pilar-pilar Orde Baru, yakni dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, dan
tafsir tunggal Pancasila, namun sudah menjadi bukti bahwa angan-angan keamanan dan
ketertiban masyarakat ala Suharto tidaklah ideal; sebuah selimut keangkuhan yang
menyelimuti rakyatnya dengan kebijakan opresif dan anti-kritik.
Reformasi dapat tercipta karena orang-orangnya menginginkan pembaharuan di
berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi, dan kebebasan untuk menyuarakan
pendapat tanpa takut dibalas todongan bedil oleh penguasa. Dengan kata lain, ada impian
untuk mewujudkan masyarakat madani. Reformis, sebagai motor dalam menjalankan
segala aspek kehidupan di masa reformasi, tentu sudah seharusnya meninggalkan
nilai-nilai otoriter Orde Baru dan turunannya yang terbukti gagal. Masa reformasi
diharapkan mampu menyajikan perubahan, bersifat korektif, dan bercorak pembaharuan.
Reformasi Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, setelah mengundurkan dirinya
Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden karena tekanan politik dan ekonomi yang
besar, memiliki tujuan untuk mewujudkan demokrasi, keadilan sosial, hak asasi manusia,
dan kesejahteraan rakyat. Namun, setelah 25 tahun berlalu, banyak pihak yang menilai
bahwa reformasi Indonesia gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini disebabkan
oleh berbagai masalah dan tantangan yang belum terselesaikan di berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Aparatur Sipil Negara yang seharusnya menjadi pelaksana kebijakan publik dan
bertugas sebagai pelayan publik, malah menjadi alat korupsi dan pelaksana kepentingan
politik bagi para penguasa. Meskipun telah dibentuk lembaga-lembaga antikorupsi seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON),
korupsi masih merajalela di berbagai sektor pemerintahan. Menurut Indeks Persepsi
Korupsi 2022 yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia berada di peringkat
102 dari 180 negara dengan skor 37 dari 100. Selain itu, banyak aparatur sipil negara
yang tidak profesional dan tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Mereka cenderung
menjadi alat kepentingan politik dari partai-partai atau kelompok-kelompok tertentu.
Sistem politik dan pemerintahan Indonesia juga hanya menjadi ajang
tawar-menawar kepentingan bagi para penguasa. Reformasi Indonesia seharusnya
membawa perubahan sistem politik dan pemerintahan yang lebih demokratis dan
partisipatif. Namun, kenyataannya sistem politik dan pemerintahan Indonesia masih
didominasi oleh oligarki-oligarki politik yang saling bersekutu untuk mempertahankan
kekuasaan dan kekayaan mereka. Hal ini terlihat dari praktik-praktik seperti money
politics, nepotisme, kolusi, dan patronase yang masih marak terjadi dalam pemilihan
umum, pembentukan kabinet, pengangkatan pejabat, dan pembuatan kebijakan.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, Daud Jusuf, pernah
menulis sebuah opini di harian Kompas pada 2007 silam yang berjudul ‘Untuk Apa
Reformasi?'. Ia menyinggung bahwa reformasi adalah sebuah kesia-siaan apabila
pemimpin tidak menjawab panggilan tugasnya, yakni menciptakan harmoni politik dan
ekonomi demi kebaikan kedua-duanya. Harmoni inilah yang menjadi cita-cita adiluhung
bagi para reformis, bukan seperti harmoni yang dibuat-buat Orde Baru, namun harmoni
sesungguhnya yang lahir dari nilai-nilai demokrasi.
20 tahun sudah reformasi berjalan. Ada banyak hal yang dapat disyukuri darinya,
sebagaimana banyak juga hal yang bisa disesalkan. Jelasnya, sulit mengatakan bahwa
reformasi yang mencoba memperbaiki, utamanya sektor politik-ekonomi ini, sebagai
kegagalan total.
Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya
masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik,
akal sehat, serta idealisme reformis sejati: ketika reformis-reformis tua tercemari, maka
sudah saatnya reformis-reformis muda tampil menawarkan keharmonian yang
dicita-citakan. Panggung Pilpres 2024, dan kemungkinan-kemungkinan baik atau buruk
yang akan terjadi di sekitarnya, akan menjadi momen pembuktian apakah semangat
reformasi masih ditekuni oleh reformis-reformis yang bersemangat untuk berkuasa di
negeri ini.
Referensi
Kompas.com. (2021, April 20). Reformasi Indonesia 1998:
Latar Belakang, Tujuan, Kronologi, Dampak.
Detik.com. (2021, Agustus 12). Latar Belakang Lahirnya Era
Reformasi dan Tujuannya.
Liputan6.com. (2020, Juni 13). Tujuan Reformasi, Pengertian
dan Penyebabnya yang Perlu Dipahami. Liputan6.com.
Kandou, F. D., & Tilaar, H. Y. R. (2019). Pengaruh Kepemimpinan
Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai pada Badan
Kepegawaian Daerah Kota Manado. Lex Crimen, 8(1), 1-10.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2019).
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019
tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022, Mei 10). Kenali Dasar
Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. ACLC KPK.
Sudarsana, I. K., & Suardana, I. B. R. (2020). Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai
pada Badan Kepegawaian Daerah Kota Manado. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum,
8(1), 1-10.
Saputra, A. (2017, April 7). Kegagalan Reformasi Birokrasi.
Kompas.com.
Katadata.co.id. (2021, September 13). ICW: Pelaku Korupsi
Terbanyak dari Kalangan ASN pada Semester 1-2021. Databoks.
Tempo.co. (2023, Mei 4). Kasus Korupsi Tunjangan Kinerja
ESDM, KPK Periksa Tiga Orang ASN. Tempo Nasional.
Kompas.com. (2019, Juni 11). Korupsi 9 ASN di Sumbar
Dipekat. Kompas Regional.
Sindonews.com. (2023, Mei 3). Kasus Dugaan Korupsi Dana
Tukin KPK Panggil 3 ASN Kementerian ESDM. Sindonews Nasional.
Sari, N. P., & Sari, N. P. (2018). Pengaruh Kepemimpinan
Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai pada Badan
Kepegawaian Daerah Kota Manado. Jurnal Legislasi Indonesia, 15(2), 1-10.
Kompas.com. (2020, Juli 12). Tantangan demokrasi di
Indonesia. Kompas.com.
Sindonews.com. (2019, Agustus 19). Harapan dan tantangan
Indonesia kedepan. Sindonews Nasional.
Mongabay.co.id. (2020, Agustus 5). Tawar menawar politik
penyebab kebakaran hutan: Bagaimana ceritanya? Mongabay Indonesia.
Suara.com. (2021, September 17). Kepentingan politik isu
masa jabatan presiden disebut bakal jadi tawar menawar. Suara News.
The Conversation Indonesia. (2021, Januari 28). Masalah
korupsi dan politisasi bansos berakar pada budaya dan sistem politik Indonesia.
The Conversation Indonesia.
DetikNews. (2019, Augustus 9). Komnas HAM: 20 tahun
reformasi, demokrasi dan HAM belum seimbang.
Kompas.com. (2021, Desember 28). Sejarah perkembangan HAM di
Indonesia.
Tirto.id. (2018, Mei 21). 20 tahun reformasi: Macetnya
kasus-kasus pelanggaran HAM.
Medcom.id. (2023, Mei 19). Dear Jokowi, penyelesaian masalah
HAM harus dengan proses hukum di pengadilan
Tidak ada komentar: