Kontroversi Partai Buruh, Bikin Gemuruh!!!

oleh

Khaedar Ali


Sejarah Partai Buruh

Nama Partai Buruh telah berada dalam pusaran dinamika politik tanah air sejak lama. Embrio partainya saat ini sendiri berasal dari Partai Buruh yang didirikan lebih dari dua dekade lalu, tepatnya pada 28 Agustus 1998, tiga bulan setelah lengsernya Soeharto. Sejak tahun tersebut, Partai Buruh telah ikut serta dalam tiga pemilu berbeda, yaitu 1999, 2004, dan 2009. Dalam dinamikanya. Partai Buruh aktif beradaptasi dan melakukan penyesuaian. Sejumlah pergantian nama pun dilakukan agar partai ini lolos dalam pemilu.

  • Pemilu 1999
Pada 1999, nama yang digunakan adalah Partai Buruh Nasional. Sementara untuk Pemilu 2004, digunakan nama Partai Buruh Sosial Demokrat. Untuk Pemilu 2024 mendatang, kembali partai ini akan menggunakan nama Partai Buruh. Pemilu 1999 menjadi kali pertama Partai Buruh mengikuti kontestasi Pemilu. Dalam kesempatan tersebut, partai ini hanya berhasil memperoleh sekitar 140.980 suara tau setara dengan 0,13 persen dari total suara nasional. Dengan begitu rendahnya capaian suara tersebut, partai yang pada saat itu dipimpin oleh Muchtar Pakpahan selaku pendiri ini pun gagal mengirimkan kadernya untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

  • Pemilu 2004
Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1999 menetapkan bahwa perolehan dua persen suara pada Pemilu 1999 menjadi syarat partai untuk bisa ikut serta pada Pemilu 2004. Meski demikian, UU Nomor 12 Tahun 2003 membuka kemungkinan lain bagi partai yang tidak memenuhi syarat tersebut. Pertama, dengan cara bergabung bersama partai lain yang memenuhi syarat. Kedua, bergabung dengan partai lain yang tidak memenuhi syarat dengan menggunakan identitas salah satu partai. Sementara kemungkinan ketiga, bergabung dengan partai lain yang tidak memenuhi syarat namun mengajukan nama dan logo yang baru. Untuk itu, Partai Buruh yang pada 1999 tidak mencapai perolehan 2 persen suara mengganti nama dan logonya untuk bisa mengikuti Pemilu 2004. Untuk itu, diangkatlah nama Partai Buruh Sosial Demokrat. Pada pemilu keduanya ini, nasib Partai Buruh sedikit membaik. Perolehan suara mencapai jumlah 636.397 suara atau setara dengan 0,56 persen dari total pemilih. Meskipun mengalami peningkatan hingga hampir lima kali lipat, perolehan ini lagi-lagi belum bisa mengantarkan para kadernya untuk menembus kursi di DPR.

  • Pemilu 2009
Untuk ketiga kalinya, Partai Buruh kembali berusaha dalam ikut sertanya pada Pemilu 2009. Keikutsertaan kali in serupa dengan massa pada Pemilu 2004. Partai Buruh gagal menembus electoral threshold yang disyaratkan, sehingga harus memenuhi ketentuan akan nama dan tanda gambar partainya. Untuk Pemilu 2009, ketentuan ini muncul lewat UU Nomor 10 Tahun 2008. Akhirnya, nama Partai Buruh Sosial Demokrat pun kembali menjadi Partai Buruh untuk menjadi peserta Pemilu 2009. Meski telah berubah nama, jalan sebagai peserta Pemilu 2009 tidaklah lancar. Partai Buruh sempat dinyatakan tidak lulus verifikasi oleh KPU, hingga akhirnya mereka harus melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, hingga akhirnya bisa ditetapkan sebagai peserta dengan nomor 44. Dalam pemilu kali ini, suara Partai Buruh hilang lebih dari separuhnya dibandingkan pemilu sebelumnya. Partai Buruh hanya mampu meraih 265.203 suara, setara dengan 0,25 persen total jumlah suara. Lagi-lagi, sama dengan dua pemilu sebelumnya, Partai Buruh gagal meraih kursi DPR.

  • Pemilu 2014 dan 2019
Dalam Pemilu 2014, Partai Buruh dinyatakan tidak lolos dalam sebagai peserta pemilu sehingga menyebabkan terpecahnya dukungan dari organisasi buruh. Partai Buruh tidak lagi mengikuti pemilu 2014 karena persyaratan pembentukan partai politik yang cukup berat berdasar UU Nomor 2 Tahun 2011. Persyaratan partai politik sebagai peserta pemilu adalah menjadi badan hukum dan mensyaratkan partai memiliki kepengurusan minimal 100 persen dari jumlah provinsi, 75 persen dari jumlah kabupaten/kota, dan 50 persen dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota bersangkutan. Namun melalui Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Buruh mendukung pasangan Prabowo-Hatta pada Pemilu 2014. Selanjutnya pada Pemilu 2019 melalui Konfederasi buruh yang sama juga mendukung Prabowo-Sandi pada Pemilu 2019.

 Harapan terhadap Partai Buruh

Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal menerangkan dalam aliran politik di dunia ada tiga aliran dan di indonesia yakni partai politik kelas pemodal (nasionalis), partai politik kalangan religius dan dari kalangan kelas pekerja. Dari ketiga tersebut partai politik yang mengakomodir kepentingan kelas buruh atau pekerja belum ada dan hal tersebut yang membuat pentingnya ada Partai Buruh. Lahirnya Partai Buruh kembali juga didasari oleh lahirnya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada hak dan kepentingan para pekerja termasuk petani. Hal ini terbukti dengan lahirnya UU dan Perpu Ciptaker yang merugikan pekerja. Setidaknya dengan berbagai permasalahan gerakan buruh yang ada, keberadaan Partai Buruh seharusnya dapat memberikan angin segar sekaligus warna baru dari pergerakan.

Dalam sebuah negara demokrasi, parpol memiliki fungsi dasar untuk mengumpulkan kepentingan serta aspirasi masyarakat, mengubahnya menjadi kepentingan bersama, dan membuatnya menjadi suatu legislasi dan kebijakan. Peran parpol juga dinilai tidak dapat digantikan oleh kelompok kepentingan lainnya.

Menurut Caraway dan Ford, kondisi di Indonesia saat ini tidak ada partai politik yang dinilai pro terhadap gerakan buruh. Hal ini misalnya terlihat ketika pengesahan UU Cipta Kerja lalu; mulusnya pengesahan UU tersebut dikarenakan tidak adanya kekuatan penyeimbang di parlemen yang bisa mewakili suara dan kepentingan buruh.

Partai Gerindra misalnya, sebuah partai yang selama ini dianggap dekat dengan KSPI sebagai salah satu serikat buruh terbesar di Indonesia pun dinilai tidak mengakomodasi suara buruh dalam pembahasan RUU ini. Di sini semakin menunjukan bahwa kebutuhan akan keberadaan Partai Buruh di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Dengan mendirikan partai politik sendiri, kelompok buruh dapat memiliki fraksi sendiri yang bisa mewakili kepentingan kelompok.

Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Auriga Nusantara yang menemukan bahwa pada periode 2019 – 2024 hampir separuh dari total 575 anggota DPR berlatar belakang pengusaha yang terafiliasi dengan 1.016 perusahaan. Sulit membayangkan bahwa para anggota dewan tersebut dapat mengakomodir kepentingan buruh, oleh karenanya kehadiran Partai Buruh yang akan spesifik mewakili kepentingan buruh dianggap menjadi solusi.

Kehadiran partai politik juga dianggap bisa meminimalisir potensi terjadinya perpecahan ke dalam serikat-serikat yang lebih kecil sekaligus mencegah terjadinya conflict of interest yang terjadi di tataran elite politik, termasuk elite buruh tidak melebar hingga menimbulkan dampak negatif yang terlalu besar. Dengan adanya polemik terkait disahkannya UU Cipta Kerja di parlemen yang dianggap sebagai kekalahan telak bagi semua elemen dan unsur buruh, bukan tidak mungkin kondisi saat ini bisa dijadikan momentum untuk mempersatukan semua elemen buruh yang ada.

Momentum saat ini dianggap mirip dengan momen kelahiran Labour Party di Inggris pada 1906. Kala itu kelompok-kelompok buruh di Inggris mengalami berbagai macam perpecahan dan kekalahan dalam gerakan yang puncaknya berimbas pada gagalnya kelompok buruh untuk mengusung calon-calon mereka melalui Liberal Party yang dianggap dapat mewakili kepentingan mereka.

Setelah itu mereka sadar bahwa gerakan mereka tidak bisa terus terpecah dan mengandalkan partai lain yang tidak spesifik mewakili kepentingan mereka, dari situ lahirlah Labour Party yang masih eksis dan sangat berpengaruh hingga saat ini. Momen-momen seperti ini seharusnya bisa menjadi awal munculnya kesadaran bagi kaum buruh untuk bersatu dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.

Terlepas dari pro-kontra dan berbagai anggapan terkait lahirnya Partai Buruh, keinginan beberapa serikat buruh untuk masuk secara langsung ke dunia politik tampaknya harus kita apresiasi. Kehadiran partai politik secara umum memang dianggap sebagai sebuah langkah yang tepat jika melihat pada kondisi dan berbagai permasalahan gerakan buruh, khususnya terkait dengan sistem politik demokrasi yang dianut Indonesia saat ini.

Namun, seperti parpol pada umumnya, sukses-tidaknya Partai Buruh bergantung pada berapa suara yang bisa didapatkan. Oleh karena itu langkah pertama yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat pekerja terhadap isu buruh. Jika tidak, kehadirannya hanya akan mengulang sejarah kelahiran dan kiprah Partai Buruh di Indonesia sebelumnya.

Menarik untuk melihat kiprah Partai Buruh selanjutnya, apakah kehadirannya seperti yang diharapkan dapat menjadi jawaban dari berbagai persoalan gerakan buruh yang ada, atau hanya mengulang sejarah keberadaan Partai Buruh sebelumnya. Namun, satu hal yang pasti semua ini bergantung pada kemauan buruh itu sendiri sebagai aktor utama.

Lemahnya Gerakan Buruh di Indonesia

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang terbaru, terjadi kemerosotan jumlah anggota serikat pekerja/buruh. Pada 2020 misalnya, hanya terdapat 3,23 juta anggota serikat pekerja/buruh. Angka ini dinilai sangat kecil jika dibandingkan dengan data total jumlah buruh di Indonesia yang saat ini mencapai angka 49,23 juta orang.

Mantan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri memaparkan, berkurangnya jumlah anggota serikat pekerja/buruh diduga berawal dari kejenuhan anggota terhadap pimpinan mereka. Hanif menilai bahwa elite-elite buruh yang menggerakkan serikat belum dapat memenuhi harapan-harapan anggotanya. Bahkan para pimpinan serikat buruh tersebut disinyalir mempunyai kepentingan dan ambisi politik tersendiri. Dengan kondisi ini gerakan buruh saat ini dinilai masih sangat lemah. Pertama, akibat rendahnya minat buruh untuk mengikuti serikat. Kedua, karena gerakan buruh saat ini justru terpecah satu sama lain. Tentu kondisi ini sangat tidak ideal untuk gerakan mereka, setidaknya ini terlihat dalam kasus pengesahan UU Cipta Kerja tahun lalu.

Hal ini sebenarnya dapat dijelaskan dalam teori gerakan sosial. Menurut Tarrow (1994), gerakan sosial dapat dianggap sebagai bentuk penolakan atau ajakan secara kolektif yang dilakukan sejumlah orang dengan tujuan dan solidaritas yang sama dalam interaksi terus-menerus dengan kelompok-kelompok elite, lawan, maupun pemegang otoritas.

Lebih lanjut teori ini menyatakan bahwa gerakan sosial adalah sesuatu yang kompleks; terdapat beberapa syarat agar hal tersebut dapat terjadi. Pertama, memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Kedua, dilakukan oleh banyak orang yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang sama atas sebuah permasalahan tertentu. Ketiga, terorganisasi melalui sebuah kelompok sosial tertentu yang memiliki peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis.

Jika dianalisis dengan menggunakan indikator dari teori ini ada beberapa kelemahan gerakan buruh di Indonesia saat ini. Pertama, sebagai sebuah organisasi massa, serikat pekerja/buruh di Indonesia tidak dapat mengumpulkan kekuatan yang signifikan apabila jumlah anggotanya tidak mencukupi. Hal ini dibuktikan dengan terus menurunnya jumlah anggota serikat buruh. Kedua, terfragmentasi dan terpecahnya gerakan buruh di Indonesia membuat gerakan ini seringkali tidak terorganisasi dengan baik, bahkan tidak jarang masing-masing serikat dinilai mempunyai kepentingan masing-masing.

Hal ini dikuatkan oleh temuan Teri L. Caraway dan Michele Ford dalam buku nya Labor and Politics in Indonesia yang menjelaskan bahwa kelompok-kelompok buruh cenderung membentuk kesepakatan-kesepakatan dengan para aktor politik dan pejabat-pejabat eksekutif yang mereka pilih masing-masing.

Lebih lanjut, Jeffrey A. Winters dalam tulisannya yang berjudul The Political Economy of Labor in Indonesia menjelaskan bahwa gerakan buruh kerap mengalami kekalahan, baik pada era Hindia Belanda pada 1926 maupun pada era pemerintahan Soeharto. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perpecahan yang sangat mudah terjadi di internal mereka. Kondisi-kondisi ini dinilai menyebabkan gerakan buruh sulit tumbuh di Indonesia.

Legitimasi dan Suara Buruh dalam Pemilu

Tentu tidak mudah bagi Partai Buruh di Indonesia untuk menjiplak strategi di Inggris atau Australia. Terutama, di Indonesia belum ada kesadaran kolektif kelas pekerja di Indonesia. Walau menurut KBBI buruh adalah siapa pun yang bekerja untuk dan menerima upah dari orang lain, kata buruh sendiri mengalami penyempitan atau bahkan peyorasi. Buruh hanya dimaknai sebagai para pekerja kerah biru, sedangkan nama lain seperti karyawan atau pegawai disematkan pada pekerja kerah putih. Terlepas dari corak politik Indonesia dan regulasi yang belum memberikan ruang gerak leluasa bagi organisasi politik buruh, kehadiran partai ini sebenarnya cukup strategis.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 37,02% penduduk Indonesia berstatus sebagai buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021. Data BPS pada Agustus 2022 menunjukkan ada 50.948.555 buruh/karyawan/pegawai di Indonesia. Jumlah tersebut sebenarnya merupakan modal politik bagi Partai Buruh. Isu-isu buruh seperti fasilitas kesejahteraan, gaji, jam kerja, dan hak-hak lainnya dapat menjadi pintu masuk untuk mendapatkan simpati elektoral. Di tengah makin sulit dan terpojoknya posisi pekerja di bawah rezim UU Cipta Kerja, partai ini harus berada di garda terdepan yang menjamin posisi kelas pekerja. Hadirnya Perppu Cipta Kerja bisa menjadi momentum bagi Partai Buruh untuk menunjukkan keberpihakan kepada kalangan buruh. Tentunya, hal ini juga harus dibarengi dengan dibangunnya kesadaran kolektif di tengah kelas pekerja. Bagaimanapun, tanpa adanya kesadaran bahwa semua pekerja, baik buruh tani di Kendeng hingga karyawan start-up di SCBD, Jakarta ialah buruh yang harus diperjuangkan nasibnya melalui kendaraan politik, tidak mudah kiranya perjuangan buruh menemukan apa yang ingin dicapainya. Maka, meraih hati dan simpati para pekerja menjadi sebuah keniscayaan bagi Partai Buruh untuk bisa berlaga di Pemilu 2024 nanti.

Kesuksesan Partai Buruh di Negara Lain

Nyatanya, bukan tak mungkin bagi partai buruh untuk bisa berjaya di kancah politik nasional. Bukti kesuksesan dari partai berbasis buruh bisa dilihat dari rekam jejak Labor Party di Australia dan Inggris. Di kedua negara tersebut, partai buruh justru bisa menjadi salah satu pemain penting percaturan politik domestik. Di Inggris, pengaruh dari Partai Buruh telah nampak sejak era pemerintahan PM Ramsay MacDonald pada 1923. Berdiri sekitar dua dekade, setelah muncul kesadaran atas masifnya ancaman eksploitasi pekerja yang dibawa industrialisasi dan modernisasi, partai ini mampu menggeser partai-partai lain yang lebih mapan, seperti Partai Konservatif dan Partai Liberal.

Sepanjang 120 tahun berikutnya, partai ini terus konsisten menjadi partai yang dominan dalam politik Inggris. Memang, selama satu setengah dekade terakhir, posisi partai ini makin tergeser dengan dominasi Partai Konservatif. Namun, meski tak selalu memenangkan suara mayoritas dalam parlemen, partai ini konsisten menempati posisi pertama atau kedua. Artinya, perjalanan politik Inggris selalu diwarnai oleh partai tersebut, baik sebagai penguasa maupun oposisi.

Salah satu sosok yang lahir dari partai ini adalah Tony Blair. Blair menjabat sebagai PM Inggris selama tiga periode dari 1997 hingga 2007. Blair menjadi perdana menteri kedua dengan masa jabatan paling lama dalam sejarah negara tersebut. Kepemimpinannya di masa-masa sulit dan penuh ketidakpastian, seperti krisis ekonomi 1997-1998 hingga dampak serangan teror 11 September, menjadikannya salah satu figur berpengaruh dalam sejarah dunia. Setali tiga uang, performa dari Partai Buruh di Australia juga dapat dibilang luar biasa. Bahkan, jika dibandingkan dengan Partai Buruh di Inggris, peruntungan Australian Labour Party (ALP) ini lebih baik. Selama berdiri sejak awal 1900-an, partai ini telah menyumbang 12 dari 31 perdana menteri Australia.

Sama dengan di Inggris, sepanjang sejarahnya, partai ini terus mewarnai politik domestik Australia, baik sebagai penguasa ataupun oposisi. Dalam lintasan sejarah, dominasi partai ini paling kentara terjadi pada dekade 1980-an. Saat itu, ALP berhasil memenangi empat pemilu, yakni pada 1983, 1984, 1987, dan 1990. Tak ayal, Pemerintahan PM Bob Hawke pun berhasil mendominasi politik Australia selama dekade tersebut, bahkan hingga di awal dekade 1990-an. Saat ini, posisi dari ALP sedang berada di atas angin. Pada Pemilu 2022 lalu, partai ini memenangi pemilu dengan total suara sebesar 4,7 juta atau setara dengan 32,5 persen. Dengan hasil tersebut, ketua partai Anthony Albanese pun menjadi PM Australia yang ke-31.

Kesuksesan di Inggris dan Australia ini menunjukkan bahwa jika diatur dengan baik, bukan tidak mungkin bagi partai berbasis buruh untuk memenangkan pemilu. Dari kedua partai ini ada benang merah yang dapat ditarik dan mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi Partai Buruh di Indonesia jika ingin meraih nasib yang serupa. Benang merah pertama adalah fokus pada isu pekerja dan solusi konkret untuk menyelesaikannya. Sebagai contohnya, salah satu hal yang kemudian mendorong dukungan bagi Partai Buruh di Inggris adalah kemampuannya untuk merangkul sebagian besar persatuan buruh di negara tersebut. Jadi, sebelum jadi organisasi politik elektoral, partai ini awalnya merupakan payung dari serikat-serikat buruh yang bernama Komite Perwakilan Buruh/LRC punya peran sentral untuk mengorganisasi massa. Jika dilihat dari sejarahnya, dukungan bagi partai ini melonjak setelah putusan dari kasus Taff Vale muncul. Saat itu, pengadilan menjatuhkan denda kepada LRC sebesar 23.000 poundsterling karena dianggap merugikan perusahaan kereta api akibat aksi yang mereka organisasi. Peristiwa ini memunculkan kesadaran kolektif para pekerja bahwa pemerintah pada esensinya hanya akan mementingkan kepentingan industri atau pebisnis, alih-alih kesejahteraan warga marjinal. Selain kesadaran kolektif dan peran sentral dalam mengorganisasi massa, kesuksesan Partai Buruh di kedua negara ini adalah komitmennya untuk kesejahteraan pekerja. Tak hanya bermanis mulut saat kampanye, Partai Buruh juga membuktikannya ketika memegang tampuk kepemimpinan negara. Sebagai contohnya, saat berkuasa, Partai Buruh Inggris menelurkan kebijakan Wheatley Housing pada 1924, yang menyediakan hunian murah bagi 500.000 pekerja berpenghasilan rendah.

Ambiguitas Dukungan Partai Buruh dan Organisasi Buruh terhadap Ganjar

Ambiguitas ialah suatu kata yang dapat bermakna lebih dari satu sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam memahami suatu hal. Dalam konteks ini terjadi ambiguitas yang terjadi pada Partai Buruh. Partai Buruh dan organisasi buruh didirikan dengan tujuan dengan tujuan untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kelas pekerja. Namun nyatanya belakangan ini Partai Buruh  secara terang-terangan mendukung salah satu capres dari partai yang ikut serta mendorong lahirnya UU Ciptakerja yang mana menjadi salah satu tujuan mengapa partai buruh reborn kembali.

Momen Hari Buruh Internasional pada Senin (1/5/2023) kemarin tidak dapat dilepaskan dari aroma politik menjelang Pemilihan Presiden 2024 yang tinggal kurang dari satu tahun lagi. Di tengah momentum Hari Buruh kemarin, organisasi buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Said Iqbal yang mewakili partai Buruh menyatakan dukungan kepada Ganjar Pranowo, bakal calon presiden dari PDI-P. Hal inilah yang menyebabkan ambiguitas di kalangan masyarakat. Kebanyakan masyarakat berpendapat, Partai Buruh bertindak Inkonsisten karena awalnya mengklaim tak akan berkoalisi dengan partai pendukung UU Cipta Kerja. Sementara itu, partai pengusung Ganjar, PDIP, merupakan partai pendukung UU Ciptakerja yang jelas tidak menguntungkan buruh.

Pada tanggal 2 Mei 2023, Sebanyak 10 organisasi buruh mendatangi Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Tengah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk bertemu Gubernur Jawa Tengah yang sekaligus Capres PDIP, Ganjar Pranowo. Padahal, Ganjar sebelumnya dikabarkan akan bertemu dengan buruh di Istora. Andi menyebut konfederasi buruh memiliki alasan yang sangat kuat untuk mendukung Ganjar Pranowo dalam pencalonannya sebagai Presiden 2024. 

"Alasannya sangat kuat, karena pak Ganjar lah pemimpin yang waktu itu sampai dengan hari ini berani menemui buruh, berani mendengarkan aspirasi buruh. Bukan di dalam ruangan, langsung turun ke jalan, berani berdialog, berani bertanya, itulah yang kita butuhkan untuk memimpin masa depan Indonesia," tutur Andi.


"Pertemuan kali ini sangat menguatkan kami untuk mendukung penuh secara all out mas Ganjar maju sebagai calon presiden Republik Indonesia," lanjut dia.


Andi mengatakan, ada banyak hal yang dibahas dalam pertemuan tersebut, utamanya terkait dengan masalah-masalah buruh, serta mengenai regulasi. Dan dia menyatakan bahwa pihaknya telah match atau cocok dengan Ganjar Pranowo.


"Karena banyak hal yang kita bahas mengenai masalah-masalah buruh, mengenai masalah regulasi, dan ada match. Jadi kami pastikan, kami yakinkan KSPSI mendukung all out pencalonan Ganjar Pranowo sebagai presiden RI," tuturnya.
 

Dalam hal ini terjadi ambiguitas yang mana organisasi menilai bahwasanya Ganjar bukanlah orang yang terlibat dalam pengesahan dan perancangan UU Ciptakerja, namun di satu sisi masyarakat menilai bahwa Partai Buruh dan Organisasi Buruh tidak konsisten dalam memperjuangkan nasib buruh-buruh di Indonesia. Elemen masyarakat menilai walaupun Ganjar tidak terlibat dalam hal tersebut namun Ganjar dicalonkan melalui Partai yang mendukung UU bermasalah ini dan masyarakat menilai Ganjar akan sulit memperjuangkan aspirasi buruh seperti kesulitan yang dialami Pemerintahan Jokowi dikarenakan Ganjar bukanlah sosok yang berpengaruh di Partai melainkan hanya petugas partai. Dan masyarakat menilai Ganjar akan lebih mudah mengakomodir kepentingan partai dibanding kepentingan buruh dan masyarakat.


Dukungan Partai Buruh dan KPSI Dipertanyakan?

Profesor sosiologi lulusan Universitas Indonesia (UI), Musni Umar, mengkritik Partai Buruh yang dikabarkan mendukung calon presiden dari PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo. Musni Umar heran dengan dukungan tersebut setelah mengingat aturan tentang outsourcing (tenaga alih daya) dan UU Ciptakerja, yang menurutnya merugikan buruh, dikeluarkan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Dukungan yang dilakukan oleh Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) terhadap Ganjar Pranowo patut di pertimbangkan dan dipertanyakan kembali, apakah kebijakan Era Megawati-Jokowi sebagai partai yang sama dengan Ganjar Pranowo melindungi dan mendukung gerakan buruh.

Megawati Soekarnoputri sempat mengeluarkan kebijakan outsourcing yang dimuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan terbitnya UU Ketenagakerjaan tersebut, Megawati mengatur keberadaan perusahaan alih daya di Indonesia secara legal. Penyedia tenaga kerja alih daya yang berbentuk badan hukum wajib memenuhi hak-hak pekerja. Di dalamnya juga diatur bahwa hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan. Meski demikian, keluarnya aturan pemerintah yang melegalkan praktik outsourcing diprotes banyak kalangan saat itu, karena dianggap tak memberikan kejelasan status dan kepastian kesejahteraan pekerja alih daya. Para karyawan outsourcing tidak mendapat tunjangan dari pekerjaan yang dilakukannya seperti karyawan pada umumnya, dan waktu kerja tidak pasti karena tergantung kesepakatan kontrak.

Selanjutnya di Era Pemerintahan Jokowi, Alih-alih memperbaiki UU Outsourcing Era Megawati, Pemerintahan Jokowi malah menerbitkan UU Ciptakerja. Jika di dalam Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan dengan jelas, ada batasan yang jelas antara core business dengan non-core business. Di mana outsourcing hanya diperbolehkan dipekerjakan di non-core business. UU Ciptakerja bisa diterjemahkan kalau outsourcing semakin diperluas penggunaannya, bahkan bisa berisiko menggantikan pegawai tetap. Lanjut dia, dalam UU Ketenagakerjaan outsourcing hanya dibatasi lima jenis pekerjaan. Dalam UU Ciptakerja justru semua jenis pekerjaan bisa di-outsourcing-kan karena disebutkan batasannya.

REFERENSI

“Analisis Litbang ”Kompas”: Tantangan Partai Buruh Meraih Hati Pekerja.” Kompas.id, 18 January 2023, https://www.kompas.id/baca/riset/2023/01/17/analisis-litbang-kompas-tantangan-partai-buruh-meraih-hati-pekerja. Accessed 3 May 2023.

 “Buruh di Tengah Pusaran Politik Bangsa.” Kompas.id, 16 October 2020, https://www.kompas.id/baca/riset/2020/10/16/buruh-di-tengah-pusaran-politik-bangsa. Accessed 3 May 2023.

 “Home.” YouTube, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180425081625-32-293331/arah-suara-buruh-di-2019-dan-perpecahan-serikat-pekerja/. Accessed 3 May 2023.

 “Jatuh Bangun Partai Buruh dari Era Reformasi ke Pemilu 2024.” CNN Indonesia, 5 October 2021, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211004140636-617-703114/jatuh-bangun-partai-buruh-dari-era-reformasi-ke-pemilu-2024. Accessed 3 May 2023.

 “Mayoritas Penduduk Indonesia Bekerja sebagai Buruh pada Februari 2021.” Databoks, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/08/11/mayoritas-penduduk-indonesia-bekerja-sebagai-buruh-pada-februari-2021. Accessed 3 May 2023.

 “Partai Buruh Akan Dukung Capres, tapi Bukan Parpol Pro Omnibus Law.” detikNews, 1 May 2023, https://news.detik.com/pemilu/d-6698495/partai-buruh-akan-dukung-capres-tapi-bukan-parpol-pro-omnibus-law. Accessed 3 May 2023.

“Partai Buruh Harapan Baru Solusi Terbaik Bagi Rakyat Klass Pekerja - KPonline.” Koran Perdjoeangan, 16 January 2023, https://www.koranperdjoeangan.com/partai-buruh-harapan-baru-solusi-terbaik-bagi-rakyat-klass-pekerja/. Accessed 3 May 2023.

“Partai Buruh Lahir untuk Kepentingan Kelas Pekerja.” Media Indonesia, 28 April 2023, https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/577328/partai-buruh-lahir-untuk-kepentingan-kelas-pekerja. Accessed 3 May 2023. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.