25 Tahun Reformasi Indonesia: Ekspektasi vs Realitas

Ghazy Aldifa Afti & Marco Antonio

Latar belakang dan Tujuan Reformasi Indonesia

Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dipicu oleh krisis moneter yang melanda indonesia sejak 1997 yang menyebabkan ekonomi indonesia melemah sehingga menyebabkan ketidakpuasan rakyat. Hal ini diperburuk oleh maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada sistem pemerintahan Orde baru yang menjadi faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi.

Reformasi dimulai dengan terjadinya demonstrasi secara besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa dengan tuntutan agar presiden Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Demonstrasi semakin menjadi setelah terjadinya Tragedi Trisakti. Dimana terjadi penembakan empat mahasiswa saat sedang melakukan demonstrasi untuk meminta presiden Soeharto turun dari jabatannya. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Hal tersebut kemudian memicu kerusuhan besar-besaran yang terjadi di jakarta dan kota-kota lainnya. Kerusuhan tersebut menyebabkan banyaknya penjarahan, pembakaran, dan pembantaian terhadap etnis tionghoa dan warga sipil.

Reformasi memiliki tujuan untuk melakukan pembangunan nasional di segala bidang, utamanya di bidang politik, hukum, ekonomi, agama, dan sosial budaya. Segala upaya pergerakan reformasi yang telah dilakukan semata - mata demi membentuk tatanan kehidupan bermasyarakat yang sehat dalam berbagai aspek khususnya dalam independensi partisipasi politik masyarakat yang aktif serta pembangunan ekonomi yang berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aparatur Sipil Negara sebagai Alat Korupsi dan Kepentingan Politik

Definisi Aparatur Sipil Negara
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pelaksana kebijakan publik dan bertugas sebagai pelayan publik. ASN yang berisi pejabat, pegawai, atau petugas pemerintahan memiliki perjanjian kerja dan bekerja pada instansi pemerintahan. ASN memiliki tugas sebagai penyelenggara negara yang terdapat pada yang tersebar di semua lini pemerintahan. ASN berperan sebagai penyelenggara, perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. 

Landasan Hukum Aparatur Sipil Negara Dan Pemberantasan Korupsi
Landasan hukum yang mengatur tentang ASN adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengatur tentang hak, kewajiban, larangan, dan sanksi bagi ASN. Undang-undang ini menegaskan bahwa ASN harus memiliki integritas, profesionalisme, netralitas, dan bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Undang-undang ini juga melarang ASN menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang ini menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Undang-undang ini menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam undang-undang ini.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur tentang pembentukan, tugas, wewenang, dan tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara yang berwenang melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi secara profesional dan proporsional. Undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi-instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perbandingan Aparatur Sipil Negara sebagai Alat Korupsi dan Kepentingan Politik di Indonesia Dulu dan Sekarang 
Pada era sebelum reformasi, ASN di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kekuasaan politik yang otoriter dan sentralistik. ASN tidak memiliki integritas, profesionalisme, dan netralitas yang tinggi. ASN sering menjadi alat kepentingan politik penguasa dan terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. ASN juga tidak mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan responsif kepada masyarakat.

Pasca reformasi, ASN di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. ASN diharapkan menjadi agen perubahan dan reformasi birokrasi. ASN diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengamanatkan bahwa ASN harus memiliki integritas, profesionalisme, netralitas, dan bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. ASN juga diwajibkan untuk memberikan pelayanan publik yang prima dan berorientasi pada kepentingan umum.

Walaupun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, masih ada tantangan dan hambatan dalam mewujudkan ASN yang ideal pasca reformasi. Beberapa di antaranya adalah masih rendahnya kesejahteraan dan kinerja ASN, masih adanya intervensi politik terhadap ASN, masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap ASN yang melanggar aturan, serta masih kurangnya partisipasi dan kontrol sosial dari masyarakat terhadap ASN.

Pemerintah dan DPR menunjukkan kurangnya komitmen politik dalam melakukan reformasi birokrasi. Hal ini terlihat dari belum adanya peraturan perundang-undangan yang mendukung reformasi birokrasi, seperti undang-undang tentang pelayanan publik, undang-undang tentang administrasi negara, dan undang-undang tentang perlindungan whistle blower. 

Dengan integritas, profesionalisme, dan netralitas yang rendah, ASN tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan dan norma Hal ini terlihat dari masih banyaknya ASN yang terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menjadi alat kepentingan politik penguasa atau partai politik. ASN juga tidak memiliki kompetensi dan kualifikasi yang sesuai dengan jabatan yang diembannya.

 Rendahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap ASN, menimbulkan ASN yang mudah tergoda dan berani melakukan KKN. Hal ini terlihat dari masih lemahnya fungsi inspektorat sebagai pengawas internal di instansi pemerintah, serta masih rendahnya koordinasi dan sinergi antara lembaga-lembaga penegak hukum, seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sanksi hukum yang diberikan kepada ASN yang korup juga masih tidak sepadan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

Kurangnya partisipasi dan kontrol sosial dari masyarakat terhadap ASN mengakibatkan ASN menjadi tidak disiplin dan sering melanggar aturan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengawasi kinerja dan pelayanan publik yang diberikan oleh ASN, serta masih sulitnya masyarakat untuk mengakses informasi publik yang berkaitan dengan birokrasi. Masyarakat juga masih kurang memiliki ruang untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, atau saran kepada ASN.

Kasus Korupsi dan Penyalahgunaan Kepentingan Politik oleh Aparatur Sipil Negara
ASN memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik. Namun, ASN juga sering menjadi alat korupsi dan kepentingan politik yang merugikan negara dan masyarakat. Beberapa contoh dari praktek korupsi dan penyalahgunaan kepentingan politik oleh ASN, antara lain:
  1. Kasus korupsi tunjangan kinerja (tukin) fiktif di Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM. KPK menetapkan 10 orang tersangka dalam kasus ini, termasuk mantan Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono dan mantan Sekjen ESDM Ego Syahrial. Mereka diduga melakukan manipulasi pembayaran tukin fiktif kepada ASN yang tidak berhak menerima sebesar Rp 28,5 miliar pada tahun 2018-2019.
  2. Kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Pemkab Klaten. Kejari Klaten menetapkan 11 orang tersangka dalam kasus ini, termasuk mantan Bupati Klaten Sri Hartini dan sejumlah pejabat dan ASN di Pemkab Klaten. Mereka diduga menyalahgunakan wewenang dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam pengadaan barang dan jasa senilai Rp 6,4 miliar pada tahun 2016-2017.
  3. Kasus korupsi dana desa di Pemkab Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara. Kejati Sulut menetapkan satu orang tersangka dalam kasus ini, yaitu oknum ASN berinisial FG yang merupakan mantan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Pemkab Sitaro. Ia diduga menyalahgunakan dana desa senilai Rp 2,2 miliar pada tahun 2019. 

Reformasi Birokrasi sebagai Cara Mencegah dan Memberantas Korupsi dan Kepentingan Politik di Indonesia
Untuk menyikapi dan memperbaiki masalah-masalah tersebut, dapat dilakukan dengan meningkatkan komitmen politik dari pemerintah dan DPR dalam melakukan reformasi birokrasi, seperti:
  1. Menyusun dan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang mendukung reformasi birokrasi, seperti undang-undang tentang pelayanan publik, undang-undang tentang administrasi negara, dan undang-undang tentang perlindungan whistle blower. 
  2. Meningkatkan integritas, profesionalisme, dan netralitas ASN dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan melakukan rekrutmen, penempatan, promosi, mutasi, dan pemberian insentif berdasarkan kompetensi dan kinerja ASN. ASN juga harus diberikan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan jabatan dan bidangnya.
  3. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap ASN yang melanggar aturan dengan memperkuat fungsi inspektorat sebagai pengawas internal di instansi pemerintah, serta meningkatkan koordinasi dan sinergi antara lembaga-lembaga penegak hukum, seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sanksi hukum yang diberikan kepada ASN yang korup juga harus sepadan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.
  4. Meningkatkan partisipasi dan kontrol sosial dari masyarakat terhadap ASN dengan memberikan akses informasi publik yang berkaitan dengan birokrasi kepada masyarakat secara transparan dan akuntabel. Masyarakat juga harus diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, atau saran kepada ASN melalui mekanisme yang mudah dan cepat. Masyarakat juga harus didorong untuk mengawasi kinerja dan pelayanan publik yang diberikan oleh ASN.

Sistem Politik dan Pemerintahan sebagai Ajang Tawar-Menawar Kepentingan

Definisi Sistem Politik dan Pemerintahan Negara
Sistem politik merupakan strategi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh negara, sedangkan sistem pemerintahan merupakan pelaku yang melaksanakan strategi untuk mencapai tujuan negara. Sistem politik dan pemerintahan sebagai ajang tawar-menawar kepentingan adalah sistem yang mengakomodasi berbagai kepentingan dari para aktor politik, baik itu partai politik, kelompok sosial, golongan, maupun dinas pemerintah.

Landasan Hukum Sistem Politik dan Pemerintahan Negara
Landasan hukum yang mengatur tentang sistem politik dan pemerintahan adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang mengatur tentang kedaulatan rakyat. Undang-Undang ini mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal tersebut menegaskan bahwa sistem politik dan pemerintahan di Indonesia berdasarkan pada kehendak rakyat dan aturan hukum.

Sumber hukum lain yang relevan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan peraturan perundang-undangan dibentuk berdasarkan politik hukum nasional. Undang-Undang ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum di Indonesia harus sesuai dengan arah dan tujuan negara.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya Pasal 20A ayat (1) Pasal tersebut menunjukkan bahwa MPR sebagai lembaga politik tertinggi memiliki peran dalam menentukan arah kebijakan negara. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tinggi negara mempunyai fungsi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28D ayat (3). Pasal ini menunjukkan bahwa sistem politik dan pemerintahan di Indonesia menghormati hak-hak sipil dan politik warga negara. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan sebagai Ajang Tawar-Menawar Kepentingan Dulu dan Sekarang
Sebelum era reformasi, hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia cenderung sentralistik, hierarkis, dan paternalistik. Pemerintah pusat memiliki otoritas yang besar dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan daerah. Pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat dalam hal alokasi anggaran, sumber daya manusia, dan pengawasan. Pemerintah daerah juga harus tunduk pada perintah dan instruksi pusat tanpa banyak ruang untuk berinisiatif atau berpartisipasi.

Pasca reformasi, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia cenderung desentralistik, demokratis, dan kemitraan. Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing. Pemerintah daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam hal pengelolaan anggaran, sumber daya manusia, dan akuntabilitas. Pemerintah daerah juga dapat berdialog dan berinteraksi dengan pusat secara lebih aktif dan konstruktif.

Selain itu, sebelum era reformasi, partisipasi politik masyarakat di Indonesia cenderung rendah, pasif, dan terbatas. Masyarakat memiliki kesempatan yang sedikit untuk terlibat dalam proses politik, seperti pemilihan umum, pembentukan partai politik, penyampaian aspirasi, atau pengawasan pemerintah. Masyarakat juga sering mengalami intimidasi, manipulasi, atau represi dari pihak-pihak yang berkuasa jika berani menyuarakan pendapat atau menentang kebijakan pemerintah. Masyarakat juga kurang memiliki kesadaran politik dan hak-hak sipilnya sebagai warga negara.

Pasca reformasi, partisipasi politik masyarakat di Indonesia cenderung tinggi, aktif, dan luas. Masyarakat memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk terlibat dalam proses politik, seperti pemilihan umum langsung pada semua tingkat pemerintahan, pembentukan partai politik baru atau organisasi masyarakat sipil, penyampaian aspirasi melalui media massa atau media sosial, atau pengawasan pemerintah melalui lembaga swadaya masyarakat.

Walaupun sudah memiliki landasan hukum yang mumpuni, masih ada tantangan dan hambatan dalam penerapan sistem politik dan pemerintahan yang ideal terutama pada penerapan demokrasi yang ideal di Indonesia. Hal ini terlihat dari rendahnya kualitas partisipasi politik masyarakat, lemahnya pengawasan dan akuntabilitas pemerintah, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta adanya potensi konflik sosial-politik akibat perbedaan ideologi, agama, etnis, atau golongan.

Sistem politik dan pemerintahan di indonesia yang dikendalikan atau diatur oleh orang-orang tua atau biasa disebut gerontokrasi menghambat regenerasi dan inovasi dalam sistem politik dan pemerintahan. Hal ini terlihat dari banyak pemimpin politik atau pejabat publik yang masih berasal dari generasi lama atau klan politik tertentu. Hal ini menyulitkan kaum muda untuk berkiprah dan berkontribusi dalam pembangunan nasional kecuali mereka memiliki latar belakang politik yang kuat.

Kasus Tawar-Menawar Kepentingan pada Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia
Tawar-menawar kepentingan dapat memiliki dampak negatif terhadap kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Tawar-menawar kepentingan sering terjadi pada sistem politik dan pemerintahan. Beberapa contoh dari praktek tawar-menawar kepentingan, antara lain:
  1. Kasus kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan antara lain didorong oleh ulah pemain politik baik di pusat maupun daerah. Terjadi tawar menawar politik hingga tata kelola buruk dan mendorong masalah, seperti kebakaran hutan dan lahan. Mereka diduga memiliki kepentingan politik untuk memberikan izin konsesi lahan kepada perusahaan atau kelompok tertentu, atau ada kepentingan politik untuk mengabaikan aturan lingkungan demi keuntungan ekonomi.
  2. Kasus wacana penambahan masa jabatan presiden. Wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode akan terus bergulir hingga jelang Pemilihan Umum 2024. Meski saat ini partai-partai politik menolaknya, namun khawatir wacana tersebut malah menjadi bagian dari tawar menawar kepentingan politik. Diduga adanya kepentingan politik untuk mempertahankan status quo atau mengamankan dukungan dari partai-partai politik tertentu, atau ada kepentingan politik untuk menghindari polarisasi atau konflik sosial-politik.
  3. Kasus korupsi dan politisasi bantuan sosial. Korupsi dan politisasi bantuan sosial tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan prosedur. Akarnya ada pada pola hubungan patron-klien yang masih dominan dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia. Misalnya, ada kepentingan politik untuk memperoleh suara atau dukungan dari masyarakat dengan cara memberikan bantuan sosial secara tidak transparan atau diskriminatif, atau ada kepentingan politik untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya dengan cara menyalahgunakan bantuan sosial.

Reformasi Sistem Politik dan Pemerintahan sebagai Cara Mencegah dan Mengatasi Tawar-Menawar Kepentingan di Indonesia
Untuk menyikapi dan memperbaiki masalah-masalah tersebut, dapat dilakukan dengan menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, dan berkeadilan lewat reformasi sistem politik dan pemerintahan, seperti:
  1. Mendorong regenerasi dan inovasi dalam sistem politik dan pemerintahan dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi kaum muda untuk berkiprah dan berkontribusi dalam pembangunan nasional, serta mengembangkan sistem meritokrasi yang transparan dan akuntabel dalam penempatan jabatan publik.
  2. Memperkuat pengawasan dan akuntabilitas pemerintah dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga negara yang independen, seperti KPK, Ombudsman, BPK, KPU, Bawaslu, Komnas HAM, dan lain-lain, serta melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan-kebijakan publik.
  3. Menegakkan etika dan moral dalam sistem politik dan pemerintahan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan pedoman dalam berbagai kegiatan politik dan pemerintahan. Hal ini juga dapat dilakukan dengan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan kepentingan publik, serta menghindari politisasi dan manipulasi yang mengorbankan kebenaran dan keadilan.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Terus Berulang dan Tidak Terselesaikan

Latar Belakang
Pasca mundurnya presiden Soeharto pada tahun 1998 yang menandakan berakhirnya era orde baru, Indonesia memasuki babak baru dalam penataan kehidupan sosial dan segala aspek bernegara. Demokrasi dan keadilan sosial semakin digaungkan sebagai upaya mewujudkan tujuan reformasi yang sebelumnya terasa abu-abu pada masa orde baru. Tujuan reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat semakin memenuhi amandemen konstitusi Indonesia yang kemudian semakin kental akan penegakan isu-isu hak asasi manusia, pembersihan unsur militer dalam parlemen dan aparatur negara lainnya, diperbolehkannya pembentukan partai baru, serta pemilu yang semakin bersih dari sebelumnya. Tujuan ini semakin direalisasikan dengan dibentuknya Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Landasan Hukum
Sesuai yang tertuang dalam UU no. 39 tahun 1999, hak asasi manusia mencakup Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Negara wajib menjamin setiap warga negaranya memperoleh haknya dalam kehidupan bernegara, dengan demikian dibentuklah Komnas HAM. Dalam pelaksanaan tugasnya selama kurang lebih 30 tahun, Komnas HAM telah menangani dan mengawal pelaksanaan HAM di tanah air. Berdasarkan UU no. 39 tahun 1999, Komnas HAM memiliki tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia. Komnas HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terkait pelanggaran HAM berat dengan ditetapkannya UU no. 26 tahun 2000. Komnas HAM juga berwenang mengawasi dan mengevaluasi kebijakan dan langkah yang ditempuh pemerintah dalam penanganan diskriminasi suku dan etnis, hal ini diatur dalam UU no. 40 tahun 2008. Dengan demikian Komnas diberikan wewenang khusus pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia.

Perbandingan
Sebelum era reformasi, kondisi HAM sangatlah memprihatinkan, ditandai dengan berbagai pelanggaran HAM berat yang melibatkan aparat negara, seperti penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, pembantaian di Aceh dan Timor Timur, penculikan aktivis pro-demokrasi, dan lain-lain. Meskipun UUD 1945 mengandung beberapa prinsip HAM, tetapi istilah HAM sendiri tidak disebutkan secara jelas di dalamnya. Selain itu, perumusan hak-hak dalam UUD 1945 dianggap tidak sistematis dan sederhana.

Pasca reformasi, kondisi ham di Indonesia mulai membaik, ditandai dengan adanya amandemen UUD 1945 yang menambahkan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia dan menjamin beberapa hak asasi seperti hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Selain itu, lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga menjadi bukti komitmen negara untuk menegakkan HAM.

Walaupun sudah memiliki landasan hukum yang mumpuni, masih banyak tantangan dalam pelaksanaan HAM di era demokrasi, seperti banyak kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru maupun masa reformasi yang belum terselesaikan hingga kini, seperti penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, pembantaian di Aceh dan Timor Timur, penculikan aktivis pro-demokrasi, pembunuhan Munir, kebakaran Lapas Tangerang, penembakan laskar FPI di Karawang, dan pembakaran fasilitas umum oleh kelompok separatis teroris di Papua.

Proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut sering mengalami hambatan, baik dari sisi politik, hukum, maupun sosial. Misalnya, kurangnya dukungan politik dari pemerintah dan DPR, lemahnya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, minimnya saksi dan bukti yang masih hidup atau utuh, adanya upaya penghilangan jejak dan intimidasi terhadap korban dan keluarga, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Kasus
Dalam perjalanan kemerdekaan reformasi di Indonesia, Komnas HAM diberikan mandat dan wewenang dalam mengawasi dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia didalam kehidupan setiap masyarakat negara, namun masih ditemukan kendala dan pelemahan konstitusi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang ini. Beberapa kasus yang gagal ditangani adalah:
  1. Tragedi HAM tahun 1965-1966
    Pada tahun 2012 melalui penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM, tragedi pembantaian manusia pada tahun 1965 sampai 1966 ditetapkan menjadi pelanggaran HAM berat. Namun kendati telah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, belum ada tindakan konkret yang diberikan pemerintah dalam menjamin keadilan dan mengungkap siapa otak dalam gerakan pembantaian yang berlangsung kurang lebih setahun tersebut hingga saat ini. Komnas HAM terus mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan karena korban tragedi sudah semakin tua dan tidak sedikit yang sudah meninggal.
  2. Rentetan tragedi pelanggaran HAM tahun 1998
    Dalam upaya menggulingkan rezim Soeharto yang telah memerintah dengan kurun waktu yang cukup lama menjadi presiden di Indonesia, Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat melakukan aksi demonstrasi. Tindakan represif yang dilakukan oleh TNI dan Polri yang kala itu dikepalai oleh Wiranto (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden) berusaha membubarkan demonstran dengan cara menembaki mahasiswa dan memukuli dengan senjata tumpul. Berdasarkan hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terdapat 1.217 korban jiwa dalam tragedi tersebut. Terdapat beberapa mahasiswa yang gugur dalam memperjuangkan keadilan dan banyak tokoh aktivis dan berbagai elemen masyarakat yang ikut gugur karena diculik oleh aparat TNI dan Polri. Kendati demikian, belum ada titik terang upaya dan solusi konkret dalam penegakan keadilan dengan menangkap para pelaku kejahatan HAM pada tragedi tersebut, bahkan banyak yang dicurigai sebagai aktor kejahatan HAM pada tragedi 1998 yang memiliki jabatan dalam pemerintahan Indonesia pada masa kini. Sampai saat ini masih banyak para korban, sanak saudara, serta orang tua korban yang menunggu dan menuntut keadilan kepada pemerintah. 
  3.  Pelanggaran HAM di Desa Wadas
    Masih hangat di ingatan masyarakat Indonesia tentang kasus pelanggaran HAM di Desa Wadas. Pada tahun 2021, Komnas HAM mendapat laporan warga terkait intimidasi dan perlakukan represi yang dilakukan oleh aparat kepada mereka. Pelanggaran HAM yang dialami oleh warga setempat yakni tindakan arogansi aparat kepada warga setempat yang menimbulkan keresahan dan ancaman yang dialami karena tindakan aparat. Hal ini bermula dari upaya penolakan warga atas pembukaan lahan tambang andesit untuk proyek pembangunan strategis nasional (PSN) Waduk Bener di desa mereka. Penolakan ini bukan tanpa alasan, warga takut ekosistem alam desa mereka akan rusak dengan adanya pembangunan ini. Belum lagi lasan ekonomi yang memperkuat penolakan warga terhadap pembangunan ini. Warga yang menolak dengan pembangunan tersebut diancam, mengalami kekerasan, dan beberapa ada yang ditangkap oleh aparat Kepolisian bersenjata lengkap.

Kesimpulan
Pada dasarnya menjamin hak asasi bagi setiap warga negara merupakan tugas pemerintah yang harus diwujudkan apapun resikonya. Pemerintah seharusnya tidak hanya belajar dari masa lalu, namun juga belajar dari negara lain dalam hal penegakan hak asasi manusia setiap warga negaranya. Hal yang dapat dilakukan terlebih dahulu adalah menetapkan peraturan dan hukum tentang pelaksanaan HAM dan menguatkan undang-undang yang sudah ada. Selain itu, melakukan sosialisasi terkait apa itu HAM secara dalam kepada setiap aparatur negara dan masyarakat Indonesia juga merupakan hal yang seharusnya dapat dengan mudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak boleh takut dan harus bertindak tegas kepada siapapun yang melakukan atau pernah melakukan pelangaraan HAM, walaupun itu adalah menteri sendiri. Dengan semakin meningkatnya penegakan HAM di Indonesia, maka bangsa Indonesia akan siap menjadi Indonesia Emas.

Reformasi Indonesia Gagal dalam Mencapai Tujuan-Tujuannya

Gerakan reformasi sudah menemukan akarnya setidaknya semenjak peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari) 1974, gerilya Buku Putih mahasiswa ITB tahun 1978, dan penyampaian Petisi 50 di parlemen tahun 1980. Meski usaha-usaha tersebut belum mampu menggoyang pilar-pilar Orde Baru, yakni dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, dan tafsir tunggal Pancasila, namun sudah menjadi bukti bahwa angan-angan keamanan dan ketertiban masyarakat ala Suharto tidaklah ideal; sebuah selimut keangkuhan yang menyelimuti rakyatnya dengan kebijakan opresif dan anti-kritik.

Reformasi dapat tercipta karena orang-orangnya menginginkan pembaharuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi, dan kebebasan untuk menyuarakan pendapat tanpa takut dibalas todongan bedil oleh penguasa. Dengan kata lain, ada impian untuk mewujudkan masyarakat madani. Reformis, sebagai motor dalam menjalankan segala aspek kehidupan di masa reformasi, tentu sudah seharusnya meninggalkan nilai-nilai otoriter Orde Baru dan turunannya yang terbukti gagal. Masa reformasi diharapkan mampu menyajikan perubahan, bersifat korektif, dan bercorak pembaharuan.

Reformasi Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, setelah mengundurkan dirinya Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden karena tekanan politik dan ekonomi yang besar, memiliki tujuan untuk mewujudkan demokrasi, keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kesejahteraan rakyat. Namun, setelah 25 tahun berlalu, banyak pihak yang menilai bahwa reformasi Indonesia gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini disebabkan oleh berbagai masalah dan tantangan yang belum terselesaikan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Aparatur Sipil Negara yang seharusnya menjadi pelaksana kebijakan publik dan bertugas sebagai pelayan publik, malah menjadi alat korupsi dan pelaksana kepentingan politik bagi para penguasa. Meskipun telah dibentuk lembaga-lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON), korupsi masih merajalela di berbagai sektor pemerintahan. Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2022 yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara dengan skor 37 dari 100. Selain itu, banyak aparatur sipil negara yang tidak profesional dan tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Mereka cenderung menjadi alat kepentingan politik dari partai-partai atau kelompok-kelompok tertentu.

Sistem politik dan pemerintahan Indonesia juga hanya menjadi ajang tawar-menawar kepentingan bagi para penguasa. Reformasi Indonesia seharusnya membawa perubahan sistem politik dan pemerintahan yang lebih demokratis dan partisipatif. Namun, kenyataannya sistem politik dan pemerintahan Indonesia masih didominasi oleh oligarki-oligarki politik yang saling bersekutu untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka. Hal ini terlihat dari praktik-praktik seperti money politics, nepotisme, kolusi, dan patronase yang masih marak terjadi dalam pemilihan umum, pembentukan kabinet, pengangkatan pejabat, dan pembuatan kebijakan.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, Daud Jusuf, pernah menulis sebuah opini di harian Kompas pada 2007 silam yang berjudul ‘Untuk Apa Reformasi?'. Ia menyinggung bahwa reformasi adalah sebuah kesia-siaan apabila pemimpin tidak menjawab panggilan tugasnya, yakni menciptakan harmoni politik dan ekonomi demi kebaikan kedua-duanya. Harmoni inilah yang menjadi cita-cita adiluhung bagi para reformis, bukan seperti harmoni yang dibuat-buat Orde Baru, namun harmoni sesungguhnya yang lahir dari nilai-nilai demokrasi.

20 tahun sudah reformasi berjalan. Ada banyak hal yang dapat disyukuri darinya, sebagaimana banyak juga hal yang bisa disesalkan. Jelasnya, sulit mengatakan bahwa reformasi yang mencoba memperbaiki, utamanya sektor politik-ekonomi ini, sebagai kegagalan total.

Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal sehat, serta idealisme reformis sejati: ketika reformis-reformis tua tercemari, maka sudah saatnya reformis-reformis muda tampil menawarkan keharmonian yang dicita-citakan. Panggung Pilpres 2024, dan kemungkinan-kemungkinan baik atau buruk yang akan terjadi di sekitarnya, akan menjadi momen pembuktian apakah semangat reformasi masih ditekuni oleh reformis-reformis yang bersemangat untuk berkuasa di negeri ini. 

Referensi

Kompas.com. (2021, April 20). Reformasi Indonesia 1998: Latar Belakang, Tujuan, Kronologi, Dampak.

Detik.com. (2021, Agustus 12). Latar Belakang Lahirnya Era Reformasi dan Tujuannya.

Liputan6.com. (2020, Juni 13). Tujuan Reformasi, Pengertian dan Penyebabnya yang Perlu Dipahami. Liputan6.com.

Kandou, F. D., & Tilaar, H. Y. R. (2019). Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kota Manado. Lex Crimen, 8(1), 1-10.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022, Mei 10). Kenali Dasar Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. ACLC KPK.

Sudarsana, I. K., & Suardana, I. B. R. (2020). Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kota Manado. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 8(1), 1-10.

Saputra, A. (2017, April 7). Kegagalan Reformasi Birokrasi. Kompas.com.

Katadata.co.id. (2021, September 13). ICW: Pelaku Korupsi Terbanyak dari Kalangan ASN pada Semester 1-2021. Databoks.

Tempo.co. (2023, Mei 4). Kasus Korupsi Tunjangan Kinerja ESDM, KPK Periksa Tiga Orang ASN. Tempo Nasional.

Kompas.com. (2019, Juni 11). Korupsi 9 ASN di Sumbar Dipekat. Kompas Regional.

Sindonews.com. (2023, Mei 3). Kasus Dugaan Korupsi Dana Tukin KPK Panggil 3 ASN Kementerian ESDM. Sindonews Nasional.

Sari, N. P., & Sari, N. P. (2018). Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kota Manado. Jurnal Legislasi Indonesia, 15(2), 1-10.

Kompas.com. (2020, Juli 12). Tantangan demokrasi di Indonesia. Kompas.com.

Sindonews.com. (2019, Agustus 19). Harapan dan tantangan Indonesia kedepan. Sindonews Nasional.

Mongabay.co.id. (2020, Agustus 5). Tawar menawar politik penyebab kebakaran hutan: Bagaimana ceritanya? Mongabay Indonesia.

Suara.com. (2021, September 17). Kepentingan politik isu masa jabatan presiden disebut bakal jadi tawar menawar. Suara News.

The Conversation Indonesia. (2021, Januari 28). Masalah korupsi dan politisasi bansos berakar pada budaya dan sistem politik Indonesia. The Conversation Indonesia.

DetikNews. (2019, Augustus 9). Komnas HAM: 20 tahun reformasi, demokrasi dan HAM belum seimbang.

Kompas.com. (2021, Desember 28). Sejarah perkembangan HAM di Indonesia.

Tirto.id. (2018, Mei 21). 20 tahun reformasi: Macetnya kasus-kasus pelanggaran HAM.

Medcom.id. (2023, Mei 19). Dear Jokowi, penyelesaian masalah HAM harus dengan proses hukum di pengadilan  

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.