Menakar Suara Nahdliyin dalam Pilpres 2024


oleh
Muhamad Khaedar Ali

Perjalanan Politik Nahdlatul Ulama

Awal perjalan politik NU diawali pada tahun 1945, ketika bersama-sama organisasi Islam lainnya membentuk partai yang disebut Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang diumumkan berdiri tanggal 7 November 1945. NU menjadi anggota istimewa dan mendapat jatah kursi di Majelis Syuro. Dengan melihat anggaran rumah tangga tersebut, NU menganggap posisi Majelis Syuro cukup strategis. Agaknya hal ini yang membuat NU cukup puas dengan komposisi kepengurusan yang ada meskipun tak satu anggota NU yang duduk di kursi eksekutif partai.

Dalam Muktamar Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU keluar dari Masyumi. Hal ini disebabkan oleh sikap eksekutif partai yang tidak lagi menganggap Majelis Syuro sebagai dewan tertinggi. Meskipun secara formal Anggaran Rumah Tangga masih seperti semula tetapi pada prakteknya Majelis Syuro hanya dijadikan sebagai dewan penasehat yang keputusannya tidak mengikat, hal mana mengakibatkan kekecewaan NU dalam Masyumi. Kekecewaan itu juga dipicu oleh persoalan distribusi kekuasaan. Selama tiga kali pembagian kursi kabinet, NU selalu mendapat satu jatah, yaitu kursi menteri agama. Hal itu dapat dimaklumi karena NU memang miskin tenaga ahli yang terampil untuk memimpin suatu kementerian. Dan hanya menteri agama yang kiranya dapat diandalkan, karena NU merasa mempunyai tenaga untuk itu, karena itu dalam kabinet Wilopo tahun 1952 NU menghendaki agar kursi menteri agama tetap menjadi bagiannya. Tetapi sebagian besar anggota Masyumi tidak menyetujui hak itu, karena NU sudah tiga kali berturut-turut memegang jabatan menteri agama. Akhirnya melalui keputusan rapat keinginan NU ditolak dan inilah yang memicu keluarnya NU dari Masyumi.

Kekacauan politik akibat semakin memburuknya ekonomi dan pertikaian antar partai tidak dapat tertolong dengan dekrit presiden. Bahkan pada tahun 1965 meletus pemberontakan yang didalangi PKI. Peristiwa ini diikuti dengan Supersemar yang memberikan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk menegakkan ketertiban dan pemulihan keamanan. Peristiwa ini sekaligus menandai dimulainya babak baru sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang disebut dengan Orde Baru.

Dengan lahirnya Orde Baru NU mempunyai harapan besar untuk dapat lebih meningkatkan peran politiknya. Harapan itu muncul karena NU merasa berjasa dalam menumpas pemberontakan PKI. Namun sebenarnya harapan itu adalah harapan semu. Sebab sejak kemunculan Orde Baru, pemerintahan dikendalikan oleh kalangan birokrat, ABRI dan teknokrat, bukan oleh orang-orang partai. Undang-undang Pemilu yang disahkan pada 1969 berhasil mengukuhkan kehadiran ABRI di panggung politik dan mengurangi peranan partai. H. Subchan ZE, seorang tokoh NU, melukiskan Undang Undang Pemilu itu sebagai berikut.

Secara umum dikatakan bahwa UU Pemilu tidak relevan dan tidak demokratis secara sempurna. Namun demikian masih lebih baik daripada tidak ada undang-undang pemilu. Ini merupakan permulaan yang baik dari kehidupan demokrasi setelah ditinggalkan oleh Rezim Sukarno.

Pada Pemilu 1971 Golkar dengan dukungan dari aparat pemerintah dan militer mengan dengan sangat mencolok dengan perolehan suara 62,80 persen atau 236 kursi DPR ditambah 100 kursi karya ABRI dan non ABRI yang diangkat. Dengan mengantongi 336 dari keseluruhan kursi 460 maka Golkar memiliki suara mayoritas mutlak. Dengan kemenangan itu rencana penyederhanaan partai yang telah dirintis sebelumnya oleh pemerintah, tidak menemui hambatan berarti. Penyederhanaan itu mulanya dilakukan dengan anjuran pengelompokan partai dalam DPR, kemudian anjuran fusi antar partai.

Setelah melalui perundingan intensif, empat partai Islam yaitu NU Parmusi, PSII dan Perti sepakat melakukan fusi yang dituangkan dalam deklarasi tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa keempat partai Islam telah seia sekata untuk memfusikan diri politiknya dalam suatu partai politik yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Segala kegiatan non politik tetap dikerjakan dan dilaksanakan organisasi masing-masing sebagaimana sedia kala.

Fungsi parta-partai Islam pada awalnya menguntungkan NU, karena fusi itu dilakukan tatkala NU berhasil memperoleh suara yang jauh di atas partai-partai lain. Pada pemilu 1971 NU memperoleh 18,4 persen, Parmusi 6,3 pesen, PSII 2,3 persen dan Perti 0,7 persen. Dengan perimbangan suara seperti ini, NU mendapat 58 kursi atau 61,7 persen dari keseluruhan kursi partai Islam sebanyak 94 kursi. Meskipun NU memperoleh suara mayoritas namun jabatan ketua umum Dewan Pimpinan pUsat dipegang orang non NU yaitu HMS Mintaredja dari Parmusi. Sedang NU hanya mendapat jatah jabatan yang bersifat prestisius belaka.

Menjelang Pemilu 1982 Parmusi menuntut perubahan perimbangan suara dengan mengurangi dominasi NU di PPP. Tuntutan ini tentu saja tidak dapat diterima NU. akhirnya terjadi konflik antara NU dan unsur-unsur lain, terutama Parmusi. Dengan dukungan pejabat pemerintah, Parmusi berhasil mengurangi kekuatan NU. pada Pemilu 1982 kurang lebih 29 tokoh NU tergusur dari nominasi calon terpilih mewakili PPP. Peristiwa ini tentu mengecewakan NU dan kemudian memunculkan gagasan untuk meninjau kembali status dan eksistensi NU di PPP yang sebenarnya sudah lama dipertimbangkan oleh beberapa kalangan dalam NU.

Akhirnya konflik dalam PPP memuncak antara NU dan kelompok lain, serta rasa kecemasan karena tekanan-tekanan politik pemerintah dan aparat-aparatnya di tingkat bawah, maka keinginan untuk merealisasikan gagasan kembali ke bentuk organisasi sosial keagamaan semakin mudah. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo dan dikukuhkan dalam Muktamar 1984 di tempat yang sama, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan secara organisasi melepaskan diri dari ikatan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lain. Dengan kata lain Muktamar memutuskan, NU tidak lagi berafiliasi dengan PPP. Dengan keputusan ini secara organisasi perjalanan politik praktis NU berakhir.

Pengaruh Nahdliyin dalam Politik di Indonesia

Pesona Nahdlatul Ulama (NU) selalu memikat para elite politik setiap menjelang perhelatan pemilihan umum atau suksesi kepemimpinan daerah sampai nasional. Meski NU menyatakan tidak akan terlibat dalam kegiatan politik praktis dan fokus sebagai organisasi masyarakat, sesuai dengan hasil Muktamar 1984, tidak bisa dipungkiri mereka tetap mempunyai pengaruh yang kuat. Setiap menjelang pemilu dan pemilihan presiden, semua elite politik rajin sowan kepada pimpinan Pengurus Besar NU hingga para kyai-kyai mereka di daerah.  Menurut pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar, NU memang memiliki peran besar dalam mewarnai perpolitikan Tanah Air.

"Kita harus akui bahwa NU memang ormas Islam terbesar di Indonesia. Memiliki banyak kader-kader militan yang disebut dengan warga Nahdliyin itu yang kemudian tentu saja cukup memiliki pengaruh besar di dalam kancah politik dan sosial di Indonesia," kata Idil saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/5/2022).

Menurut Idil, NU juga mempunyai 2 karakter yang membuat mereka menjadi sebuah ormas yang mempunyai kekuatan politik yang kuat. Karakter itu adalah NU secara struktural dan kultural. NU secara struktural diwakili Pengurus Besar NU sebagai organisasi. Sedangkan secara kultural atau budaya adalah pengaruh NU dalam membentuk peradaban bangsa dan mewarnai khazanah Islam di dalam masyarakat. Ibarat seorang gadis cantik, umat Islam selalu diperebutkan di setiap pagelaran pesta demokrasi. Kita pun dapat menyaksikan bahwa politik identitas masih sangat mewarnai dinamika demokrasi di negeri ini. Keberadaan umat Islam yang unggul secara kuantitas, menjadi faktor utama menguatnya perebutan suara itu.

Dimulai sejak Pilgub DKI  2017 lalu, isu keumatan tampaknya akan terus masuk ke pusaran dinamika politik hingga 2019. Terpilihnya tokoh NU sebagai Cawapres dari Jokowi, Kyai Ma’ruf Amin, adalah bukti kuat bahwa isu keumatan memang benar-benar tak dapat dianggap remeh.Selama ini, petahana sering dianggap kurang berpihak pada umat Islam. Keberadaan NU lalu menjadi kata kunci  dalam menjawab tudingan-tudingan yang tak beralasan itu. Kita dapat melihat bagaimana posisi Mahfud MD yang di hadang-hadang akan menjadi wakil Jokowi, tetapi di menit-menit terakhir ia tergeser lantaran dianggap tak mewakili aspirasi NU.

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU tidak pernah berada dalam posisi sekuat sekarang. Terbukti, NU mencatatkan rekor jumlah kader terbanyak di kabinet dalam sejarahnya. NU juga berhubungan dekat dengan Jokowi dan memiliki akses istimewa ke dalam ruang-ruang kekuasaan.

Para pemimpin NU suka mengatakan bahwa organisasi mereka belum pernah mendapatkan posisi di lingkup nasional setinggi sekarang ini. Mereka menyatakan status NU sebagai organisasi masyarakat sipil terbesar di Indonesia hingga kini, dengan keanggotaan yang diklaim sebesar 40-45 juta (lebih dari dua kali lipat jumlah keanggotaan organisasi terbesar kedua, Muhammadiyah), bahkan mereka mengutip data survei yang menyatakan bahwa kira-kira sebanyak 100 juta orang Indonesia memiliki “afiliasi kultural-religius” dengan NU, yang berarti bahwa NU memiliki potensi pengaruh yang amat besar. Mereka juga merujuk pada jumlah nahdliyyin dalam kabinet Jokowi—saat ini ada tujuh—yang melampaui rekor sebelumnya, yakni enam orang dalam Kabinet 100 Menteri era Soekarno pada awal 1960-an. Ratusan anggota NU menduduki jabatan eksekutif tinggi di pemerintahan daerah, badan usaha milik negara di seantero Indonesia, dan di sektor korporasi. Salah seorang anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pernah bilang, “Jika NU menghadapi masalah, kami tinggal menghubungi kader nahdliyin yang menduduki jabatan penting dan mereka akan mengatasinya.

Jokowi lebih cenderung merapat ke NU, terutama sejak mobilisasi Islamis besar-besaran melawan sekutu politiknya dulu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), gubernur Jakarta saat itu, pada 2016-2017. Guna menopang dukungan terhadapnya dari komunitas Muslim dan membentengi diri dari kemungkinan serangan Islamis yang mempertanyakan keimanannya, Jokowi tekun memberdayakan NU. Ia kini kerap menghadiri acara-acara NU dan menunjukkan rasa hormat kepada para kiai senior. Ia juga memberikan akses istimewa ke istana bagi para pemimpin senior NU.

NU Kunci Kemenangan Jokowi 2019

Jokowi awalnya diperkirakan akan menggaet Mahfud MD sebagai wakil presiden, tetapi tiba-tiba dia memutuskan untuk maju bersama Ma’ruf Amin. Bagi beberapa pihak, menggaet tokoh NU ini punya dampak signifikan. Kemenangan Jokowi di Pilpres 2019 bahkan dianggap dapat terjadi berkat dukungan dari NU, yang tidak lain merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia. Peneliti dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Noshahril Saat dan Aninda Dewayanti, dalam artikel Jokowi's Management of Nahdlatul Ulama (NU): A New Order Approach? (2020) menyimpulkan bahwa memberikan Ma’ruf tiket ke pilpres menjadi faktor penting kemenangan Jokowi di Pilpres 2019. Meskipun tidak serta-merta basis suara Prabowo menurun, tetapi itu berhasil menaikkan suara Jokowi di sebagian daerah Jawa yang mayoritas adalah warga NU.

Pilpres 2019 dapat dibaca sebagai ajang adu kuat populisme Islam dari kedua kontestan. Iradhad Taqwa Sihidi, Ali Roziqin, dan Dedik Fitra Suhermanto dalam artikel berjudul Pertarungan Populisme Islam dalam Pemilihan Presiden 2019 (2020) mengatakan memang kedua kubu menggunakan populisme Islam untuk menggaet pemilih. Penunjukan Ma’ruf jelas menunjukkan maksud tersebut dan berhasil. Ma’ruf adalah sosok yang bisa diterima oleh NU dan nahdliyin dibanding Mahfud MD.

Lembaga survei Indikator Politik Indonesia menyimpulkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf sebenarnya tidak akan menjadi nyata jika NU tidak menunjukkan kecenderungan mendukung mereka. Dalam exit poll, Indikator menemukan sebanyak 56% warga NU memilih Jokowi-Ma’ruf. Di basis suara pemilih Islam yang termasuk paling besar: Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jokowi-Ma’ruf unggul. Alasannya tidak lain adalah dukungan dari kaum nahdliyin.

Indikator Politik juga memaparkan bahwa di kedua organisasi Islam terbesar (NU dan Muhammadiyah) suaranya tidak bulat kepada salah satu calon. Kecenderungan umum dari dua ormas tersebut saling bertolak belakang. Warga NU banyak memberikan suaranya kepada Jokowi-KH Ma’ruf Amin, sementara warga Muhammadiyah banyak memilih Prabowo-Sandiaga Uno. Menurutnya, terdapat sekitar 56% warga NU yang memilih Jokowi-Ma’ruf Amin dan 44% memilih Prabowo-Sandiaga Uno. Sementara itu, di tubuh Muhammadiyah terdapat sekitar 36% warga Muhammadiyah yang memilih Jokowi-Ma’ruf Amin, dan sebanyak 64% warga Muhammadiyah memilih Prabowo-Sandiaga Uno.

Tantangan Netralis NU dalam Pilpres 2024

Geliat para elite politik mulai mendekati Nahdlatul Ulama menjelang tahun politik mulai terlihat. Meski tidak melakukan kegiatan politik praktis, tetapi tidak bisa dipungkiri NU dan basis massa mereka menjadi daya tarik bagi para politikus untuk mendulang suara dalam pemilihan umum sampai pemilihan presiden-wakil presiden. Hasil Muktamar 1984 memutuskan NU tidak lagi terjun dalam politik praktis dan mengutamakan gerakan sosial keagamaan. Akan tetapi, NU tetap mewarnai perpolitikan Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan beberapa tokoh NU seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur serta Mustofa Bisri yang menjadi motor pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pasca Reformasi 1998. Sejak itu citra NU selalu identik dengan PKB dan sebaliknya, meski NU tidak terlibat dalam politik praktis. Saat ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya meminta semua partai tak menggunakan Nahdlatul Ulama (NU) menjadi senjata berkompetisi politik.

Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Alissa Wahid memastikan PBNU tidak akan mengusulkan nama tertentu untuk maju di kontestasi Pilpres 2024. Pernyataan Alissa merespon isu beberapa pengurus PBNU masuk dalam radar capres-cawapres di koalisi partai politik. Alissa mengakui bahwa banyak yang berharap kader-kader dari kalangan NU mengisi posisi-posisi tersebut. Semunya tak lepas dari banyaknya kader NU yang bagus dalam memimpin.

Namun di lain sisi, kata Alissa Wahid, NU punya sikap untuk tidak terlibat pada politik praktis. Menurut puteri almarhum Gus Dur itu, sikap politik NU ialah politik kebangsaan. "Politik NU itu politik kebangsaan. Jadi kita lebih baik tidak berpolitik praktis," ujarnya. Sikap politik kebangsaan NU tersebut, kata Alissa, menjadi kepentingan NU untuk menjaga perjalanan bangsa tetap pada jalur asasinya. Karena relasi NU, kata Alissa, diukur dari asas-asas itu. Alissa berpandangan, jika sikap politik NU berpihak pada satu nama atau kandidat tertentu, justru akan mengantarkan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar itu pada sikap tidak netral dan keluar dari asas. Karena itu penting bagi NU menjaga sikap politik kebangsaannya.

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, meski NU tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi dukungan mereka tetap terasa sampai hari ini. "Agak susah untuk melepaskan NU sepenuhnya dalam politik praktis. DNA elite-elite NU itu ya politik. Salah satu DNA NU memang politik," kata Arya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/5/2022). Menurut Arya, karena NU pernah menjadi partai politik dan pernah menjadi salah satu kekuatan penting politk di Indonesia pada masa lalu, maka tidak mengherankan suara mereka banyak diincar oleh para elite. Selain itu, lanjut Arya, para kader NU juga tersebar menjadi pengurus sejumlah partai politik, di samping elite-elite dan ulama NU yang condong mendukung PKB. "Jadi melepaskan sepenuhnya kegiatan politik hampir mustahil. Enggak mudah melepaskan aktivitas politiknya," ucap Arya. Selain itu, pemerintah juga mengakomodasi aspirasi NU, terutama kelompok pesantren dan Nahdliyin. Salah satu contohnya dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Menurut Arya, jika Gus Yahya hendak membuat aturan tegas untuk benar-benar menjauhkan NU dari politik praktis, maka dia harus berani mencopot para pengurus-pengurus NU yang aktif di partai politik. "Apakah Gus Yahya berani melakukan itu? Saya pikir tidak karena banyak pengurus PBNU yang juga menjadi pengurus partai politik. Saya pikir beliau bersifat imbauan saja," ujar Arya.

Tokoh NU dalam Pusaran Pilpres 2024

  • Erick Thohir
Elektabilitas Erick Thohir sebagai calon wakil presiden (cawapres) terus melaju pesat. Salah satu faktor pendongkrak elektabilitas Erick Thohir adalah karena dukungan publik Nahdlatul Ulama (NU) baik kultural maupun struktural. Peneliti Indikator Politik Indonesia Kennedy Muslim mengatakan, kedekatan Erick Thohir dengan NU menjadi pemicu elektabilitasnya terus merangsek ke posisi teratas. Seperti diketahui, NU merupakan organisasi islam dengan kader terbanyak di Indonesia. Kepercayaan PBNU kepada Erick Thohir untuk menahkodai kegiatan Harlah 1 Abad NU beberapa waktu yang lalu memberi insentif besar. Hal tersebut semakin menguatkan posisi Erick Thohir yang memiliki tempat spesial di kalangan NU atau masyarakat Nahdliyin.

Erick Thohir merupakan salah satu tokoh yang kenaikan elektabilitasnya sangat signifikan. Dalam satu bulan, elektabilitas Eks Presiden Inter Milan itu dapat terdongkrak hingga ke angka 5 persen. Potensi kenaikan elektabilitas Erick Thohir pun masih sangat terbuka lebar. Tinggal bagaimana orang nomor satu di Kementerian BUMN itu bisa memaksimalkan setiap potensi dengan catatan-catatan kinerja baik sehingga dukungan dari masyarakat bakal semakin masif. Tercatat pada simulasi lima besar nama Cawapres, elektabilitas Erick Thoir naik dari 12,9 persen pada November 2022 dan 13,2 persen pada Desember 2022 menjadi 17,6 persen pada Februari 2023.

  • Muhaimin Iskandar
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau yang biasa disebut Cak Imin tiba-tiba menjadi sorotan publik saat survei Polmark Indonesia mengumumkan elektabilitasnya melesat naik. Sebelumnya, nama Cak Imin senyap di bursa bacapres nasional. Nama-nya melonjak masuk pada lima besar skor nasional calon presiden, dan di Jawa Timur namanya mengalahkan Anies Baswedan dan Khofifah Indar Parawansa. Menanggapi hal tersebut, analis Komunikasi Politik Hendri Satrio mengatakan itu menjadi bukti kerja kerja politik Muhaimin Iskandar melebihi tokoh politik lainnya. Pendiri lembaga survei KedaiKOPI ini mengakui ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini memiliki kepemimpinan yang luar biasa dan mampu membuat partai yang didirikan Gus Dur ini saat ini mampu menyalip partai islam lainnya seperti PAN, PKS dan PPP, dan menjadi partai islam terbesar.

Cak Imin tersebut menjadi nomor tiga tertinggi di Jawa Timur, mengalahkan sosok lain seperti Anies Baswedan yang selalu masuk tiga besar survei bakal calon presiden berskala nasional. Cak Imin berhasil mencuri perhatian dan meraup perolehan suara hingga 11,5% dan berada di peringkat ketiga. Direktur Utama Lembaga Research Pollmark Eep Saefulloh menyebut, Jawa Timur adalah salah satu wilayah kunci untuk memenangkan pertarungan politik. Sebab, Jawa Timur masuk dalam wilayah tiga besar perolehan suara nasional dan dikenal sebagai basis NU.

  • Khofifah Indar Parawansa
Bila menilik survei terbaru yang dilakukan Lembaga Survei Indikator, elektabilitas Khofifah Indar Parawansa masih rendah, bahkan belum menyentuh 10%. Elektabilitas tertinggi masih dipegang oleh Ridwan Kamil dengan elektabilitas 21,6%, diikuti Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, elektabilitas Khofifah masih rendah lantaran ia belum melakukan gerakan politik. Sudah lama perempuan berusia 57 tahun itu  dipinang oleh berbagai calon presiden, namun ia memutuskan untuk tidak berlaga. Di sisi lain, kandidat calon wakil presiden lain sudah melakukan manuver politik masing-masing. Kendati elektabilitasnya rendah, pengamat politik sepakat Khofifah bisa menguntungkan Prabowo dan Anies dengan mendulang suara di Jawa Timur. Bila dilihat, kedua calon presiden ini memang kekurangan suara di provinsi terluas di Pulau Jawa tersebut. Posisi Khofifah sebagai Gubernur Jawa Timur sejak 2019 inilah yang memikat Prabowo dan Anies. Selain itu, ia adalah salah satu Ketua Bidang di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama alias PBNU. Khofifah sudah memimpin badan otonom NU bernama Muslimat selama dua dekade, dari 2000 hingga 2021. Muslimat diperuntukkan bagi anggota perempuan NU yang fokus pada kegiatan sosial dan ekonomi.

  • Mahfud MD
Solo vs Squad DPR yang ditunjukkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD pada sesi rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI pada Rabu (29/3/2023) lalu mengundang banyak simpati publik. Gelombang simpati tersebut bahkan mengkristal menjadi ungkapan dukungan terhadap Mahfud sebagai kandidat yang layak untuk Cawapres bahkan Capres 2024.

Ditambah lagi dengan gegeran batalnya pelaksanaan Piala Dunia U-20 yang melibatkan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali Wayan Koster. Dimana hal tersebut bermuara pada tergerusnya elektabilitas Ganjar. Dibuktikan dengan banyaknya warga net yang terang-terangan mendeklarasikan diri untuk tidak memilih Ganjar. Namun, menurut Direktur Ekskutif Indonesia Political Review (IPR) ini, Mahfud MD masih tetap memiliki kans untuk menjadi Capres maupun Cawapres 2024. Tinggal bagaimana menaikkan elektabilitas. Apalagi, Mahfud memiliki ‘corak’ Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene menjadi faktor incaran kandidat capres. Saiful menyatakan, dalam hasil survei SMRC menunjukkan bahwa di antara tokoh-tokoh utama NU saat ini, Muhaimin mendapatkan dukungan sebesar 18,2 persen; Mahfud 18 persen; Khofifah 15,4 persen. Dia menerangkan bahwa tiga nama teratas, Muhaimin, Mahfud, dan Khofifah memiliki dukungan publik yang seimbang. Tiga nama tersebut memiliki tingkat kedekatan yang sama dengan pemilih.

  • Yenny Wahid
Yenny Wahid menjadi salah satu sosok yang disebut-sebut akan bertarung dalam bursa presiden dan wakil presiden 2024. Walau belum tahu pasti partai politik mana yang akan mengusungnya, berbagai survei menunjukkan Yenny Wahid memiliki elektabilitas yang baik.

Belum lama ini muncul kabar Yenny Wahid akan disandingkan dengan calon presiden (capres) yang diusung partai Nasional Demokrat (NasDem), Anies Baswedan, pada Pemilu 2024. Bukan kali pertama, kabar semacam ini pernah beredar sebelumnya. Di 2022, Yenny sempat disandingkan dengan Ganjar Pranowo oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Berbagai media menyebut, Yenny menepis dua kabar pencalonan itu. Walau begitu, survei elektabilitas Yenny menunjukkan angka yang tinggi. Survei Polmatrix pada Oktober 2022 menunjukkan, apabila Ganjar Pranowo dan Yenny Wahid dipasangkan, elektabilitasnya mencapai 40,6 persen. Angka itu melebihi pasangan Anies-Andika dan Prabowo-Puan yang masing-masing mencapai 31,2 persen dan 23,1 persen.

Dilansir darin kanal Youtube Akbar Faizal Uncensored, Yenny sebenarnya bersedia saja terjun dalam bursa capres 2024. Dengan catatan, ia masih bisa menghidupi nilai-nilai dan prinsip yang diyakini.

Itu bukan hal yang akan saya tolak, tetapi engga juga akan saya kejar secara mati-matian dengan menghalalkan segala cara,” jelas Yenny dalam kanal tersebut.

Akan tetapi, putri ke-2 Gus Dur itu mengungkapkan tidak akan menolak kesempatan yang ada selama memiliki keselarasan nilai dan tujuan untuk mewujudkan Indonesia yang sesuai dengan imajinasinya. Yenny menginginkan Indonesia yang sejahtera toleran, menghargai kebhinekaan, punya semangat maju dan memperhatikan anak-anak muda.

REFERENSI

“Dapatkah dukungan keluarga Gus Dur pastikan kemenangan kubu Jokowi dalam pemilihan presiden?” BBC, 27 September 2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45656239. Accessed 25 April 2023.


“Daya Pikat NU dan Upaya Mustahil Menjauh dari Politik.” Kompas.com, 25 May 2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/05/25/05040011/daya-pikat-nu-dan-upaya-mustahil-menjauh-dari-politik. Accessed 25 April 2023.


“Di Balik Pesona NU yang Jadi Rebutan Elite Menjelang Tahun Politik.” Kompas.com, 24 May 2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/05/24/14385331/di-balik-pesona-nu-yang-jadi-rebutan-elite-menjelang-tahun-politik. Accessed 25 April 2023.


“Dukungan Massa NU membuat Elektabilitas Erick Thohir Kian Melaju Pesat.” Liputan6.com, 22 April 2023, https://www.liputan6.com/news/read/5268240/dukungan-massa-nu-membuat-elektabilitas-erick-thohir-kian-melaju-pesat. Accessed 25 April 2023.


“Ganjar-Yenny Ungguli Simulasi, Cawapres NU Diperhitungkan – POLMATRIX.” POLMATRIX, https://polmatrix.com/ganjar-yenny-ungguli-simulasi-cawapres-nu-diperhitungkan/. Accessed 25 April 2023.


Hutabarat, Delvira. “Survei SMRC: Cak Imin, Mahfud Md, Khofifah Tokoh NU dengan Elektabilitas Tertinggi.” Liputan6.com, 16 February 2023, https://www.liputan6.com/news/read/5208866/survei-smrc-cak-imin-mahfud-md-khofifah-tokoh-nu-dengan-elektabilitas-tertinggi. Accessed 25 April 2023.


“Memburu Suara Kaum Nahdliyin.” Kompas.id, 12 February 2023, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/02/11/memburu-suara-kaum-nahdliyin. Accessed 25 April 2023.


“Nahdlatul Ulama dan Jebakan Politik – CRCS UGM.” CRCS UGM, 16 August 2018, https://crcs.ugm.ac.id/nahdlatul-ulama-dan-jebakan-politik/. Accessed 25 April 2023.


“NU, PPP, dan Represi Orde Soeharto kepada Islam - Kolumnis Tirto.ID.” Tirto.ID, 11 March 2017, https://tirto.id/nu-ppp-dan-represi-orde-soeharto-kepada-islam-ckx2. Accessed 25 April 2023.


“Perjalanan Sejarah Politik NU Sejak Berdiri Hingga Keputusan Kembali ke Khittah.” STAI Al Anwar, 5 April 2017, https://staialanwar.ac.id/perjalanan-sejarah-politik-nu-sejak-berdiri-hingga-keputusan-kembali-ke-khittah/. Accessed 25 April 2023.


“Politik Nahdlatul Ulama.” Asumsi.co, https://asumsi.co/post/56800/politik-nahdlatul-ulama/. Accessed 25 April 2023.


Rochim, Abdul. “Indikator Politik: NU Kunci Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.” SINDOnews, 19 July 2019, https://nasional.sindonews.com/berita/1421990/12/indikator-politik-nu-kunci-kemenangan-jokowi-maruf-amin-di-pilpres-2019. Accessed 25 April 2023.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.